Pages

Minggu, 16 Oktober 2011

Dangerous Lover (Chapter 3)

Soundtrack : Kids In Love by Mayday Parade

Terrence dan aku berjalan secepat mungkin meningalkan jalan tempat kami berada sebelumnya menuju ke ujung jalan lain yang cukup jauh dan kami rasa aman. Kami berhenti di tikungan jalan sepi yang tak banyak orang berlalu-lalang. Memastikan kalau kami sudah aman, Terrence mengalihkan pandangannya padaku. Aku merasa gugup berada didekatnya.

“Kurasa kita sudah aman,” katanya.

“Kau pikir ada orang yang menguntit kita?”

“Aku tak tahu pasti, tapi sepertinya iya.”

“Kenapa ada yang sengaja menguntit kita dan mencoba mencelakaiku?” tanyaku.

Terrence berfikir sesaat lalu memandang kearahku.

“Kurasa bukan kau yang berusaha dicelakai.”

“Maksudmu?”

Wajah Terrence berubah serius. “Sepertinya ada yang tahu tentang jati diriku.”

Aku langsung tersadar akan sesuatu. Terrence adalah seorang vampire yang menyamar sebagai remaja biasa. Hidup membaur dengan orang-orang disekitar dan dengan hati-hati menyembunyikan identitasnya. Setelah apa yang menimpanya ketika tinggal bersama keluarganya di Skotlandia –menurut cerita Nathan- dan berujung dengan kepindahannya ke tempat ini. Ia tahu persis kenapa ada orang yang sengaja ingin mencelakainya. Tapi yang mengherankan, kenapa aku harus perduli dengan hal itu. Dia mencoba menyantapku sebagai makan malam sebelumnya. Aku tak seharusnya bersimpati. Walaupun begitu hatiku tak dapat mengingkari kalau aku khawatir padanya.

“Kelsey..” kata-kata Terrence menyadarku dari lamunan. Tangannya sudah ada di pundakku entah sejak kapan, aku beranjak mundur  untuk menepisnya. Mencoba menjaga jarak yang kini kian dekat. Aku menengok kanan-kiriku dan menyadari tak ada seorangpun di dekat kami. Tempat yang aman untuk bersembunyi dari si penguntit tapi bukan tempat aman untuk bersembunyi dari vampire yang sewaktu-waktu bisa menghisap darahmu.

“Aku..pusing..” kataku. Bukan pusing yang maksudnya kepalaku benar-benar berkedut tapi pusing tentang segala pikiran dan perasaan yang memenuhi benakku. Namun sepertinya Terrence menganggap aku mengalami sakit kepala sungguhan dan mukanya berubah khawatir.

Dia mencoba menyentuhku sekali lagi setelah tadi aku berusaha menepisnya. Kali ini aku tak menolak. Perasaanku berkata Terrence tak mencoba menyakitiku. Dia sedang mengkhawatirkanku. Lebih khawatir dari mengetahui ada seseorang yang sedang mencoba mencelakainya.

Kali ini jarak kami lebih dekat dan jarak itu menghilang ketika dia merengkuhkan tubuhnya sekali lagi padaku. Menyembunyikanku di balik tubuh jangkungnya. Aku tak merasa ada sesuatu yang mengancam dari dirinya, dan malah membuatku tentram.

“Kau akan baik-baik saja,” katanya. “Penguntit itu tak akan mencelakaimu. Aku yang diincarnya.”

Aku mendongak ke arahnya. Merasa nerves dengan keadaan kami sekarang.

“Ya,” satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutku. Dia terus memelukku dan kupikir dia tak berniat melepaskannya sampai kapanpun. Akhirnya dia membebaskanku dari pelukannya tapi masih tetap menjaga jarak sedekat mungkin dengan tubuhku.

Aku tak tahu harus berbicara apa.

“Antarkan aku pulang,” akhirnya aku dapat berkata.

“Tentu, tapi setelah kau menjawab pertanyaanku. Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya.”

“Pertanyaan apa?” tanyaku bingung.

“Kau mau memaafkanku kan?”

Aku terdiam, ragu untuk menjawab.

“Kelsey..” bisiknya ditelingaku. Perlahan dia mendekatkan wajahnya kearahku. Aku memejamkan mata karna takut. Takut karna mungkin saja dia akan memperlihatkan taringnya sekali lagi atau yang lebih kutakutkan, dia akan menciumku. Aku memang menginginkannya. Namun setelah melihat wajahnya sedekat ini dan melihat bibirnya yang hampir menyentuh bibirku rasa nervesku bertambah besar. Akupun mendorongnya tanpa sengaja. Mukaku merah padam dan aku tak dapat menahan debaran di dadaku yang sangat kencang.

Dia menatapku dengan tatapan kecewa. Akupun sedikit merasa kecewa. Tapi aku sangat nerves sehingga tak tahu apa yang kulakukan.

“Aku memaafkanmu,” kataku dalam ketegangan.”Sekarang antarkan aku pulang.”

“Ok,” jawabnya. Lalu kami berjalan pulang kerumahku tanpa banyak bicara lagi.

“Kelsey,” katanya setelah kami sampai di depan rumahku.

“Ya?”

“Aku masih mengharapkanmu,” dia mencium keningku sangat cepat sehingga aku tak sempat berbuat apapun.

“Sampai jumpa,” katanya. Lalu dalam sekejap mata dia sudah menghilang sangat cepat seperti ditelan bumi. Sama persis ketika pertama kali melihat Nathan menghilang dari hadapanku. Aku berbalik dan masuk ke dalam rumah lalu roboh di tempat tidurku sambil membenamkan mukaku dalam bantal.

Esoknya, aku sedang ngobrol dengan Debs di kelas aljabar menanti Mr. Frogs yang belum juga datang.

“Kau tau Kelsey? Jaz itu sangat manis. Dia membacakan puisi yang dikarangnya sendiri di hadapan kalas saat pelajaran sasta. Benar-benar bikin nggak tahan. Seandainya saja kau ada di sana waktu itu kau pasti tahu apa maksudku. Jaz itu selain tampan juga berbakat. Aku membayangkan andai saja puisi itu ditujukan padaku...” kata Debs dengan antusias.

“Ya ya aku percaya, kau suka semua cowok yang terlihat manis. Yang itu aku nggak heran, Debs.” Jawabku.

“Tapi Jaz itu beda. Dia benar-benar sangat manis.” balas Debs masih bersikukuh dengan pendapatnya.

“Ya dulu kau juga bilang hal yang sama waktu pertama kali melihat Terrence.”

“Yeah, Terrence memang keren. Mau bagaimana lagi. Oya, soal Terrence, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengannya?”

Aku hendak menjawab pertanyaan Debs namun seseorang sudah tiba-tiba saja bergabung dengan kami.

“Jaz!” pekik Debs karna kaget.

“Hai, boleh gabung?”

“Yeah,” kataku.

“Kurasa melihat ekspresi kalian, kalian pasti belum tahu aku juga ada di kelas Mr. Frogs.” Kata Jaz sambil tersenyum.

“Ya, banyak hal yang tidak kami sadari sebelumnya.”

Debs menyenggol lengaku dan berhati-hati berbisik di telingaku.

“Kau pikir dia mendengar pembicaraan kita tadi?”

“Ya,” jawabku tanpa berusaha membuat lega hati Debs. Debs mengerang tertahan.

“Ada kabar apa?” tanya Jaz seakan tak mendengar kami membicarakannya barusan.

“Tidak ada yang istimewa,” jawabku.

“Um.. Jaz, sebenarnya kami sedang merencanakan pergi keluar diakhir pekan. Kau mau ikut?” tanya Debs.

 “Apa kita tadi membicarakan soal it-“

“Tentu saja, pasti menyenangkan. Siapa saja yang akan bergabung?” tanya  Jaz memotong ucapanku.

Err.. belum tahu. Kita bisa mengajak yang lain atau pergi bertiga saja. Iya kan Kelsey?” Debs memandangku dengan tatapan yang berarti –please-katakan-iya-

“Yeah,” jawabku, setengah ragu.

“Bagus, kita sudah sepakat. Tinggal tetapkan tujuannya saja.” kata Debs riang.

“ Hmm.. kalau boleh aku mengusulkan. Kita bisa pergi ke vila milik keluargaku di luar kota. Disana cukup menyenangkan. Itu kalau kalian setuju.” sahut Jaz.

“Kami setuju!” pekik Debs tanpa ragu. Aku melotot kearahnya memberi penegasan kalau aku belum mengutarakan pendapatku. Tapi apa yang bisa kuperbuat dengan sifat Debs. Akhirnya walau dengan terpaksa atau tidak aku tatap menuruti keinginannya.

“Yeah, kami setuju.” jawabku. Debs memelukku dengan erat sebagai tanda terima kasih namun aku akan lebih berterima kasih padanya bila ia segera menyingkir dan membuatku bisa bernafas lega lagi.

Saat itu untungnya Mr. Frogs datang dan pelajaran dimulai seperti biasa. Thanks to Mr. Frogs

--

Jam istirahat lagi. Finally! Aku sudah tidak sabar mengisi perutku yang keroncongan dengan burger atau sandwich. Aljabar selalu saja menguras otak dan tenagaku yang berarti juga menguras isi perutku sebagai sumber cadangan tenaga agar bisa mengikuti pelajaran selanjutnya. Setelah mengambil burger dari counter makan siang dan sebotol cola yang kudapat dari mesin penjual minuman, aku segera menempatkan diri disalah satu meja kantin seperti biasa, dalam kesendirian, namun memang sepertinya aku selalu tak dapat sendirian bila di katin.

Jaz menghampiriku. Dengan nampan berisi sandwich, massage potato, sebutir buah jeruk juga sekotak susu. Susu? Aku tak tahu Jaz suka susu. Yeah, memang apa lagi yang kutahu?

Ia duduk dihadapanku dan mulai menusuk kentangnya dengan garpu.

“Kau suka kentang?” tanyanya.

“Yeah, lumayan.”

“Aku tidak terlalu suka kentang tapi yeah aku suka mencoba hal-hal yang baru. Kalau kentang tumbuk merupakan hal yang baru menurutmu.”

Aku tertawa mendengar lelucon Jaz. Debs memeng tak salah bila menyukainya. Jaz cowok yang asik.

“Oya, dimana Debs? Kau tak makan siang bersamanya?” tanya Jaz seakan bisa membaca pikiranku.

“Kami memang berteman tapi bukan berarti setiap saat selalu bersama. Kau menanyakannya dengan sengaja untuk mencari tahu tentang Debs atau sekedar berbasa-basi saja untuk berbicara denganku?” tanyaku main-main.

“Sejujurnya aku hanya berbasa-basi saja. Aku lebih suka ngobrol denganmu sendirian tanpa ada yang mengganggu.”

Sial! Dia membuat mukaku merah.

“Hmm.. oya? Apa yang membuatmu suka ngobrol denganku? Kita hanya baru saling kenal kamarin.”

“Aku tak tahu apa yang membuatku tertarik padamu. Tapi sejak pertama bertemu aku sudah ingin mengenalmu lebih jauh.” Jawab Jaz yang sekarang sedang menyedot kotak susunya tanpa menyentuh sandwich nya terlebih dulu.  

Tertarik? Kenapa dia bisa berbicara terang-terangan seperti itu? Wajahku sudah semakin merah dan aku berusaha keras menahanya.

“Sebenarnya aku akan lebih senang kalau hanya pergi berdua saja denganmu diakhir pekan. Tapi pasti kau tak mau membuat sahabatmu kecewa bukan? Jadi ide pergi bertiga menerutku tak ada buruknya.”

Kali ini uap di mukaku sudah berada di titik paling panas dan siap untuk meledak sekarang juga.

“Hmm.. kalau seandainya Debs tak jadi ikut, apa kau mau pergi berdua saja denganku?”

OMG, apa yang baru dikatakannya itu sejenis ajakan kencan? Dan fakta kalau dia tak mengharapkan Debs ikut berarti dia benar-benar ‘tertarik’ padaku? Aku tak dapat menjawab pertanyaannya. Ini terlalu tiba-tiba.

“Umm.. aku tak tahu.” gumamku. Berusaha mempertahankan ekspresi mukaku sebiasa mungkin. Aku menatap Jaz. Cowok itu terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Mata hijaunya yang bersinar dan bibirnya yang tipis kemerahan benar-benar sangat indah. Aku heran tak banyak cewek di Hyden yang mengejarnya seperti halnya Terrence. Mungkin karna Jaz masih baru. Aku yakin tak berapa lama lagi Jaz pasti akan dikejar-kejar dan menjadi sepopuler Terrence atau mungkin sakarangpun sudah ada cewek-cewek yang diam-diam memperhatikannya.

“Benarkah?”

“Kelsey!” seseorang memanggil namaku dari jauh. Aku dan Jaz menoleh bersamaan. Aku tahu siapa yang menghampiriku saat ini. Nathan berjalan kearah meja kami dan berdiri di hadapanku dan Jaz. Ia memperhatikan aku lalu ke Jaz, wajahnya nampak bertanya-tanya.

Aku melihat Jaz berdiri dari kursi dan mengangkat nampannya.

“Aku sudah selesai dengan makan siangku. Kita bicara lagi nanti, ok?” kata Jaz sambil mengedipkan matanya dan meninggalkanku. Aku terbengong dikursi tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Padahal Jaz sama sekali belum menyuapkan makanannya ke mulut. Dia hanya meminum sekotak susu. Tapi ya sudahlah, seenggaknya aku tidak akan dipaksa menjawab pertanyaannya.

Nathan segera duduk di hadapanku dimana Jaz menempatinya sebelumnya.

“Kau mengenal cowok itu?” tanya Nathan.

“Jaz maksudmu? Ya, aku mengenalnya. Kau tak lihat tadi aku sedang bicara dengannya?”

“Aku melihatnya makanya aku bertanya.”

“Apa kau juga mengenalnya?” tanyaku gantian.

“Tidak, tapi kurasa ada yang tidak beres dengannya.”

“Maksudmu.. dia juga seperti ‘kalian’? tanyaku sedikit  berbisik.

“Bukan. Aku tidak tahu. Tapi lebih baik kau jauhi dia.”

Well, sekarang dia mencoba mengontrolku lagi!

“Aku berterima kasih kau sudah menolongku dari maut tapi bukan berarti aku akan mengikuti segala yang kau katakan, ok? Kau tahu persis tentang Terrence (walau tak kurasa benar sepenuhnya) tapi kau tak tahu persis tentang Jaz. Jadi kenapa aku harus berhenti ngobrol dan jauh-jauh darinya? Dan oh iya, apa yang membuatmu datang lagi kemari?”

“Aku bebas sesuka hati datang kemari. Bukannya sudah kukatakan.” jawab Nathan kesal. “Dan kau harus menuruti perintahku karena aku mengiginkannya.”

“Lucu sekali. Apa karna aku berhutang budi jadi aku harus menuruti setiap ucapanmu?” Ada apa sih dengan cowok ini? Tiba-tiba saja datang dan melarangku bergaul dengan orang yang tak disukainya.

“Kalau menurutmu seperti itu, maka iya.” Mukanya cemberut jadi nampak lucu tapi juga imut. Namun sekarang bukan saatnya untuk tertawa ataupun kagum. Aku masih bersikeras mencoba menentangnya.

“Aku tak mau menuruti ucapan anak SMP.” kataku keceplosan. Aku tahu Nathan tak suka disinggung-singgung mengenai hal itu tapi hey, Dia memang masih SMP!

“Kamu.. bukannya sudah pernah kuperingatkan tantang bahaya.”

“Lalu, Jaz? Menurutmu dia berbahaya?”

“Aku belum tahu, tapi firasatku mengatakan kalau kau berhubungan dengannya kau akan dalam masalah.”

“Aku suka Jaz!” kataku tiba-tiba.

Aku melihat Nathan tak berkata apa-apa. Tak bisa berkata apa-apa tepatnya. Apa aku membuatnya bingung? Aku sendiri juga bingung dengan ucapanku barusan.

Nathan berdiri dari kursi. Aku menatapnya lekat-lekat. Dia beranjak ke seberangku lalu menarik lenganku untuk berdiri.

“Sudahlah, ayo ikut aku!”

Aku terpaksa menarik diri dari kursi dan berjalan mengikuti langkahnya, dia masih memegang lenganku.

“Mau kemana kita?”

“Pergi keluar.”