Pages

Rabu, 27 Juli 2011

Isolated Paradise Again

Story by Sitav Nabi from studenmagsz
Translated by Sierra

Disanalah dia duduk sendirian lagi di kantin. Di sebelah kirinya duduk sekelompok anak laki-laki urakan sedang menyibukkan dirinya dengan melihat siapa yang bisa tersedak selai kacang dan sandwich jelly paling cepat dan meneguknya dengan susu. Dan di sebelah kanannya duduk penghuni sekolah paling jahat, melihat keatas dan kebawah pada kaca sakunya untuk menemukan secuil bagian wajahnya yang tidak tertutup make- up. Melihat ke belakang, dapat terlihat sekelompok gadis-gadis manis yang selalu tersenyum saat mereka melihat kearahnya tapi tak pernah mengundangnya untuk duduk bersama mereka. Dan, didepan adalah sekelompok cowok-cowok pemalu yang tak pernah terhindah dari pandangan sepintas lalu, sebab mereka terlalu sibuk meledakkan kantong-kantong kertas.

Dia duduk di tengah-tengah ruang makan yang padat menikmati ham dan sandwich turkey-nya serta pudding coklat dan jus dengan damai. Nyaman seperti biasa, dan baginya itu hal yang lumrah. Tempatnya, tepat diluar lingkaran social kelas sembilan. Setiap hari dia duduk dan menikmati tidak adanya perdebatan untuk diselesaikan, persahabatan untuk dipelihara, dan percakapan apapun yang tidak artinya tentang lip-gloss. Walaupun semua orang memandangnya sebagai cewek antisocial, dia tidak perduli. Dia bangga dengan hal itu.

Tapi suatu hari semuanya berubah. Hari dimulai dengan normal. Pagi berlalu dan segera semua orang berlari di lorong menuju kantin, duduk di kursi mereka dan menggoyangkan kepala mereka kekiri dan kekanan sambil bergosip dengan teman. Dia duduk di meja pribadinya dan terisolasi dari omong kosong dunia remaja tepat saat ‘dia’ datang dengan tiba-tiba, berjalan ke majanya dan duduk tepat disampingnya. Anak laki-laki itu tersenyum dan dia mengernyitkan dahi bertanya-tanya mengapa anak baru itu duduk bersamanya. Seakan-akan hal itu tidak menyiksa, dia mulai berbicara tak terkendali. Seolah-olah dia menunggu hari ini untuk mencurahkan kisah hidupnya pada gadis malang yang sedang kesal yang tak ingin hal lain selain ditinggal sendiri selama empat puluh lima menit. Anak laki-laki itu menelusuri kembali hidupnya lima tahun yang lalu dan dimulai dari sana, diakhiri dengan rencana masa depannya, sambil tersenyum dan melirik ke belakang untuk melihat apakah ada salah seorang dari cowok-cowok yang melemparkan sesuatu kepadanya.

Hal ini berlangsung selama beberapa bulan ke depan dan tidak ada yang khusus tentang waktu makan siang baginya. Tidak ada yang membuatnya terus berharap. Tak ada pulau tenang terisolasi yang tertinggal di mejanya, hanya suara menjengkelkan yang tak pernah menyerah bicara. Dan saat dia duduk kembali untuk empat puluh lima menit yang menyiksa di lain waktu, Anak laki-laki itu tersenyum, tapi dia dapat melihat dengan mudah bahwa itu bukan senyum yang sama. Senyum itu tidak menjangkau matanya dan tidak menyalakan sinar diwajahnya. Dia berkata bahwa ia meninggalkan buku sejarahnya di kelas terakhir dan akan kembali lagi setelah mengambilnya. Yang mengejutkan dia tidak pernah kembali ke mejanya. Hari berikutnya dia duduk di meja  cowok dan tidak bicara dengannya. Dia tidak tersenyum kepadanya, dan tidak mengambilkannya serbet extra. Dan gadis itupun kembali duduk di surga terisolasinya sekali lagi, seperti yang selama ini ia lakukan, semuanya seorang diri.

Jumat, 22 Juli 2011

Heartbreaker

Story by damnxrightxitsxanna from storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack :
Victim Of Love by Cash Cash
Livin In A World Without You by The Rasmus
Heart Heart Heartbreak by Boys Like Girls

Ada keheningan tak nyaman di ruangan abu-abu, tua, dan kotor. Semua benda tergeletak di lantai. Rak-rak diselimuti lapisan debu tipis. Setiap laci dan kotak tampak terbuka kecuali sebuah peti di pojok ruangan. Di meja putih tergeletak sebuah kunci mobil dan uang 50 bucks. Pintu ruangan terbuka dan seorang cowok bertubuh tinggi bermata biru masuk kedalam. Rambut coklatnya bergerak anggun saat ia berjalan menuju meja putih. Dia mengambil uang dan kunci mobilnya dan memandang pada peti yang tertutup itu. Dia tersenyum yang berbisik pada dirinya sendiri. “Hari ini aku akan dapat koleksi baru.” Setelah itu diapun pergi.

Hari ini tidak dingin tapi juga tidak panas. Bisa dibilang ini cuaca yang sempurna di dunia yang tidak sempurna ini. Cowok bermata biru masuk ke mustang merahnya dan saat dia duduk sepasang cowok remaja menghampirinya. Mereka berhenti tepat disamping mobilnya dan menyapa “hai” dan “ada apa” pada waktu bersamaan. Cowok bermata biru menatap mereka dari mobilnya dan berkata “Hey guys, jadi apa yang kalian lakukan?”

“Well, ada party di rumah Jackson, mau ikut dengan kami?” cowok paling tinggi diantara keduanya bertanya.

“Um, aku tidak tahu kawan, kalian lihat, aku berjanji pada Jessica aku akan datang hari ini dan dia nampak sedikit kesal, jadi kupikir aku harus pergi melihat apa yang salah.”

“Tidak mungkin, jangan bilang kalau kau sudah punya cewek baru. Kau kan cowok berengsek Jim. Aku tak percaya ini.”

“Well, apa salahnya punya cewek baru? Aku harus melanjutkan hidup cepat atau lambat, kau tahu?”

“Well, yeah, tapi baru minggu kemarin pemakaman Jackie dan kamu sudah punya cewek baru, tapi ini hidupmu, kawan.”

“Tepat sekali, sekarang, dengar. Aku harus pergi menemui Jessica, jadi sampai jumpa.”

“Hati-hati, dan Jangan biarkan Jessica yang ini mati begitu mudah.”

“Pergi saja lah.” Dia menstarter mobilnya dan pergi menyusuri jalan. Dia pemperlambat kecepatan saat melihat dua gadis cantik sedang bermain bola voli di depan sebuah rumah berwarna kuning. Dia tersenyum pada dirinya sendiri dan mengengok pada kursi penumpang. Ada sebuah kain rombeng berwarna kuning dan dapat kamu lihat sesuatu dibawahnya.  Dia mengemudi dengan kecepatan 40 mil per jam. Hanya tinggal satu belokan lagi ke rumah Jessica.

Dia berbelok ke kanan. Ada sebuah taman di depannya. Dia memarkirkan mobilnya, mengambil kain kuning itu dan sesuatu di bawahnya. Dia pergi ke taman dan duduk di bangku hijau dimana dia memutuskan untuk menungu. Hari itu hari yang indah, langit tampak cerah, mata hari bersinar, sekitar 75 derajat, tidak terlalu panas atau terlalu dingin. Bisa dibilang ini hari yang sempurna.

Jim tersenyum kembali, kali ini ia melihat sakunya dimana ia menyembunyikan kain berwarna kuning itu. Seorang gadis datang padanya dan duduk disebelahnya, dia tidak bereaksi. Gadis itu mulai menangis. Jim masih tidak bergerak, kemudian cewek itu mulai berteriak.

“Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini? Katamu kau mencintaiku! Kenapa kau bahkan tak bisa memandangku? Aku tahu, kamu punya masa lalu yang kelam. Pacarmu meninggal dan sabagainya, tapi kenapa sedikitpun kau tak bisa memandangku?”

Jim berdiri tanpa menatapnya dan berkata pelan  “Ikut aku”

Gadis itu tak berkata apa-apa, dia berdiri, meraih tangan cowok itu dan pergi bersamanya. Anak-anak berteriak satu sama lain di taman. Beberapa sedang bermain ekor-ekoran dan beberapa hanya sedang berlarian saja. Jim dan Jessica pergi semakin jauh dan jauh dari semua orang. Ada sebuah hutan di depan mereka. Rasanya sedikit dingin di bawah bayang-bayang pepohonan. Gadis itu memeluknya.

Dia mendorong halus gadis tersebut menjauhinya kemudian merenggut kedua tanggannya. Sekarang di kedua mata birunya yang indah kau dapat melihat air mata. Air mata itu perlahan membasahi pipinya. Dia berkata dengan suara bergetar,

“Jessica, apa kamu mencintaiku?

Mata gadis itu dipenuhi air mata saat ia menjawab, “Tentu saja aku mencintaimu. Aku tak dapat hidup tanpamu!”

Walaupun air mata membasahi pipinya namun nampak seolah-olah cowok itu sedang tersenyum. Dia bertanya, “Apa kamu akan melakukan apa saja demi aku?”

Jessica nampak sedikit terkejut dengan pertanyaannya tapi dia menjawab, “Ya, tentu saja aku akan melakukannya. Apa yang kau ingin aku lakukan untukmu?”

Sekarang kau dapat melihat jelas senyum di wajah cowok itu, ia berpaling dan tersenyum semakin lebar. Tapi sang gadis tak melihat senyumannya. Setelah beberapa detik dia melihat ke gadis itu lagi, air matanya mengalir kembali.

“Mau kah kau…” suaranya terpotong. “Apakah hatimu milikku?”

Jessica nampak kaget dengan pertanyaannya tapi dia menjawab “Iya, hatiku milikmu. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Hatiku hanya untukmu!”

Tiba-tiba ekspresinya berubah. Sekarang wajahnya terlihat dingin. Walaupun dengan air mata yang masih dipipinya dia terlihat tak perduli.

“Kalau begitu berikan itu padaku.” Katanya tanpa ada ekspresi di suaranya.

“Apa?”

Dia tersenyum dan berkata,

“Katamu hatimu milikku, berikan itu padaku.”

Jessica terlihat semakin bingung membuat Jim semakin tersenyum lebar. Dia mengeluarkan kain kuning dari sakunya dan perlahan membukanya. Ada sebuah pisau tersembunyi di dalamnya. Dia tersenyum kembali dan memberikan pisau itu pada sang gadis sambil berkata, “Berikan hatimu untukku.” Si gadis menatap matanya dan berkata tanpa pikir panjang,

“Kamu sakit!”

Jim mulai tertawa dan merenggut tangannya dan saat memegangnya erat-erat dia berkata,

“Bila kamu tak akan memberikannya padaku, maka kukira aku berhak mengambilnya sendiri. Karena seperti katamu, itu milikku.”

Si gadis mencoba meloloskan diri, tapi ia tak cukup kuat dan tak ingin menyakiti cowok yang sekarang nampak kehilangan kewarasannya.

“Apa masalahmu?” Dia mulai berteriak saat Jim membuka bajunya. Cowok itu meletakkan pisaunya ke tanah dan mulai menangis. Setelah beberapa saat ia melepaskan tangan Jessica dan mengatakan bahwa dia menyesal.

“Pulanglah ke rumah sekarang Jessica. Aku sangat menyesal. Aku tak akan menyakitimu, kau tahu, aku tak pantas untukmu. Pulang lah!”

Jessica menatap dalam ke matanya dan mereka berciuman. Jim menatap wajahnya sekali lagi dan mulai menciumnya lebih bergairah dari sebelumnya. Dia mendorongnya sedikit ke belakang hingga punggung Jessica menempel ke pohon. Jessica meletakkan tangannya dibelakang leher Jim dan menciumnya lagi. Jim mengambil tangannya dan meletakkannya di belakang pohon. Sebelum Jessica dapat menyadari dia mengikat tangan Jessica bersama dengan bajunya yang masih ia pegang. Dia tersenyum sambil berkata,

“Kau begitu naïf.”

Gadis itu coba menendangnya tapi ia bergerak dan mengambil tali yang tampak sudah tergeletak disana beberapa minggu. Tali itu berlumuran darah. Dia meletakkannya sekitar sepuluh kaki jauhnya dari Jessica dan mengitari pohon dimana ia terikat. Jim mengitarinya lima kali lalu mengikatkan talinya.

Sekarang ia tak dapat menggerakkan kaki maupun tangannya. Jim mengambil pisau dari tanah dan mendekatinya.

“Mengapa kamu lakukan ini?”

Jim tertawa sambil berkata “Aku hanya mengambil apa yang menjadi milikku.” Dan saat ia meletakkan tangannya di mulut si gadis membungkamnya untuk bicara ataupun berteriak dia secara perlahan menikamkan pisau tepat di atas dada gadis itu.

Darah mengalir di dada gadis itu dan Jim mulai memotong dalam garis lurus diatas dadanya.

“Disana.” katanya saat si gadis kehilangan kesadarannya. ia meletakkan tangannya dalam potongan yang ia buat. Saat ia meletakkanya semakin dalam dan dalam dia tersenyum lagi. Tiba-tiba dia menarik tangannya keluar dari dada si gadis dan ditangannya ada jantung si gadis. Dengan pisaunya ia memotong semua urat dan pembuluh darah dan membungkusnya pada kain kuning. Dia melepaskan ikatan pada mayat si gadis  dan mengambil tali dan pakaiannya lalu meletakkan semuanya di tanah. Kemudian dia mengambil pisau dan membersihkan gagangnya dengan pakaian si gadis lalu meletakkannya di samping mayatnya. Dia membawa tali, pisau dan kain berwarna kuning itu bersamanya dan berjalan perlahan ke mobilnya. Saat itu sudah gelap, taman itu kosong. Dia pergi ke toilet umum dan membersihkan tangannya disana. Kemudian dia masuk ke mobilnya dan pulang ke rumah.

Saat ia mengemudi ia melihat cowok-cowok yang sama tadi siang. Dia berhenti dan mereka menceritakkan bagaimana menyenangkannya pesta barusan kemudian salah satu diantara mereka berkata, “Lalu bagaimana di tempat Jessica?”

“Jangan ingatkan aku, dia mulai menangis tanpa alasan dan kemudian memanggilku berengsek. Kurasa ia hanya salah satu dari cewek-cewek ‘OMG-Aku-punya-segudang-masalah’ yang banyak ku jumpai akhir-akhir ini. Jadi aku tidak melihat ada gunanya berkencan lagi dengannya. Kau tahu, aku putus dengannya.” Kata Jim dan beberapa temannya mulai tertawa.

“Kau bergerak terlalu cepat” kata salah satu dari mereka.

“Mungkin kau benar, tapi aku tahu pasti bukan dia orangnya. Oh well, mungkin suatu hari nanti aku akan menemukan seseorang yang akan kuberikan hatiku untuknya…” Dia tertawa sendiri dan seseorang berkata, “Kedengarannya sangat gay, jauh-jauh dariku!” dan Jim tersenyum pada teman-temannya dan bilang dia harus segera pergi sekarang.

Akhirnya ia sampai ke rumah, dia menghentikan mobilnya, mengambil kunci, tali dan kain berwarna kuning dan saat ia berjalan ke pintu ia melemparkan talinya. Dia masuk ke kamarnya yang berantakan dan meletakkan kunci di meja dan berhenti sejenak memandang peti.

Dia berjalan mendekatinya perlahan dan membukanya, di dalamnya ada sekitar dua puluh jantung  saling lumat jadi satu. Dia membuka lipatan kain kuning dan menaruh jantung baru disana. Dia menutup peti itu dan keluar dari rumah untuk membuang kainnya. Lalu ia kembali ke kamar dan berbisik pada dirinya sendiri saat ia menatap peti itu.

“Yeah, mungkin suatu saat nanti aku akan memberikan hatiku untuk seseorang.”

Kamis, 14 Juli 2011

Tainted Blood (Vampire Story)

Story by  Brittany Envy
Translated by Sierra

Soundtrack : Wishlist by The Ready Set 


Kisahku mungkin hampir sama seperti kisah-kisah yang pernah kau dengar di beberapa cerita tentang remaja dan walaupun kau pernah mendengarnya aku yakin kalau kisahku ini berbeda. Namaku Aiden. Umurku tujuh belas tahun dan masih tetap bertahan seperti itu untuk beberapa waktu. Aku hidup bahagia selama masa kecilku  hingga menginjak remaja. Keluargaku mencintai dan menyayangiku melebihi siapapun didunia ini. Hingga sekitar tiga tahun yang lalu. Pada waktu itu malam Halloween. Aku sedang merayakan ulang tahun ke tujuh belas ku dan Halloween tentunya. Semua keluarga dan temanku ada disana untuk menikmati pesta. Kami menyalakan TV untuk menonton film horor tapi yang pertama muncul di layar yaitu breaking news tentang sebuah berita penting. Terlihat seorang pria asing yang berjalan keluar dari sebuah rumah dimana kemudian ditemukan  tiga jasat dan pria tadi masih buron.

Semua orang menjadi ketakutan dan kami semua dengan cepat melupakan tentang film yang akan kami tonton dan cemas akan pria asing itu sebab jasat yang baru ditemukan berada di sekitar tempat tinggal kami. Sebelum aku dapat memahami apa yang sedang terjadi pintu rumah kami terdobrak dan seorang pria dengan wajah gila dan berlumuran darah masuk ke dalam rumah. Aku menyaksikan dengan tampang ketakutan ketika dia menerjang teman-teman dan saudaraku dengan taring besar keluar dari mulutnya. Satu demi satu keluarga dan temanku cercabik-cabik di depan mataku dan aku tak dapat berbuat apapun untuk menyelamatkan mereka. Akhirnya setelah tubuh ibuku terkulai lemas di lantai tak ada seorangpun yang tersisa kecuali aku. Aku terduduk dilantai, mataku terbelalak tak percaya dan tubuhku bergetar dalam ketakutan. Si pembunuh berjalan ke arah ku dengan masih menunjukkan taringnya. Saat itu aku menyadari dia bukanlah seorang manusia. Dia seorang vampire. Dia menarikku dari lantai dengan mudah dan membenamkan taringnya di leherku yang bergetar.

Sebelum dia dapat meminum tetes terakhir darahku sebuah tembakkan ditembakkan kearahnya. Aku melirik dan melihat seorang polisi melesat kearah ku. Sosok itu menjatuhkan tubuhku ke lantai dan berlari. Aku memandang sekitar dan menjadi semakin lemah dalam sekejap. Rasa sakit memenuhi seluruh tubuhku. Aku melirik ke tubuh-tubuh mati dari orang-orang yang kukasihi hingga semuanya berubah menjadi gelap.

Aku tidak ingat kejadian setelah malam itu tapi aku terbangun hari berikutnya di rumah sakit dan merasa sangat kehausan. Saat aku terbaring di tempat tidurku dengan tenggorokan yang terbakar yang dapat kupikirkan ialah apakah yang dapat ku perbuat untuk menghentikannya. Aku menyambar segelas air di sebelah tepat tidur dengan kecepatan tinggi yang mengejutkanku kemudian aku meremas gelas itu, tapi aku tak merasakan rasa sakit ketika gelas itu hancur dan luka ditanganku seketika menghilang.

Aku melompat dari tempat tidur masih dengan rasa tak percaya dan berlari menuju pintu. Aku tak dapat berpikir apa yang sedang terjadi padaku. Kemudian aku mencium bau itu. Aroma paling memabukkan yang pernah kucium sepanjang hidupku. Aku berjalan menuju bau itu sebelum menyadari  di gigiku tumbuh taring dan aku sedang menghisap hingga kering sebuah kantung darah. Aku mendengar apa yang kuduga sebagai pintu yang dibuka dan dengan kecepatan baru yang kutemukan dengan cepat aku melompat ke jendela yang terbuka, kantung darah berada di tangan ku.

Dalam sebulan aku menemukan tempatku sendiri untuk  tinggal, berpura-pura sebagai siswa SMA. Aku hidup dalam kedamain selama tiga tahun ini. Tahun ini aku seorang senior dan aku tahu aku harus berpindah tempat setelah lulus SMA nanti karena masalah umurku. Orang-orang akan segera curiga jika tahun-tahun berlalu dan penampilanku sama sekali tak berubah.

Jadi disinilah aku sekarang masih mencari pria gila yang membunuh keluarga dan teman-temanku. Aku hampir tidak ingat wajahnya dan aku telah mencarinya selama waktu yang tak terhitung di catatan perpustakaan menggali lebih dalam laporan tentang seorang pria asing dan jasat yang ditemukan, tapi tiap kali aku hanya berakhir di kasusku sendiri. Aku disebutkan telah meninggal pada berkas perkara setahun yang lalu semenjak mereka tidak dapat menemukanku setelah aku menghilang dari rumah sakit.

Menemukannya adalah obsesiku. Gambaran setiap orang yang terbunuh menghantuiku tiap malam tidak bahkan fakta bahwa aku dapat bangun dan berjalan dibawah matahari dapat menghiburku. Aku muak dengan bagaimana aku harus hidup, mencuri dan makan dari katong-kantong darah untuk bertahan hidup. Aku adalah makhluk hina yang juga harus dilenyapkan terutama ketika aku telah membunuh seseorang ditahun pertamaku menjadi vampire. Aku juga selalu dihantui oleh wajah seorang gadis malang. Aku berharap dia dapat membunuhku waktu itu. Jika ada satu hal lagi yang membuatku muak yaitu kenyataan bahwa aku telah tertarik pada seorang gadis di sekolahku yang harus ku kenal dengan baik. Aku tak akan berbuat apapun kecuali melukainya bila aku berada didekatnya walaupun disanalah aku berbicara dengannya setiap hari. Aku telah mengenalnya selama tahun-tahunku disekolah SMA ini dan aku sangat menyukainya tapi kami tidak mungkin bersama. Sama sulitnya saat aku mencoba untuk menjauh, dia selalu membuatku kembali kepadanya.

Dan hari itu akhirnya tiba dimana aku menemukan lokasi pria yang telah kucari-cari di sebuah artikel baru yang mengumumkan empat tubuh telah ditemukan dihisap habis darahnya. Aku cepat-cepat pergi ke lokasi dan berlari ke dalam rumah dimana garis polisi dipasang. Aku mengendus kesekitar dan dapat merasakan aroma tubuhnya di hutan sekitar. Ketika aku tiba aku dapat menangkap sekilas gerakan dan menyambarnya. Sosok itu balik melawan dengan kekuatan brutal dan begitulah bagaimana aku tahu itulah dia. Dia mendorongku kemudian memandang dengan mata terbelalak tak percaya. Dia kemudian menggeram dan menerjang ke arahku. Dia telah jauh tersesat dalam darah nafsunya. Aku kembali melawan dan segera merasakannya lemas di tanganku saat itulah aku menyadari telah menyedot darahnya sampai kering dan dengan brutal menikam jantungnya dengan cabang pohon.

Aku melihat darahnya di tanganku tahu kalau balas dendamku telah tercapai namun entah mengapa aku merasakan sakit didalam. Aku mendengar gerakan di semak-semak dan keluarlah gadis yang kucintai. Aku menatap matanya dan yang dapat kulihat ialah seorang monster gila berlumuran darah dengan taring mencuat. Saat itulah aku menyadari kalau pria itu lah pemenang sesungguhnya dia telah mengubahku menjadi seperti dia.

Aku melangkah menuju gadis yang kucintai tapi dia berteriak dalam ketakutan dan rasa jijik. Dia beranjak untuk lari dan terjerembab ke tanah, gemetar ketakutan. Kilas balik tentangku ketika berada di posisinya melintas dibenakku. Aku mengulurkan tanganku padanya tapi itu hanya membuatnya semakin mundur ketakutan. Aku mengangkat dan mencuim bibirnya. Ciuman yang sangat indah sama seperti lainnya yang telah lalu hanya sedikit bedanya yaitu aku dapat merasakan ketakutan di bibirnya dan darah dari pria itu.

Tiba-tiba aku merasakan sakit di dadaku dan aku melihat sebuah cabang pohon didorong ke dadaku dengan tangan gadis yang kusayangi memegang ujung satunya. Ada air mata di matanya dan dia mulai terisak saat aku terjatuh ke tanah. Aku memandang sekali lagi ke matanya dan wajah cantiknya. Semuanya menjadi gelap.

Selasa, 12 Juli 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 7)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Well, sekarang secara rasmi aku sudah menjadi pacar Sam. Aku masih belum mengerti kanapa aku berkata iya pada ajakan Sam. Tapi ini hari Sabtu aku berniat untuk menikmati hariku. Aku berharap bisa menghabiskan sepanjang waktu dengan tetap memakai baju tidurku.

“Hey mom,” kataku saat berjalan ke dapur.

“Hey sayang. Bisa bantu ambilkan koran?”

“Tentu”

Tanganku berhenti di knop pintu ketika menyadari apa yang sedang kulakukan. Bagaimana kalau ada surat lain dari dia? Tidak. Dia tidak akan mengacaukan hari Sabtu ku. Aku membuka pintu, mengambil koran dan terhenti  sejenak. Dengan hari-hati aku mengecek sekali lagi. Tak ada surat dari Sam. Huff

“Ini korannya,” kataku, melemparkannya di meja.

Aku mengambil cemilan dan membawanya ke ruang keluarga untuk menonton TV. Walaupun begitu aku tidak bisa berkonsenterasi pada apapun yang kulakukan. Aku mengoleskan krim keju di tangaku dan menumpahkan jus jeruk di baju. Ugh. Setelah selesai sarapan aku berganti baju.

Pikiran tentang surat yang mungkin ada di kotak surat menggangguku. Aku berusaha melupakannya, tapi rasa penasaranlah yang menang. Aku segera membanting pintu dan mengintip dari celah. Tak ada surat. Aku memasukkan tanganku lebih dalam ke kotak surat. Masih tetap tak ada. Yeah, tak ada surat! Lega, aku kembali ke kamar untuk menata rambut.

“Reyna! Ada temanmu disini!”

Teman? Saat aku berjalan menuruni tangga, aku sangat berharap itu bukanlah Sam. Harapanku sia-sia karna dialah yang ada disana.

“Hey Reyna,” sapanya.

“Oh…uh, hey.”

“Kalau begitu nyonya Starr, aku berharap bisa meminjam putri anda hari ini.” Dia berkata dengan suara polos yang memuakkan.

“Apa dia temanmu, Reyna?”

Aku ingin sekali berkata tidak. Tidak, tidak. Lidahku gatal untuk mengatakkannya.

“Iya, mom. Jangan khawatir.”

“Baiklah kalau begitu, kembali sebelum petang, oke? Aku harus pergi berbelanja bahan makanan hari ini.” Katanya sembari kembali ke dapur.

“Hey, hey! Reyna, hari ini kamu milikku.” Dia berkata dengan nakal.

“Tidak, aku bukan milikmu. Aku adalah milik diriku dan bukan orang lain.”

“Apa kamu ingin aku menceritakkan ke ibumu kau adalah pacarku?”

“TIDAK!” jeriktu, mendengin di sekitar.

“Kalau begitu,” katanya, memberi jeda secara dramatik, “Bersiaplah untuk hari in—“

“Oke! Aku akan bersiap.” Kataku, menutup telinga.

Aku berlari ke atas dan melempar sembarangan baju dari lemari ke tempat tidur. Aku memilih setelan baju yang tampak manis dan memakainya kemudian lari ke bawah tangga untuk menemuinya. Dia mengisyaratkanku mengikutinya dan dengan enggan aku menurutinya.

“Apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku.

“ ’Kita’ akan pergi bermain!” katanya, terdengar seperti anak kecil.

‘Kita.’ Ugh.

“Kemana… kita akan pergi?”

Dia tersenyum lebar saat aku mengatakan ‘kita’ dan menjawab,

“Ke mall!”

Dia menggandeng tanganku dan berjalan menyusuri jalan. Satu-satunya mall yang kutahu ada disekitar sini yaitu Nortwood Plaza, dan jaraknya sekitar lima belas menit berjalan kaki. Lima belas menit bergandengan tangan.

“Ibu kamu baik ya!”

“Jadi sekarang kamu jatuh cinta pada ibuku?” tanyaku, menggodanya.

“Aku hanya cinta kamu, Reyna.”

Whoa. Sangat tak terduga. Hal itu membuatku berheti berjalan dan memandangi trotoar di depanku. Dia melambai-lambaikan tangan di depan wajahku sehingga aku tersentak dan kembali ‘sadar’.  Namun dia terkikih dan dugaanku dia sedang bercanda. Huff, meskipun begitu sebagian otakku merasa kecewa dan aku tidak dapat mengerti. Kurasa dia merasakan sesuatu yang salah dan mengganti topic pembicaraan.

“Dimana ayahmu?”

Hari ini dengan pasti dia membuatku tidak nyaman. Ayahku meninggalkan ibuku dan aku ketika aku masih kecil. Aku tak dapat mengingat pasti kapan. Ibu dan aku tidak membicarakan banyak tentangnya.

“Dia meninggalkan aku dan ibuku ketika aku masih kecil.”

Wajahnya menunjukkan seakan berkata aku-tidak-bermaksud-membuatmu-merasa-tidak-nyaman. Aku berusaha memberikannya pandangan well-kau-telah-melakukannya, tapi itu tidak berhasil. Saat kami berjalan dalam kesunyian, akhirnya kami telah sampai di Nortwood Plaza. Aku bukanlah tipe yang terlalu gila belanja dan tidak terlalu perduli dengan shopping. Tentu saja, sebagai remaja aku butuh berpakaian yang pantas, tapi yah hanya itu. Aku tidak berbelanja untuk bersenang-senang.

“Jadi, kamu sering belanja?” aku bertanya padanya.

“Tidak”

“Lalu kenapa kita sekarang ada disini?”

“Karena aku ingin berada bersamamu, Reyna.”

Dari waktu-kewaktu dia selalu saja mengeluarkan pernyataaan yang membuat pipiku memerah. Kupikir dia menyukainya. Dia menemukan kelemahanku. Sepertinya.

Mall ramai dukunjungi penggemar shopping dan para pasangan. Dan.. oh sial. Itu Mark. Dia tidak melihat ke arah kami, tapi sebagai jaga-jaga aku menarik Sam ke arah lain. Aku masih bisa mengingat kobaran api di matanya ketika dia beradu dengan Mark.

“Kemana kamu membawaku, Rey?”

Rey? Yang benar saja, kau pasti sedang bercanda. Aku menggerutu dalam hati. Aku tidak mengeluh karena aku membencinya, tapi sesuatu dalam diriku… menyukainya.

“Ke.. ke.. um… “

“Mau minum?”’ tanyanya sambil tertawa.

“Yeah, terserah.”

Aku mendapatkan Strawberry smoothie dan dia mendapatkan minuman kola. Aku menyedot minumanku dalam diam ketika kami berjalan mengelilingi mall. Berbicara tentang hal-hal aneh.

“Hey, Sammy.”

Oh sial. Kenapa? Kenapa kenapa kenapa? Wajah Sam berubah gelap sebelum ia membalikkan badan menghadapi ke Mark.

“Kenapa kamu ada disini!?”

Rambut Mark sudah tumbuh lebih panjang dari terakhir aku berjumpa dengannya. Matanya terlihat menggoda, tapi jelas Sam tidak menggubris. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena masih shock.

“Whoa. Kenapa cepat sekali marah, Sammy boy?”

Sam melotot dan yang bisa kulakukan hanya berdiri saja disana.

“Apa ini karena aku sedang mengganggu kencanmu dengan gadis mungilmu? Well, bagaimana kalau kita sedikit melakukan permainan?”

Tiba-tiba Mark langsung menggandeng tanganku, menjauhkanku dari Sam dan berlari membawaku. Aku terlalu lemah untuk mencoba melawan oleh sebab itu aku terseret sepanjang jalan seperti boneka mainan.

“Mari kita lihat apakah si kecil Sammy dapat menangkap kita.” Gumam Mark.

Aku terlalu takut untuk melihat kebelakang dan mengecek apakah Sam sedang mengejar kami.

“D..dapatkah kita berhenti?”  kataku terengah-engah.

Sangat mengejutkan diapun berhenti didepan pintu masuk.

“Kita akan meninggalkan tempat ini, manis.”

“Tunggu, ap—“

Dia mendorong pintunya terbuka dan mulai berlari kembali. Tanganku menjadi sakit karena terus ditarik dan kakiku lelah. Sesuatu menyambar satu tanganku. Atau mungkin seseorang.

“Lepaskan dia, idiots.”

Rasanya lega tapi juga khawatir. Kumohon jangan ada pertumpahan darah lagi kali ini. Aku menyilangkan kakiku membuat tanganku jatuh pada waktu bersamaan.

“Kamu sudah menjadi lebih cepat, Sammy.

“Diam.”

Mereka berdua bernafas dengan berat, hampir tak dapat berbicara.

Jadi apakah kamu pacarnya, manis?”

“Diam dan pergi saja dariku!” teriak Sam.

Sam menggandeng tanganku dan pergi dari Mark menuju rumah. Tak ada darah. Yesss!

“Hey, Sam!”

Aku menengok, tapi Sam sama sekali tak merespon. Mark berbalik dari kami dan berjalan pergi. Perjalanan ke rumah kali ini adalah perjalanan paling canggung yang pernah kulalui. Walaupun begitu dia menggandeng tanganku sepanjang jalan. Kami berdiri di depan rumahku, dia melepaskan tanganku.

“Hmm, sampai jumpa. Kurasa.”

Aku berjalan lemas ke depan pintu dan berbalik untuk melambaikan tangan. Tapi dia ada tepat didepanku dan aku terkejut.

Wajahnya semakin mendekat ke arahku. Sial. Matanya tertutup. Ugh. Dia menyeringai sepertinya menduga-duga reaksiku. Aku membuat suara bising aneh dan bergerak cepat memasuki rumah. Nafasku tak beraturan. Ketika aku melemahkan pertahananku, dia melalukannya padaku.

Aku tidak menciumnya. Tidak… belum saatnya.