Pages

Rabu, 07 September 2011

Dangerous Lover (Chapter 2)

2Soundtrack : Young (Original and Acoustic Version) by The Summer Set

Apa kau percaya vampire itu nyata? Kalau pertanyaan itu ditujukan padaku, jawabannya ya. Aku tak pernah mempercayai vampire itu nyata sebelum aku bertemu salah satunya. Ok, tepatnya dua diantaranya. Dan aku hampir saja menjadi korban gigitannya kalau tidak ada yang datang menyelamatkanku. Nathanael. Dialah orang itu. Dan orang yang kupikir paling kupercaiyai ternyata dialah yang paling menginginkan darahku.

Aku tak pernah menduga Terrence adalah seorang vampire yang begitu haus darah. Maksudku, lihat dia. Dia begitu baik pada siapa saja dan kelihatannya semua orang menyukainya, tak termasuk hubungannya dengan Nathan. Lepas dari itu Terrence adalah orang terakhir yang akan kau curigai sebagai penjahat. Ternyata itu salah besar. Dan yang membuatku sangat sedih, ternyata selama ini dia mendekatiku hanya untuk memiliki kesempatan menghisap habis darahku.

Aku berjalan gontai ke kelas tanpa ada semangat mengikuti pelajaran pertama di kelas fisika. Semalam, Nathan lah yang mengantarku pulang. Kami tak banyak bicara. Hanya ada kelengaan selama perjalanan. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalaku, tapi rasa syok lebih besar menguasaiku sehingga mulutku seperti terkunci. Kejadian semalam begitu cepat. Aku masih menganggapnya hanya sebagai mimpi. Tapi mimpi itu terlalu nyata jika hanya kuanggap sebagai bunga tidur. Atau mungkin lebih tepatnya nightmare.

Debs menghampiriku dan tak butuh waktu lama untuknya menyadari ada yang berbeda denganku.

“Hey Kelsey, apa kau baik-baik saja? Kau nggak keliatan ceria hari ini.”

“Yah, aku hanya punya masalah kecil.” Jawabku bohong. Sebenarnya ini adalah masalah yang besar kalau menyangkut nyawamu.

“Awh, tunggu tunggu.. Jangan bilang Terrence mendepakmu. Kau nggak sungguh-sungguh kan? Apa kalian sudah pacaran lalu tiba-tiba dia naksir cewek lain? Jika iya, itu menyedihkan sekali. Tapi jangan terlalu bersedih my dear. Kau tahu Terrence sejak awal memeng sulit dijangkau. Maksudku itu hal wajar jika Terrence menggoda cewek-cewek yang lebih keren..err.. jangan marah aku mengatakannya.” Kata Debs setengah canggung.  

“Tidak Debs, ini masalah lain.. hmm..” Aku tak yakin akan menceritakan kejadian sebenarnya pada Debs. Tapi untungnya dia menyelaku.

“Hey lihat apa yang ada di lehermu.. Itu seperti..”

“Hanya luka gores kecil.” Aku segera menutupi leherku dengan baju. Terrence memang belum sempat menggigitku tapi taringnya sudah sedikit menggores leherku.

“Terkena cabang pohon saat bermain di kebun saudaraku.” Kataku bohong, lagi-lagi.

“Kau punya saudara disini?” tanya Debs ragu.

“Yah, bibiku tinggal disini. Kami jarang mengunjunginya sebelum pindah kemari.”

“Oh, kau harus hati-hati lain kali.”

Untungnya percakapan ini segera berakhir saat Mrs. Jakie masuk keruangan dengan membawa beberapa alat peraga. Aku sedikit berterima kasih padanya. Walau ini kali pertama aku mengikuti kelasnya. Aku sempat salah kira ketika melihat nama di kertas jadwal. Kupikir mereka salah mengetikkan kata Mr menjadi Mrs. Tapi wanita muda yang berdiri di depan kelas ini kelihatannya cukup menyengkan. Kita lihat saja nanti.

Pelajaran fisika berakhir dan pelajaran selanjutnya berlangsung cukup membosankan dibanding pelajaran di kelas pertama.

Saat istirahat aku pergi ke kantin sendirian karna Debs bilang ada urusan. Aku mengambil makananku dan duduk disalah satu meja yang tak terlalu ramai. Menikmati makan siangku dalam kesendirian sebelum aku melihatnya datang menghampiriku.

Nathan duduk dihadapanku. Aku tak bergeming sedikitpun. Kemudian ia mulai membuka mulut untuk bicara.

“Apa kau baik-baik saja?” itu kata-kata pertama yang diucapkannya. Yah, aku tahu itu hanya sebagai sapaan formal yang umum dikatakan. Aku juga mendengar Debs mengatakannya. Tapi kalau kau minta jawabanku secara jujur, jawabannya tidak.

“Kau tahu aku tidak baik-baik saja.” Kataku, berusaha bersikap untuk tidak terlihat terlalu menyebalkan dihadapannya. Bagaimanapun dia sudah menyelamatkan nyawaku.

“Yeah, aku tahu.” Ekspresinya berubah sedikit kecewa. Ternyata aku gagal menyembunyikan sikapku.

“Itu bukan salah mu,” kataku cepat. “Itu salahku karna tak mendengarkan ucapanmu..hmm.. maaf..”

“Tak perlu minta maaf. Harusnya aku tak meninggalkan Terrence sendirian malam itu. Aku sedikit ceroboh.” Katanya pelan.

“Kemana kau?” aku keceplosan bertanya yang seharusnya tak perlu kutanyakan padanya.

“Hanya ke sesuatu tempat..” dia nampak urung mengatakannya.

“Tak perlu mengatakannya kalau tak mau, yeah setidaknya kau datang tepat waktu,” kataku.

“Yeah, kau benar. Aku punya banyak hal untuk dilakukan,” katanya bercanda.

Aku menimang-nimang apa yang harus kukatakan. Kemudian kata-kata itu terucap dari mulutku begitu saja,

“Jadi, kau juga..” aku memutus kata-kataku.

“Seperti Terrence.. Yeah cuma ada sedikit bedanya. Kau tak mengharapkanku bercerita di sini kan?” katanya sambil memberi isyarat, mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Aku tahu,”

“Mau kesuatu tempat?” tawarnya. Dia berdiri dan aku mengikutinya. Aku tak tahu kenapa aku mengikutinya. Yang ku tahu sesuatu dalam diriku menghendakinya. Mungkin karna rasa penasaran ingin tahu tentang hal yang sudah melibatkanku didalamnya.

Dia membawaku ke taman tak jauh dari gedung SMA. Disini suasanya lumayan lengang dibanding tempat ramai manapun di lingkungan sekolah.

“Kau akan mulai menceritakannya?” tanyaku. Entah mengapa perasaanku sedikit berbeda saat hanya berdua dengannya. Ada sedikit rasa cemas menghinggapiku. Bagaimanapun dia juga seorang penghisap darah sama seperti Terrence.

“Apa yang ingin kau tahu?” tanyanya.

“Ceritakan padaku semuanya. Ceritakan tentang kau dan Terrence. Kenapa Terrence mau menghisap darahku..” suaraku tercekat di tenggorokan.

“Terrence tidak hanya mengincarmu. Dia sudah sering memangsa cewek-cewek malang lain sepertimu.”

Aku tidak terima disebut malang tapi karna masih ingin mendengarkan ceritanya jadi aku tak menyelanya.

“Dia terlalu haus akan darah.. memang tak bisa dipungkiri, kami bertahan hidup dengan menghisap darah.” Jelas Nathan. Mukanya berubah serius.

“Jadi kamu.. kamu pun demikian.. karna kamu juga..”

“Ya,” jawabnya.

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Disatu sisi aku berusaha mempercayainya karna tindakannya menolongku disisi lain aku juga merasa takut berada di dekatnya. Aku sudah satu kali melihat wajah menyeramkan sang penghisap darah ketika taring-taring itu muncul dan mata merahnya yang menatapku penuh aura membunuh. Sangat mengerikan. Apa Nathan juga begitu saat ia memangsa buruannya? Tapi dia bilang dia berbeda..apa maksudnya?

“Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tak memangsamu seperti Terrence, bukan?”

“Ya,” jawabku.

“Sebenarnya aku juga punya dorongan kuat melakukan hal itu. Tapi aku berusaha keras menahannya.”

Aku tertegun.

“Aku tak mau jadi seperti Terrence. Hidup menjadi seorang penghisap darah sudah cukup membuatku menderita. Aku tak mau semakin terbebani oleh rasa bersalah karna telah membunuh orang-orang tak berdosa.” Katanya penuh kepedihan. Suatu perasaan iba tumbuh dalam diriku. Aku seperti ingin memeluknya. Mencoba meringankan sedikit penderitaannya tapi tak tahu bagaimana harus melakukannya.

“Kau tak membunuh makhuk hidup? Lalu bagai mana caramu bertahan hidup?” tanyaku.

“Bukan manusia. Aku tak memangsa manusia. Aku memangsa hewan-hewan yang bisa kutemui seperti burung dan lainnya. Aku bisa berburu rusa di hutan jika tidak sedang di kota. Sayangnya di kota sudah jarang binatang liar dan burung pun sudah semakin sedikit. Tapi Terrence berbeda, dia lebih memilih menuruti dorongan alaminya sebagai vampire untuk menghisap darah manusia. Semua klan vampire menghisap darah manusia. Hanya sedikit yang memilih memangsa hewan-hewan sepertiku. Darah manusia lebih menyegarkan ketimbang darah hewan bagi vampire. Itu lah sebabnya aku berusaha keras tidak bergaul dengan manusia sepertimu.”

Ah, sekarang aku tahu sebabnya dia selalu bersikap ketus padaku. Dia berusaha keras menahan dorongan nafsunya untuk memangsa mangsa utamanya. Manusia.

“Kenapa kalian bisa ada disini?” aku bertanya kembali.

“Dulu kami tinggal di Skotlandia di sebuah desa terpencil yang ada di sana. Keadaan cukup damai selama beberapa waktu. Aku bisa menemukan banyak hewan di hutuan untuk kumangsa tapi lain halnya dengan keluargaku. Penduduk desa semakin hari semakin berkurang karna banyak yang mati dimangsa vampire. Lalu mereka mulai mencurigai kami. Bukan salah mereka. Memang keluarga kami lah yang melakukannya. Kami mengalami situsi yang buruk untuk beberapa saat. Lalu orangtua ku memutuskan mengirimku dan Terrence ke sini. Sebelumnya bukan disini. Kami selalu berpindah-pindah dari kota ke kota lain. Di kota besar, penduduknya lebih plural jadi kami tak gampang dicurigai. Kemudian untuk seterusnya kami menjalani kehidupan seperti ini.” Dia terlihat begitu resah menceritakan masa lalunya. Cowok yang sebelumnya kuanggap sebagai orang menyebalkan ternyata jauh di dalam menyimpan beban yang lebih berat dari yang mungkin orang lain pernah rasakan. Hidup sebagai vampire yang harus menahan diri dan terus diburu jika orang lain mengetahui identitasnya pastilah sangat berat. Apalagi dia harus selalu berpindah tempat. Sampai kapan akan terus begitu..Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di otakku.

“Kau bilang..orang tuamu mengirimkanmu kemari. Apa mereka juga tinggal disini?”

“Tidak, hanya kami berdua yang pergi. Mereka bilang lebih aman jika kami sendiri. Mereka sekarang ada disuatu tempat yang tak pernah diberitahukannya pada kami. Aku yakin mereka memiliki alasan tepat untuk tidak tinggal bersama kami.”

“Apa kau menderita..?” pertanyaan bodoh. Harusnya aku tak menanyakannya melihat ekspresi penuh rasa sakit yang terpancar di wajahnya.

“Apa aku perlu menjawabnya?” tanyanya.

“Sorry,” kataku, tahu persis jawabannya.

Kami terdiam sesaat. Lalu aku mulai bertanya lagi,

“Kenapa kau bisa jadi vampire? Apa memang sudah begitu sejak lahir?” Aku penasaran. Aku melihat ekspresi segan di wajahnya “Hmm.. apa kau akan menjawabnya?”

“Tidak, mungkin lain waktu.”

Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya.

“Ok, karna kupikir kau sudah cukup puas tau tentang kami sebaiknya kita kembali.” Katanya mengalihkan perhatianku. Aku mengikutinya berjalan menuju ke gedung SMA. Rasanya canggung berjalan di sebelahnya setelah dia menceritakan semuanya. Ok, tidak semuanya. Tapi setidaknya aku tahu tentang situasi yang terjadi. Kini rasa was-wasku sedikit berkurang padanya. Aku tidak terlalu takut lagi akan dirinya sebagai seorang vampire. Kalau dilihat-lihat, Nathan cowok yang cukup baik.

“Hey, setelah kupikir-pikir, aku tak pernah menjumpai kita sekelas selama ada disini. Apa pelajaranmu selanjutnya?” Tanyaku disela-sela perjalanan kami kembali.

“Tentu saja kau tak pernah melihatku. Aku tak belajar disini,” katanya enteng.

“Tapi katamu.. kau sekolah disini. Apa kau bohong?” tanyaku.

“Aku tidak bohong, tapi tempatku bukan disini. Aku di gedung SMP.”

Aku memberikan tatapan heran padanya.

“Kenapa? Aku baru tiga belas tahun!” Ada semburat merah dipipinya. Dia pasti malu baru saja menyebutkan umurnya.

“Bukan secara harfiah, yah tapi itulah umurku selama ini,” imbuhnya.

“Selama ini..?” aku bertanya heran.

“Sudah lupakan,”

“Hey, jadi kau masih SMP? Tapi tampang kita terlihat seumuran..hmm.. memang sih kalau diamati kau terlihat sedikit lebih muda. Kau benar baru tiga belas tahun?” tanyaku masih tak percaya.

Aku benar-benar tak bisa menahan tawa tapi aku tahu dia sedang kesal. Jadi aku berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkannya. Sayangnya aku gagal dan dia semakin bertambah kesal.

“Kubilang lupakan saja.” Katanya dengan ekspresi marah dan muka yang semakin memerah. Lucu sekali.

Kami kembali ke gedung SMA. Sebenarnya hanya aku. Dia berjalan lagi ke gedung SMP. Setelah dia pergi, aku memutuskan masuk ke dalam gedung. Saat sampai di koridor utama aku berjumpa dengan Debs. Dia menarik tanganku dan berdiri didepanku seperti hendak berkonspirasi.

“Tadi aku melihatmu bersama cowok yang kemarin. Dia adik Terrence kan? Sekarang kau tak bisa menghindar lagi dariku. Katakan padaku, Kelsey. Apa sekarang kau beralih mengencaninya?” Debs bertanya curiga.

“Ok, akan kukatakan. Tapi pertama, berhentilah bersikap mencurigakan seperti itu Debs. Dan kedua, aku tidak kecan dengannya. Apa kau sudah gila, Dia masih SMP!”

“Kau kencan dengan anak SMP?” ulang Debs tak percaya.

“Aku sudah bilang aku tidak kencan dengannya.. Ayolah Debs.” Aku menggembungkan pipiku seolah-olah sedang marah. Debs memahaminya.

“Ok, ok. Lalu kenapa kau bicara dengannya?” Debs masih saja curiga. Aku berusaha memikirkan alasan yang tepat untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bilang alasan sebenarnya.

“Karna dia mengajakku bicara.” Alasan yang bodoh tapi itu satu-satunya yang dapat terpikir oleh otakku.

“Hmm.. dia tak mungkin mengajakmu bicara kalau tidak punya maksud tertentu. Apa dia suka denganmu? Lalu bangaimana dengan Terrence? Apa kau suka dengannya?” Debs mendesakku dengan beberapa pertanyaan. Aku tak mungkin menjawabnya.

“Sudahlah Debs, hentikan pertanyaan konyol itu.” Aku menggerutu.

“Tidak sebelum kau jelaskan semuanya. Ayolah Kelsey, aku hanya ingin tahu.” Rengek Debs.

Aku tak ingin membuatnya kecewa, tapi aku juga tak ingin menceritakannya. Lalu pertolongan pun datang tak terduga.  Seorang cowok bermata biru hazel datang menghampiri kami. Penampilannya rapi, rambutnya yang sedikit panjang disisir kebelakang dengan jel. Dia memberikan senyum ultra cerah saat melangkahkan kaki menuju tempatku dan Debs berdiri. Matanya terlihat menyipit saat tersenyum. Secara keseluruhan, dia terlihat sempurna.

“Hey, maaf kalo menyela. Aku Jaz, kependekan dari Jasper. Semoga kalian tak keberatan kalau aku hanya ingin berkenalan.” Katanya riang dan bernada sopan. Debs tak mengedipkan mata sekalipun saat memandangnya. Jaz mengulurkan tangannya padaku dan segera kusambut dengan berjabat tangan. Dia menatap langsung  ke mataku dan berjabat lebih lama dari yang kubayangkan.

“Kelsey,” jawabku. Saat aku melepaskan tangannya, dia beralih ke Debs.

“Debora, panggil Debs saja.” Jawab Debs ketika menjabat tangannya. Anehnya dia tak menjabat tangan Debs lebih lama dariku. Atau itu hanya perasaanku?

“Senang mengenal kalian. Aku sudah menunggu saat-saat ini,” kata Jaz.

“Maksudmu berkenalan dengan kami? Awh, kau dengar Kelsey. Betapa manisnya,” komentar Debs.

“Yeah,” hanya  itu jawabku.

“Apa kalian tahu kita sekalas di pelajaran fisika?” tanyanya.

“Kurasa aku tak memperhatikannya,” kataku datar. Debs menyenggol tanganku.

“Kurasa kami hanya kurang cermat. Bagaimana mungkin kami melewatkan cowok sepertimu. Maksudku, kau terlihat mengesankan,” puji Debs.

“Terima kasih. Apa masih ada waktu sebelum pelajaran selanjutnya? Mungkin kita masih bisa berbincang,” tanyanya.

“Yeah, tentu saja.”

Kami berbincang sejenak di tempat itu. Ternyata Jaz cukup menyenangkan. Dia memuji gaya rambutku. Kini aku tak segan lagi tertawa bersamanya. Cukup membuatku lupa akan pengalaman burukku semalam. Kami menghabiskan sisa waktu istirahat dengan mengobrol dan berpisah saat bel berbunyi. Kami tak sekelas di pelajaran selanjutnya. Tapi Debs sekelas dengan Jaz dipelajaran Sastra. Jadi Jaz pergi bersama Debs ke kelas selanjutnya dan aku ke kelasku sendiri.

Saat usai sekolah, aku menata barangku dan bersiap meninggalkan kelas. Aku berjalan sepanjang lorong menuju koridor utama. Aku tak melihat tanda-tanda keberadaan Terrence di sekolah hari ini. Menghembuskan nafas lega, aku meneruskan langkahku menuju pintu keluar dan meninggalkan sekolah. Jaz berlari kecil kearahku. Dia sekarang berdiri di sampingku. Sambil menenteng ranselnya pada salah satu lengan dia menyapaku,

“Hey,” katanya sambil tersenyum.

“Hey,” aku balas tersenyum padanya.  

“Apa kau sengaja mengejarku?” tanyaku.

Dia mengedikkan bahu. “Yeah, apa kau mau kuantar?” tanyanya ramah.

“Apa kita searah?”

“Hmm.. sebenarnya tidak. Tapi aku bisa mengantarmu.”

 Aku berfikir sesaat. Sebenarnya aku sangat senang akan perhatiannya. Aku tak tahu maksud dibaliknya. Tapi dia seperti menaruh perhatian padaku sejak pertama bertemu. Tapi aku juga tak mau ke ge-er an dulu.

“Kalau begitu aku bisa pulang sendiri,” kataku.

“Kau yakin kau tak mau kuantar?” ulangnya sekali lagi.

“Yup, rumahku tak terlalu jauh,” yakinku.

“Ok kalau begitu, sampai jumpa besok.” Dia melambaikan tangan padaku dan berlari pergi. Aku mengamatinya hingga menjauh.

“Sampai jumpa besok,” gumamku. Lalu aku berjalan keluar kompleks sekolah dan menyusuri sepanjang jalan setapak yang membimbingku ke rumah.

Langkahku mantap ketika menapaki jalanan dari batu dan terhenti ketika seseorang mencegatku di sebuah tikungan yang cukup sepi. Terrence. Dia berdiri disana. Memandangku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan. Aku menjaga jarak dengan mundur beberapa langkah. Sebenarnya aku bisa saja lari. Tapi sesuatu seperti menahanku untuk tetap disini.  Bersamanya.

“Terrence..” kataku lirih. Tak tahu bagaimana ekspresi yang tepat menyambut kemunculannya yang tiba-tiba. Atau dia sengaja menungguku?

Dia menyadari ketakutan di mataku. Lalu beringsut maju selangkah.

“Kelsey, tenanglah aku tak akan menyakitimu.” Katanya hati-hati. Percaya setelah dia hampir saja mengeringkan darahku? Aku tak bisa semudah itu melakukannya.

“Aku tahu kau pasti takut melihatku. Kau pasti masih syok dengan kejadian semalam. Aku tak bisa menyalahkanmu..” wajahnya terlihat kusut dan penuh rasa penyesalan. Aku sedikit bersimpati. Tapi aku tak bisa begitu saja luluh karna ucapannya. Bagaimanapun juga dia seorang pembunuh berdarah dingin. Aku teringat lagi akan kejadian semalam bagaimana aku hampir menemui ajalku saat Terrence membuka lebar mulutnya, menunjukkan gigi-gigi taringnya yang tajam dan menatapku dengan sorot mata merah yang menakutkan. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Tapi sayangnya sekarang dia ada persis dihadapanku, menatapku. Walau bukan dengan mata merah yang kemarin, pandangannya tetap saja membuatku bergidik.

“Dengarkan aku.. aku hanya ingin minta maaf. Aku tak akan menyakitimu.  Aku sudah berfikir banyak semalam. Aku menyesal melakukannya. Kau harus percaya.” Kali ini dengan wajah putus asa Terrence menjelaskan. Aku semakin ingin memeluknya.

“Apa kau mempercayaiku?” tanyanya. Aku tak dapat menjawab. Otakku sibuk berfikir apakah aku harus percaya padanya atau meragukan ucapannya. Mungkin bisa saja dia berbohong agar bisa menghisap darahku kali ini.

Dia menyeruak perlahan untuk meraihku. Aku ingin lari. Tapi aku juga ingin tetap tinggal. Aku seperti melihat ketulusan di raut wajah Terrence. Aku masih tak bergerak saat dia beringsut mendekatiku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu dari atas kepalaku. Aku tahu Terrence juga menyadarinya. Aku menengok keatas untuk melihat apa yang terjadi. Sebelum aku dapat menyadari, sebuah lampu jalan yang terpasang di sisi jalan tiba-tiba pecah diatasku dan kacanya berhamburan ke bawah. Aku tak sempat menghindar, tapi Terrence dengan sigap memeluk erat tubuhku dan melindungi kepalaku dengan tubuhnya. Serpihan kaca kini berhamburan di sekitar kami.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh ke khawatiran padaku. Aku menganggukkan kepala. Seharusnya akulah yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Dia sudah melindungiku dengan tubuhnya.

“Baguslah,” katanya. Ia tampak lega. Sepertinya pecahan kaca tadi juga tidak melukai Terrence.

“Tadi itu.. kenapa bisa seperti itu..” aku angkat bicara.

“Ini aneh, harusnya tak mungkin lampu jalan bisa pecah begitu saja. Aku merasa ada sesuatu yang mengintai kita. Kita harus segera pergi dari sini,” ucap Terrence penuh keseriusan.

Sesuatu? Mengintai? Apakah itu? Aku tak bisa berfikir jernih disaat seperti ini. Aku pasrah ketika Terrence menggandengku untuk meninggalkan tempat itu.

...

catatan : Kalau ada yang memperhatikan gambar Nathan yang ku post sebelumnya dan gambar Jasper di sini. Sebenarnya mereka adalah orang yang sama cuma beda gaya rambutnya saja. Semoga tidak ada yang keberatan dengan itu. Anggap saja mereka orang yang berbeda. Hehe..

Senin, 05 September 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 6)

 Soundtrack : Pour Some Sugar On Me (Def Leppard Cover) by The Maine

Bel berakhirnya pelajaran terakhir baru saja berbunyi tapi bunyinya nggak lebih keras dari debaran di dada gue karna sebentar lagi gue akan berduaan lagi dengan Lyoid. Jangan mikir yang enggak-enggak, maksud gue, gue bakal punya kesempatan buat ngobrol lebih banyak lagi sama dia. Mikirin hal itu buat jantung gue serasa mau copot karena kilasan-kilasan kejadian saat bersama Lyoid yang entah mengapa selalu pada saat yang aneh atau tak terduga.

Ups, kali ini apa akan terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya ya? Dalam hati gue menginginkan jawaban iya.

Siku Marin menyenggol tangan gue membuyarkan lamunan gue.

“Lo jadi pergi abis pulang sekolah sama si … malaikat?” Mata Marin bergerak ke sudut kanan ke meja di seberang kami. Mata gue ikut mengekor pandangannya. Tapi yang dicari sudah nggak ada di sana. Hanya ada Luca yang bertemu pandang dengan kami dan mengedikkan bahu. Dimana Lyoid?

Gue bergegas keluar kelas dan menengok kanan kiri. Tak ada Lyoid. Dia pasti pergi begitu bel berdering dan waktu gue masih melamun. Gue berjalan menuju pintu gerbang dan menemukan seseorang berpostur tinggi berambut abu-abu bersandar di tembok sambil menggendong ranselnya pada satu bahu. Gue lekas menghampirinya.

“Kenapa nggak tunggu di kelas?” Pertanyaan percuma karna dia udah langsung melangkahkan kaki jenjangnya begitu gue sampai dedekatnya, menjauhi gerbang sekolah. Gue mengikutinya dari belakang dan mencoba menyesuaikan dengan langkah kakinya yang panjang.

“Mau kemana kita?” sekarang gue udah ada persis di sampingnya.

“Mall?” jawab Lyoid yang lebih terdengar sebagai pertanyaan ketimbang jawaban.

“Mall?” gue mengulangi sekali lagi.

“Kamu tau mall yang ada di dekat sini?” tanyanya.

“Tentu aja.” Tanpa bermaksud bersikap sombong tapi tetep aja ada nada sedikit berbangga pada suara gue.

“Mau cari apa di mall?” kata gue begitu gue dan Lyoid sampai di pintu masuk mall. Tak begitu jauh dari SMA Permata Bangsa. Gue udah pernah bilang kan kalo lokasi sekolah nggak jauh-jauh dari pusat kota?

“Dimana toko alat tulis nya?”

“Di lantai tiga.”

Kami ke toko alat tulis dan Lyoid berada di bagian cat air. Ia memilih-milih beberapa cat air dengan ukuran yang besar dan perlengkapan melukis lain seperti kuas dan palet dengan berbagai jenis ukuran. Dan tak ketinggalan ia membeli kanvasnya.

Wow, nggak nyangka keranjang belanjaan kami udah di penuhi seabrek barang-barang dari toko. Mungkin dia bisa aja beli seluruh isi toko kalau dia mau. Kami kemudian keluar dari toko dan menenteng barang-barang belanjaan itu. Tentu aja tas yang berat Lyoid yang angkat.

“Lo mau ngelukis?” Tanya gue di sela-sela berjalan terpontang-panting ngikutin langkah cepat Lyoid yang nggak terlihat sedikitpun terbebani barang bawaan. Gila nih cowok, kuat amat. Gue aja yang cuma nenteng satu plastik, jalan terseok-seok. Mungkin karna ngimbangin jalannya Lyoid juga kali ya.

“Iya,” jawab Lyoid.

“Lo suka ngelukis?” Pertanyaan bodoh. Udah jelas kalo ia beli alat-alat lukis sebanyak ini dan bilang pengen ngelukis pastinya ia suka ngelukis lah. Napa sih lo Lun dari dulu begok amat.

Tangan gue yang bebas nimpuk-nimpukin kepala gue sendiri.

“Suka,” jawab Lyoid enteng, saakan pertanyaan gue wajar aja. Huff.. syukurlah.

Kami kembali berjalan memasuki apartemen Lyoid. Ini yang kedua kalinya bagi gue tapi kenapa gue masih aja ngerasa gugup melangkahkan kaki ke sini? Jantung gue berdegup kencang seperti hampir melompat dari dada tapi gue berusaha nyembunyiin agar Lyoid nggak curiga. Gila aja Lyoid bakalan denger detak jantung gue.

“Masuk,” kata Lyoid ketika kami sudah sampai di depan pintu apartemennya. Mungkin kalo yang ngomong cowok yang nggak gue kenal dan bertampang mesum gue bakal langsung lari terbirit-birit. Tapi kali ini Lyoid yang ngomong, walau suaranya terdengar dingin, eh maksud gue cool, gue nggak keberatan sama sekali nurutin perintahnya.

Lyoid membimbing gue masuk ke ruangan yang belum diisi banyak barang dan kami meletakkan barang belanjaan di sudut ruangan. Mata gue berkeliling ke sekitar. Ruangan ini luas namun tampaknya belum digunakan untuk ruang apapun. Lidah gue tergelitik untuk bertanya.

“Tempat ini.. mau dijadikan apa?”

Lyoid melirik ke gue di sela-sela acara membongkar barang belanjaannya. Kemudian ia membawa kanvas dari tas dan memasangkannya di kayu penyangga yang diletakkannya di tengah ruangan. Ia juga menyiapkan palet dan cat air serta kuas di meja dan menata kursi lipatnya pula di depan kanvas.

“Ini akan jadi studio lukisku tak lama lagi.” kata Lyoid.

Gue masih terpaku memandang siluet tubuh Lyoid yang terterpa cahaya dari balik jendela memberikan efek dramatis seolah-oleh Lyoid seperti malaikat yang bersinar. Sesaat gue seperti melihat Lyoid tersenyum walau tak begitu kentara, ia nampak puas dengan kerjanya.

“Indah banget..” mulut gue tiba-tiba bicara.

“Ya?” tanya Lyoid.

“Eh nggak, maksud gue studio lukis lo keren. Emang belum jadi sih, tapi gue bisa bayangin kalo ini bakalan jadi keren banget.” Jawab gue berusaha nyembunyiin grogi karna keceplosan mengagumi Lyoid.

“Ya, begitulah. Mau keluar?”

“Keluar?”

Belum sempat gue ngerti maksud Lyoid, dia sudah berjalan meninggalkan ruangan dan menuju ke pintu di sebelah ruang tamu dan membukanya. Nampak hamparan kristal jernih berwarna biru dari ubin di dasar kolam dan pancaran sinar matahari pada permukaan air. Ternyata apartemen mewah ini belum cukup memberi gue kejutan. Ia memiliki kolam renang sendiri di atas gedung di lantai dua puluh ini.

Dasar orang kaya. Keluh gue.

Gue pun sudah menjelajahkan kaki di sekitar kolam renang yang juga merupakan balkonnya, mengamati pemandangan dari atas gedung.

“Lo biasa renang?” tanya gue.

“Cukup sering sebelum pindah ke sini.” Dan lagi-lagi hal mendebarkan itu terjadi. Lyoid membuka kemejanya dan kali ini beserta celana panjangnya. Ia hanya mengenakan boxer untuk berenang dan dengan indah ia meluncur dari pinggir kolam ke dalam air yang tampak menggiurkan.

Bunyi kecipak air dapat gue denger saat Lyoid berenang dari ujung kolam ke ujung yang lain, sangat indah dan mata gue tak mampu beralih dari sosoknya yang menawan. Ia..nampak begitu sempurna.

“Hey, mau ikut berenang?” tanyanya, membuyarkan lamunan gue.

“G-gue? Gue nggak ikut renang. Gue harus segera pulang. Emm.. sampai ketemu besok.” Jawab gue, pengen segera pergi dari tempat itu sebelum gue kepikiran yang macem-macem. Sial. Gue grogi!

“Oh..ok, apa perlu diantar?”

“Nggak usah, lo terusin aja renangnya. Gue pulang sekarang. Bye.” Tanpa menunggu jawaban dari Lyoid, gue langsung melangkahkan kali bermaksud untuk segera pergi. Tapi suaranya mencegah gue.

“Tunggu,”

Lyoid beranjak keluar kolam. Tubuhnya basah oleh air dan ia tampak sangat.. sexy.

Sial. Harusnya gue segera pergi. Kenapa? kenapa? kenapa dia harus cegah gue? Sekarang dia semakin mendekat dan berdiri di depan gue. Cukup dekat. Bisa dibayangin seberapa merah muka gue. Kaki gue nggak bisa gerak. Kaki gue seakan lemes tanpa disanggaa satu tulangpun.

“Y-ya? Mau apa?”

Jangan pandang dadanya, jangan pandang ke bawah. Luna apaan sih yang lo pikirin? Gue nggak bisa mikir. Pertanyaan apa barusan? Mau apa? Emang dia mau apa? Kenapa gue jadi grogi. Kenapa lagi-lagi gue harus berhadapan dengannya seperti ini? Gue pengen pulang! Jerit gue dalam hati.

“Aku belum berterima kasih kau sudah mau menemaniku.” Katanya.

“Nggak masalah. Cuma hal kecil, nggak usah dipikirin.”

Ugh, tenang. Lo bisa bertahan. Luna, lo pasti bisa.

“Ok, thanks.”

“Sama-sama. Gue pulang sekarang.” Kali ini tanpa menengok lagi gue bergegas melangkahkan kali menuju pintu keluar dan berharap bisa segera menjauh dari apartemennya. Tempat ini membuat gue hampir kena serangan jantung taip kali. Gue harus segera pergi sebelum dada gue meledak karna terlalu keras berdebar.

Lyoid, lo bikin gue gila.

-"-

Saat gue buka pintu, Rheam sudah ada disana. Berdiri di pojok ruangan dengan bersandar ke dinding dan bersedekap tangan. Tatapannya tampak tidak senang ketika ngeliat gue. Udah bisa gue bayangin apa yang akan terjadi setelah ini.

“Kemana aja lo?” tanya Rheam.

“Ye terserah gue dong mo kemana. Kenapa harus bilang ke elo.”

Rheam mendekat ke arah gue, lalu berhenti tepat di depan gue. Ia memcondongkan badannya sedikit ke muka gue.

“Lo budak gue. Gue berhak tau kemana dan apa aja yang lo lakuin.”

Sesaat, gue ngerasa ketakutan dengan sikap Rheam. Tapi gue mencoba tetap tenang.

“Gue abis pergi bareng temen. Puas lo?” abis ngomong itu, gue langsung cabut dari hadapannya. Tapi telat, Rheam udah nangkap lengan gue dan langsung menyeretnya ke lantai atas.

“Eh, apa-apaan lo, lepasin gue.” Gue coba berontak tapi usaha gue sia-sia.

“Rheam lepasin gue, mo ngapain lo!” kali ini gue berteriak lebih keras, berharap ada orang yang mendengar. Sayangnya gue tau tak ada yang mendengar. Rheam meliburkan seluruh pelayan kecuali pengurus kebun dan satpam yang bertugas di luar. Mustahil mereka mendengar teriakan gue dari dalam rumah sebesar ini.

Gue baru saja melewati kamar gue lalu bertanya-tanya kemana Rheam akan membawa gue. Tepat saat gue berdiri depan pintu. INI KAMAR RHEAM!

Rheam memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya dan mendorong gue masuk.

“M-mau apa lo? Gue nggak mau ada disini. Biarin gue pergi. Gue nggak mau ngelakuin itu!”

Rheam memendang gue heran. Suasana hening sesaat.

“Ngomong apa lo?” tanya Rheam

“L-lo, nggak mau ngelakuin itu?”

“Itu?” ulang Rheam

“Itu..”

Muka gue berubah cengo’

“Bersihin otak lo, pake ini.”

Rheam menyodokan vacuum cleaner ke gue.

“Vacuum cleaner.. Lo kira gue sampah ya.. denger, gue emang salah kira.. tapi gue bukan..”

“Bersihin kamar gue dalam satu jam. Semuanya harus sudah rapi. Jangan pindahin apapun, lo cuma harus bersihin aja. Jangan sampai ada yang rusak. Ngerti?” bentak Rheam.

“Tunggu, jadi maksud lo, sekarang gue pelayan pribadi lo?”

“Ingat perjanjian kita. Mulai sekarang lo pembantu gue. Bersihin kamar gue, siapin sarapan dan makan malam. Kerjakan tugas-tugas yang gue suruh. Jangan lakuin hal apapun tanpa sepengetahuan gue.. termasuk pergi kemanapun.”

“Gue harus minta ijin sama lo?”

“Yup, bener banget.”

Sial! Kenapa gue harus pecahin lampu hias itu. Kalau bukan karna rasa penasaran gue nggak bakal dikutuk jadi budak Rheam dan harus lakuin ini semua. Rheam sialan!

Rheam pun pergi meninggalkan kamar. Sekarang gue sendirian di dalam. Baru gue sadari ini kali pertamanya gue bisa liat isi kamar Rheam. Biasanya ia tak pernah membiarkan siapapun memasuki kamarnya, biarpun itu pelayan yang akan bersih-bersih. Pintu kamarnya selalu dikunci rapat dan tak dibiarkan sedikitpun terbuka.

Pandangan gue beredar ke sekeliing ruangan. Ternyata kamar Rheam cukup rapi. Ia tak meningalkan barang-barang bercereran di lantai selayaknya kamar cowok pada umumnya, dan cukup bersih. Bagus, seenggaknya gue nggak perlu ngeluarin banyak tenaga untuk urusan ini. Cuma ada sedikit barang-barang yang harus dirapikan dan dibersihkan.

Setelah selesai menyedot debu di lapisan karpet beludru mewah di kamar Rheam, kini saatnya merapikan barang. Ada beberapa meja di kamar Rheam. Salah satunya meja belajar dan meja untuk memajang hiasan yang lebih mirip seperti lemari hias di ruang barang-barang antik milik papa. Kemudian masih ada satu lagi meja dengan sebuah kaca di dinding untuk menaruh barang-barang seperti jel rambut dan parfum yang gue duga sebagai meja rias.  

Tempat tidurnya cukup rapi, jadi gue nggak perlu beresin lagi. Lalu sekoyong-koyongnya gue teringat akan ucapan gue sendiri barusan. Apa yang gue pikirin? Gue kira Rheam paksa gue kekamarnya untuk lakuin itu. Muka gue berubah merah. Darimana lo bisa punya ide gila kaya’ gitu, Lun? Dan dengan Rheam? Yang beneran aja. Sial, pasti gara-gara kejadian dengan Lyoid tadi, gue jadi nggak bisa mikir jernih.

Sekuat tenaga gue coba menghapus memori di otak gue. Lalu mulai membereskan barang-barang. Dimulai dari meja belajar Rheam ke meja yang lainnya. Lemari baju Rheam terkunci. Jadi gue nggak perlu ngeberesin baju-bajunya.

Sekarang gue sendang membereskan barang-barang di meja tempat Rheam memajang barang-barang pajangan. Gue mengelap seluruh pernak-pernik yang ada dan meletakkannya ke tempat semula. Lalu pandangan gue tertuju pada sebuah pigura di tengah meja. Seorang wanita muda sangat cantik sedang menggandeng seorang bocah kecil kira-kira berumur enam tahun. Wanita itu memiliki rambut panjang bergelombang dan berwarna pirang. Senyumnya saat tulus dan penuh perhatian. Dia pasti mamanya Rheam. Lalu di sebelah foto itu terdapat satu pigura lagi yang memajang foto dua orang anak kecil sedang duduk dibawah pohon apel dan tersenyum riang ke kamara. Mereka seumuran. Salah satunya anak kecil yang sama pada foto sebelumnya yang gue yakin adalah Rheam dan satunya seorang anak perempuan berwajah asing dengan rambut panjang berwarna pudar. Rambutnya diikat di kedua sisi mirip seperti telinga kelinci. Sangat manis. Mereka tampak gembira bersama.

Gue mengangkat foto itu dan mengamatinya. Di pojok foto tertulis nama Rheam and Lili. Itu kah nama anak perempuan itu? Di samping foto itu tergeletak sebuah syal berwarna merah dengan sebuah inisial nama jahitan tangan yang compang-camping tertulis R & L. Rheam dan Lili kah?

Sebelum gue lebih jauh mengamati kedua benda itu, seseorang menarik pigura di tangan gue dari arah belakang.

“Jangan sentuh yang ini.” Kata Rheam geram. Wajahnya tampak serius.

“Gue cuma mau bersihin aja kok. Kalo lo nggak mau gue sentuh itu ya udah. Gue nggak bakal sentuh itu lagi lain kali.” Kilah gue.

Rheam memandang gue tajam. Baru gue sadari jarak kami sangat dekat. Wangi parfumnya dapat gue cium sangat jelas. Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba?

“Waktu lo udah selesai, sekarang tinggalin kamar gue.” Kata Rheam dengan nada memerintah. Dasar seenaknya.

“Nggak usah pake bentak dong, tadi lo yang paksa gue ke sini. Sekarang usir-usir gue seenaknya.” Bales gue.

“Peraturan selanjutnya, jangan bantah kata-kata gue.”

Ugh, sial.

Lalu dengan muka gondok gue segera meninggalkan kamar Rheam, masuk ke kamar gue sendiri dan menutup pintunya.

Rheam masih berdiri di sana. Memandang foto ditangannya cukup lama lalu meletakkan foto itu kembali ke meja. Pandangannya berubah sayu.