Pages

Minggu, 16 Oktober 2011

Dangerous Lover (Chapter 3)

Soundtrack : Kids In Love by Mayday Parade

Terrence dan aku berjalan secepat mungkin meningalkan jalan tempat kami berada sebelumnya menuju ke ujung jalan lain yang cukup jauh dan kami rasa aman. Kami berhenti di tikungan jalan sepi yang tak banyak orang berlalu-lalang. Memastikan kalau kami sudah aman, Terrence mengalihkan pandangannya padaku. Aku merasa gugup berada didekatnya.

“Kurasa kita sudah aman,” katanya.

“Kau pikir ada orang yang menguntit kita?”

“Aku tak tahu pasti, tapi sepertinya iya.”

“Kenapa ada yang sengaja menguntit kita dan mencoba mencelakaiku?” tanyaku.

Terrence berfikir sesaat lalu memandang kearahku.

“Kurasa bukan kau yang berusaha dicelakai.”

“Maksudmu?”

Wajah Terrence berubah serius. “Sepertinya ada yang tahu tentang jati diriku.”

Aku langsung tersadar akan sesuatu. Terrence adalah seorang vampire yang menyamar sebagai remaja biasa. Hidup membaur dengan orang-orang disekitar dan dengan hati-hati menyembunyikan identitasnya. Setelah apa yang menimpanya ketika tinggal bersama keluarganya di Skotlandia –menurut cerita Nathan- dan berujung dengan kepindahannya ke tempat ini. Ia tahu persis kenapa ada orang yang sengaja ingin mencelakainya. Tapi yang mengherankan, kenapa aku harus perduli dengan hal itu. Dia mencoba menyantapku sebagai makan malam sebelumnya. Aku tak seharusnya bersimpati. Walaupun begitu hatiku tak dapat mengingkari kalau aku khawatir padanya.

“Kelsey..” kata-kata Terrence menyadarku dari lamunan. Tangannya sudah ada di pundakku entah sejak kapan, aku beranjak mundur  untuk menepisnya. Mencoba menjaga jarak yang kini kian dekat. Aku menengok kanan-kiriku dan menyadari tak ada seorangpun di dekat kami. Tempat yang aman untuk bersembunyi dari si penguntit tapi bukan tempat aman untuk bersembunyi dari vampire yang sewaktu-waktu bisa menghisap darahmu.

“Aku..pusing..” kataku. Bukan pusing yang maksudnya kepalaku benar-benar berkedut tapi pusing tentang segala pikiran dan perasaan yang memenuhi benakku. Namun sepertinya Terrence menganggap aku mengalami sakit kepala sungguhan dan mukanya berubah khawatir.

Dia mencoba menyentuhku sekali lagi setelah tadi aku berusaha menepisnya. Kali ini aku tak menolak. Perasaanku berkata Terrence tak mencoba menyakitiku. Dia sedang mengkhawatirkanku. Lebih khawatir dari mengetahui ada seseorang yang sedang mencoba mencelakainya.

Kali ini jarak kami lebih dekat dan jarak itu menghilang ketika dia merengkuhkan tubuhnya sekali lagi padaku. Menyembunyikanku di balik tubuh jangkungnya. Aku tak merasa ada sesuatu yang mengancam dari dirinya, dan malah membuatku tentram.

“Kau akan baik-baik saja,” katanya. “Penguntit itu tak akan mencelakaimu. Aku yang diincarnya.”

Aku mendongak ke arahnya. Merasa nerves dengan keadaan kami sekarang.

“Ya,” satu-satunya jawaban yang keluar dari mulutku. Dia terus memelukku dan kupikir dia tak berniat melepaskannya sampai kapanpun. Akhirnya dia membebaskanku dari pelukannya tapi masih tetap menjaga jarak sedekat mungkin dengan tubuhku.

Aku tak tahu harus berbicara apa.

“Antarkan aku pulang,” akhirnya aku dapat berkata.

“Tentu, tapi setelah kau menjawab pertanyaanku. Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya.”

“Pertanyaan apa?” tanyaku bingung.

“Kau mau memaafkanku kan?”

Aku terdiam, ragu untuk menjawab.

“Kelsey..” bisiknya ditelingaku. Perlahan dia mendekatkan wajahnya kearahku. Aku memejamkan mata karna takut. Takut karna mungkin saja dia akan memperlihatkan taringnya sekali lagi atau yang lebih kutakutkan, dia akan menciumku. Aku memang menginginkannya. Namun setelah melihat wajahnya sedekat ini dan melihat bibirnya yang hampir menyentuh bibirku rasa nervesku bertambah besar. Akupun mendorongnya tanpa sengaja. Mukaku merah padam dan aku tak dapat menahan debaran di dadaku yang sangat kencang.

Dia menatapku dengan tatapan kecewa. Akupun sedikit merasa kecewa. Tapi aku sangat nerves sehingga tak tahu apa yang kulakukan.

“Aku memaafkanmu,” kataku dalam ketegangan.”Sekarang antarkan aku pulang.”

“Ok,” jawabnya. Lalu kami berjalan pulang kerumahku tanpa banyak bicara lagi.

“Kelsey,” katanya setelah kami sampai di depan rumahku.

“Ya?”

“Aku masih mengharapkanmu,” dia mencium keningku sangat cepat sehingga aku tak sempat berbuat apapun.

“Sampai jumpa,” katanya. Lalu dalam sekejap mata dia sudah menghilang sangat cepat seperti ditelan bumi. Sama persis ketika pertama kali melihat Nathan menghilang dari hadapanku. Aku berbalik dan masuk ke dalam rumah lalu roboh di tempat tidurku sambil membenamkan mukaku dalam bantal.

Esoknya, aku sedang ngobrol dengan Debs di kelas aljabar menanti Mr. Frogs yang belum juga datang.

“Kau tau Kelsey? Jaz itu sangat manis. Dia membacakan puisi yang dikarangnya sendiri di hadapan kalas saat pelajaran sasta. Benar-benar bikin nggak tahan. Seandainya saja kau ada di sana waktu itu kau pasti tahu apa maksudku. Jaz itu selain tampan juga berbakat. Aku membayangkan andai saja puisi itu ditujukan padaku...” kata Debs dengan antusias.

“Ya ya aku percaya, kau suka semua cowok yang terlihat manis. Yang itu aku nggak heran, Debs.” Jawabku.

“Tapi Jaz itu beda. Dia benar-benar sangat manis.” balas Debs masih bersikukuh dengan pendapatnya.

“Ya dulu kau juga bilang hal yang sama waktu pertama kali melihat Terrence.”

“Yeah, Terrence memang keren. Mau bagaimana lagi. Oya, soal Terrence, bagaimana kelanjutan hubunganmu dengannya?”

Aku hendak menjawab pertanyaan Debs namun seseorang sudah tiba-tiba saja bergabung dengan kami.

“Jaz!” pekik Debs karna kaget.

“Hai, boleh gabung?”

“Yeah,” kataku.

“Kurasa melihat ekspresi kalian, kalian pasti belum tahu aku juga ada di kelas Mr. Frogs.” Kata Jaz sambil tersenyum.

“Ya, banyak hal yang tidak kami sadari sebelumnya.”

Debs menyenggol lengaku dan berhati-hati berbisik di telingaku.

“Kau pikir dia mendengar pembicaraan kita tadi?”

“Ya,” jawabku tanpa berusaha membuat lega hati Debs. Debs mengerang tertahan.

“Ada kabar apa?” tanya Jaz seakan tak mendengar kami membicarakannya barusan.

“Tidak ada yang istimewa,” jawabku.

“Um.. Jaz, sebenarnya kami sedang merencanakan pergi keluar diakhir pekan. Kau mau ikut?” tanya Debs.

 “Apa kita tadi membicarakan soal it-“

“Tentu saja, pasti menyenangkan. Siapa saja yang akan bergabung?” tanya  Jaz memotong ucapanku.

Err.. belum tahu. Kita bisa mengajak yang lain atau pergi bertiga saja. Iya kan Kelsey?” Debs memandangku dengan tatapan yang berarti –please-katakan-iya-

“Yeah,” jawabku, setengah ragu.

“Bagus, kita sudah sepakat. Tinggal tetapkan tujuannya saja.” kata Debs riang.

“ Hmm.. kalau boleh aku mengusulkan. Kita bisa pergi ke vila milik keluargaku di luar kota. Disana cukup menyenangkan. Itu kalau kalian setuju.” sahut Jaz.

“Kami setuju!” pekik Debs tanpa ragu. Aku melotot kearahnya memberi penegasan kalau aku belum mengutarakan pendapatku. Tapi apa yang bisa kuperbuat dengan sifat Debs. Akhirnya walau dengan terpaksa atau tidak aku tatap menuruti keinginannya.

“Yeah, kami setuju.” jawabku. Debs memelukku dengan erat sebagai tanda terima kasih namun aku akan lebih berterima kasih padanya bila ia segera menyingkir dan membuatku bisa bernafas lega lagi.

Saat itu untungnya Mr. Frogs datang dan pelajaran dimulai seperti biasa. Thanks to Mr. Frogs

--

Jam istirahat lagi. Finally! Aku sudah tidak sabar mengisi perutku yang keroncongan dengan burger atau sandwich. Aljabar selalu saja menguras otak dan tenagaku yang berarti juga menguras isi perutku sebagai sumber cadangan tenaga agar bisa mengikuti pelajaran selanjutnya. Setelah mengambil burger dari counter makan siang dan sebotol cola yang kudapat dari mesin penjual minuman, aku segera menempatkan diri disalah satu meja kantin seperti biasa, dalam kesendirian, namun memang sepertinya aku selalu tak dapat sendirian bila di katin.

Jaz menghampiriku. Dengan nampan berisi sandwich, massage potato, sebutir buah jeruk juga sekotak susu. Susu? Aku tak tahu Jaz suka susu. Yeah, memang apa lagi yang kutahu?

Ia duduk dihadapanku dan mulai menusuk kentangnya dengan garpu.

“Kau suka kentang?” tanyanya.

“Yeah, lumayan.”

“Aku tidak terlalu suka kentang tapi yeah aku suka mencoba hal-hal yang baru. Kalau kentang tumbuk merupakan hal yang baru menurutmu.”

Aku tertawa mendengar lelucon Jaz. Debs memeng tak salah bila menyukainya. Jaz cowok yang asik.

“Oya, dimana Debs? Kau tak makan siang bersamanya?” tanya Jaz seakan bisa membaca pikiranku.

“Kami memang berteman tapi bukan berarti setiap saat selalu bersama. Kau menanyakannya dengan sengaja untuk mencari tahu tentang Debs atau sekedar berbasa-basi saja untuk berbicara denganku?” tanyaku main-main.

“Sejujurnya aku hanya berbasa-basi saja. Aku lebih suka ngobrol denganmu sendirian tanpa ada yang mengganggu.”

Sial! Dia membuat mukaku merah.

“Hmm.. oya? Apa yang membuatmu suka ngobrol denganku? Kita hanya baru saling kenal kamarin.”

“Aku tak tahu apa yang membuatku tertarik padamu. Tapi sejak pertama bertemu aku sudah ingin mengenalmu lebih jauh.” Jawab Jaz yang sekarang sedang menyedot kotak susunya tanpa menyentuh sandwich nya terlebih dulu.  

Tertarik? Kenapa dia bisa berbicara terang-terangan seperti itu? Wajahku sudah semakin merah dan aku berusaha keras menahanya.

“Sebenarnya aku akan lebih senang kalau hanya pergi berdua saja denganmu diakhir pekan. Tapi pasti kau tak mau membuat sahabatmu kecewa bukan? Jadi ide pergi bertiga menerutku tak ada buruknya.”

Kali ini uap di mukaku sudah berada di titik paling panas dan siap untuk meledak sekarang juga.

“Hmm.. kalau seandainya Debs tak jadi ikut, apa kau mau pergi berdua saja denganku?”

OMG, apa yang baru dikatakannya itu sejenis ajakan kencan? Dan fakta kalau dia tak mengharapkan Debs ikut berarti dia benar-benar ‘tertarik’ padaku? Aku tak dapat menjawab pertanyaannya. Ini terlalu tiba-tiba.

“Umm.. aku tak tahu.” gumamku. Berusaha mempertahankan ekspresi mukaku sebiasa mungkin. Aku menatap Jaz. Cowok itu terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Mata hijaunya yang bersinar dan bibirnya yang tipis kemerahan benar-benar sangat indah. Aku heran tak banyak cewek di Hyden yang mengejarnya seperti halnya Terrence. Mungkin karna Jaz masih baru. Aku yakin tak berapa lama lagi Jaz pasti akan dikejar-kejar dan menjadi sepopuler Terrence atau mungkin sakarangpun sudah ada cewek-cewek yang diam-diam memperhatikannya.

“Benarkah?”

“Kelsey!” seseorang memanggil namaku dari jauh. Aku dan Jaz menoleh bersamaan. Aku tahu siapa yang menghampiriku saat ini. Nathan berjalan kearah meja kami dan berdiri di hadapanku dan Jaz. Ia memperhatikan aku lalu ke Jaz, wajahnya nampak bertanya-tanya.

Aku melihat Jaz berdiri dari kursi dan mengangkat nampannya.

“Aku sudah selesai dengan makan siangku. Kita bicara lagi nanti, ok?” kata Jaz sambil mengedipkan matanya dan meninggalkanku. Aku terbengong dikursi tanpa tahu apa yang harus kulakukan. Padahal Jaz sama sekali belum menyuapkan makanannya ke mulut. Dia hanya meminum sekotak susu. Tapi ya sudahlah, seenggaknya aku tidak akan dipaksa menjawab pertanyaannya.

Nathan segera duduk di hadapanku dimana Jaz menempatinya sebelumnya.

“Kau mengenal cowok itu?” tanya Nathan.

“Jaz maksudmu? Ya, aku mengenalnya. Kau tak lihat tadi aku sedang bicara dengannya?”

“Aku melihatnya makanya aku bertanya.”

“Apa kau juga mengenalnya?” tanyaku gantian.

“Tidak, tapi kurasa ada yang tidak beres dengannya.”

“Maksudmu.. dia juga seperti ‘kalian’? tanyaku sedikit  berbisik.

“Bukan. Aku tidak tahu. Tapi lebih baik kau jauhi dia.”

Well, sekarang dia mencoba mengontrolku lagi!

“Aku berterima kasih kau sudah menolongku dari maut tapi bukan berarti aku akan mengikuti segala yang kau katakan, ok? Kau tahu persis tentang Terrence (walau tak kurasa benar sepenuhnya) tapi kau tak tahu persis tentang Jaz. Jadi kenapa aku harus berhenti ngobrol dan jauh-jauh darinya? Dan oh iya, apa yang membuatmu datang lagi kemari?”

“Aku bebas sesuka hati datang kemari. Bukannya sudah kukatakan.” jawab Nathan kesal. “Dan kau harus menuruti perintahku karena aku mengiginkannya.”

“Lucu sekali. Apa karna aku berhutang budi jadi aku harus menuruti setiap ucapanmu?” Ada apa sih dengan cowok ini? Tiba-tiba saja datang dan melarangku bergaul dengan orang yang tak disukainya.

“Kalau menurutmu seperti itu, maka iya.” Mukanya cemberut jadi nampak lucu tapi juga imut. Namun sekarang bukan saatnya untuk tertawa ataupun kagum. Aku masih bersikeras mencoba menentangnya.

“Aku tak mau menuruti ucapan anak SMP.” kataku keceplosan. Aku tahu Nathan tak suka disinggung-singgung mengenai hal itu tapi hey, Dia memang masih SMP!

“Kamu.. bukannya sudah pernah kuperingatkan tantang bahaya.”

“Lalu, Jaz? Menurutmu dia berbahaya?”

“Aku belum tahu, tapi firasatku mengatakan kalau kau berhubungan dengannya kau akan dalam masalah.”

“Aku suka Jaz!” kataku tiba-tiba.

Aku melihat Nathan tak berkata apa-apa. Tak bisa berkata apa-apa tepatnya. Apa aku membuatnya bingung? Aku sendiri juga bingung dengan ucapanku barusan.

Nathan berdiri dari kursi. Aku menatapnya lekat-lekat. Dia beranjak ke seberangku lalu menarik lenganku untuk berdiri.

“Sudahlah, ayo ikut aku!”

Aku terpaksa menarik diri dari kursi dan berjalan mengikuti langkahnya, dia masih memegang lenganku.

“Mau kemana kita?”

“Pergi keluar.”

Jumat, 07 Oktober 2011

Confusion (Fallen FanFiction)

Story by iLoveCam N HerondaleBoys17 from fanfiction.net
Translated by Sierra

Soundtrack : Can't Stop Looking by Cash Cash

‘Aku pasti sudah gila,’ pikir Luce saat dia melangkah ke dapur. ‘Kenapa aku tak bisa berhenti memikirkannya? Dia itu orang jahat namun aku masih memikirkannya sama seperti aku memikirkan Daniel.’ Memikirkan Daniel membuat matanya membengkak.

Luce merindukan kehadiarannya. Oh, betapa dia berharap bisa merasakan pelukannya, bibirnya, dan menjelajahkan jemarinya pada rambut pirang Daniel. Dia belum bertemu dengan Daniel semenjak cowok itu meninggalkannya bersama Cam di rumah Victorian tua ini.  

‘Cam,’ pikirnya, ‘berbeda sekali dengan Daniel, tapi memiliki sesuatu yang memberinya perasaan yang sama dia rasakan pada Daniel, namun lebih kuat.’ Dia mendesah ‘Aku harus berhenti memikirkan..’

“Cam,” katanya lantang.

“Ya?”

Luce terlonjak saat dia mendengar suara lembut dan dalam. Luce berbalik dan melihat Cam bersandar di dinding. Ia melipat kedua lengannya di dada. Ia memakai jeans hitam, sepatu converse hitam dengan tali hitam, dan kemeja hitam dengan kancing terbuka untuk mengekspos dada sempurnanya yang pucat dan berotot.

‘Sial, keindahannya selalu menghipnotisku.’ Pikir Luce saat senyum mawar menghiasi bibir Cam.

“Kau tahu, tidak sopan memandang seperti itu.” Seketika Luce merasakan darahnya memanas di pipi. ‘Kenapa aku merasa seperti ini ketika ada didekatnya? Dia tidak seperti Daniel.’ Cam tertawa dan berjalan ke arahnya.

“Jadi, aku ingin tahu,” dia berhenti di depan Luce membuat gadis itu membentur ke meja.  Cam beraroma sangat menggoda membuat kepala Luce berputar-putar.

“Kenapa kau selalu menatapku lekat-lekat?” ia membungkuk sangat dekat dengan wajah Luce dan Luce dapat bersumpah hidung mereka saling bersentuhan. “Tidak, biarkan aku menjawabnya. Kau pikir aku seksi, kan?”

Pipi Luce terbakar seperti api. “Ummm” satu-satunya yang keluar dari mulutnya, dia tersesaat ketika menatap bibir penuh kemerahan yang sempurna itu. ‘Aku ingin tahu bagaimana rasanya menyentuh bibir itu. Tidak! Dia bukan Daniel, tapi dia benar dia seksi. Dia melihat seutas senyum terkembang di bibir itu bahkan lebih lebar. Luce bertemu pandang dengan Cam dan menatap pada mata zamrud itu.

“Sekarang melamun, hah?” Cam mengangkat satu alisnya.

“Mau tahu rasanya?” tanpa pernah mendengar jawaban Luce, Cam membungkuk dan mengusapkan bibirnya pada bibir Luce. ‘Wow sangat lembut,’ wajah Luce memerah karna pikiran itu. ‘Tidak! Aku tidak bisa melakukan itu karna Dan-‘ pikirannya menjadi kabur saat Cam menekan bibirnya lebih dalam pada bibir Luce.

Sesuatu datang pada diri Luce yang tiba-tiba dia melingkarkan kedua tangannya di leher Cam dan mulai menjelajahkan jari jemarinya pada rambut cowok itu. DIa merasaakan tangan Cam memeluk pinggangnya erat. Semua pikirannya tentang Daniel lenyap saat dia menggerakkan tangannya di dada Cam lalu turun ke kemejanya.

--


Next chapter click here

Rabu, 07 September 2011

Dangerous Lover (Chapter 2)

2Soundtrack : Young (Original and Acoustic Version) by The Summer Set

Apa kau percaya vampire itu nyata? Kalau pertanyaan itu ditujukan padaku, jawabannya ya. Aku tak pernah mempercayai vampire itu nyata sebelum aku bertemu salah satunya. Ok, tepatnya dua diantaranya. Dan aku hampir saja menjadi korban gigitannya kalau tidak ada yang datang menyelamatkanku. Nathanael. Dialah orang itu. Dan orang yang kupikir paling kupercaiyai ternyata dialah yang paling menginginkan darahku.

Aku tak pernah menduga Terrence adalah seorang vampire yang begitu haus darah. Maksudku, lihat dia. Dia begitu baik pada siapa saja dan kelihatannya semua orang menyukainya, tak termasuk hubungannya dengan Nathan. Lepas dari itu Terrence adalah orang terakhir yang akan kau curigai sebagai penjahat. Ternyata itu salah besar. Dan yang membuatku sangat sedih, ternyata selama ini dia mendekatiku hanya untuk memiliki kesempatan menghisap habis darahku.

Aku berjalan gontai ke kelas tanpa ada semangat mengikuti pelajaran pertama di kelas fisika. Semalam, Nathan lah yang mengantarku pulang. Kami tak banyak bicara. Hanya ada kelengaan selama perjalanan. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalaku, tapi rasa syok lebih besar menguasaiku sehingga mulutku seperti terkunci. Kejadian semalam begitu cepat. Aku masih menganggapnya hanya sebagai mimpi. Tapi mimpi itu terlalu nyata jika hanya kuanggap sebagai bunga tidur. Atau mungkin lebih tepatnya nightmare.

Debs menghampiriku dan tak butuh waktu lama untuknya menyadari ada yang berbeda denganku.

“Hey Kelsey, apa kau baik-baik saja? Kau nggak keliatan ceria hari ini.”

“Yah, aku hanya punya masalah kecil.” Jawabku bohong. Sebenarnya ini adalah masalah yang besar kalau menyangkut nyawamu.

“Awh, tunggu tunggu.. Jangan bilang Terrence mendepakmu. Kau nggak sungguh-sungguh kan? Apa kalian sudah pacaran lalu tiba-tiba dia naksir cewek lain? Jika iya, itu menyedihkan sekali. Tapi jangan terlalu bersedih my dear. Kau tahu Terrence sejak awal memeng sulit dijangkau. Maksudku itu hal wajar jika Terrence menggoda cewek-cewek yang lebih keren..err.. jangan marah aku mengatakannya.” Kata Debs setengah canggung.  

“Tidak Debs, ini masalah lain.. hmm..” Aku tak yakin akan menceritakan kejadian sebenarnya pada Debs. Tapi untungnya dia menyelaku.

“Hey lihat apa yang ada di lehermu.. Itu seperti..”

“Hanya luka gores kecil.” Aku segera menutupi leherku dengan baju. Terrence memang belum sempat menggigitku tapi taringnya sudah sedikit menggores leherku.

“Terkena cabang pohon saat bermain di kebun saudaraku.” Kataku bohong, lagi-lagi.

“Kau punya saudara disini?” tanya Debs ragu.

“Yah, bibiku tinggal disini. Kami jarang mengunjunginya sebelum pindah kemari.”

“Oh, kau harus hati-hati lain kali.”

Untungnya percakapan ini segera berakhir saat Mrs. Jakie masuk keruangan dengan membawa beberapa alat peraga. Aku sedikit berterima kasih padanya. Walau ini kali pertama aku mengikuti kelasnya. Aku sempat salah kira ketika melihat nama di kertas jadwal. Kupikir mereka salah mengetikkan kata Mr menjadi Mrs. Tapi wanita muda yang berdiri di depan kelas ini kelihatannya cukup menyengkan. Kita lihat saja nanti.

Pelajaran fisika berakhir dan pelajaran selanjutnya berlangsung cukup membosankan dibanding pelajaran di kelas pertama.

Saat istirahat aku pergi ke kantin sendirian karna Debs bilang ada urusan. Aku mengambil makananku dan duduk disalah satu meja yang tak terlalu ramai. Menikmati makan siangku dalam kesendirian sebelum aku melihatnya datang menghampiriku.

Nathan duduk dihadapanku. Aku tak bergeming sedikitpun. Kemudian ia mulai membuka mulut untuk bicara.

“Apa kau baik-baik saja?” itu kata-kata pertama yang diucapkannya. Yah, aku tahu itu hanya sebagai sapaan formal yang umum dikatakan. Aku juga mendengar Debs mengatakannya. Tapi kalau kau minta jawabanku secara jujur, jawabannya tidak.

“Kau tahu aku tidak baik-baik saja.” Kataku, berusaha bersikap untuk tidak terlihat terlalu menyebalkan dihadapannya. Bagaimanapun dia sudah menyelamatkan nyawaku.

“Yeah, aku tahu.” Ekspresinya berubah sedikit kecewa. Ternyata aku gagal menyembunyikan sikapku.

“Itu bukan salah mu,” kataku cepat. “Itu salahku karna tak mendengarkan ucapanmu..hmm.. maaf..”

“Tak perlu minta maaf. Harusnya aku tak meninggalkan Terrence sendirian malam itu. Aku sedikit ceroboh.” Katanya pelan.

“Kemana kau?” aku keceplosan bertanya yang seharusnya tak perlu kutanyakan padanya.

“Hanya ke sesuatu tempat..” dia nampak urung mengatakannya.

“Tak perlu mengatakannya kalau tak mau, yeah setidaknya kau datang tepat waktu,” kataku.

“Yeah, kau benar. Aku punya banyak hal untuk dilakukan,” katanya bercanda.

Aku menimang-nimang apa yang harus kukatakan. Kemudian kata-kata itu terucap dari mulutku begitu saja,

“Jadi, kau juga..” aku memutus kata-kataku.

“Seperti Terrence.. Yeah cuma ada sedikit bedanya. Kau tak mengharapkanku bercerita di sini kan?” katanya sambil memberi isyarat, mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Aku tahu,”

“Mau kesuatu tempat?” tawarnya. Dia berdiri dan aku mengikutinya. Aku tak tahu kenapa aku mengikutinya. Yang ku tahu sesuatu dalam diriku menghendakinya. Mungkin karna rasa penasaran ingin tahu tentang hal yang sudah melibatkanku didalamnya.

Dia membawaku ke taman tak jauh dari gedung SMA. Disini suasanya lumayan lengang dibanding tempat ramai manapun di lingkungan sekolah.

“Kau akan mulai menceritakannya?” tanyaku. Entah mengapa perasaanku sedikit berbeda saat hanya berdua dengannya. Ada sedikit rasa cemas menghinggapiku. Bagaimanapun dia juga seorang penghisap darah sama seperti Terrence.

“Apa yang ingin kau tahu?” tanyanya.

“Ceritakan padaku semuanya. Ceritakan tentang kau dan Terrence. Kenapa Terrence mau menghisap darahku..” suaraku tercekat di tenggorokan.

“Terrence tidak hanya mengincarmu. Dia sudah sering memangsa cewek-cewek malang lain sepertimu.”

Aku tidak terima disebut malang tapi karna masih ingin mendengarkan ceritanya jadi aku tak menyelanya.

“Dia terlalu haus akan darah.. memang tak bisa dipungkiri, kami bertahan hidup dengan menghisap darah.” Jelas Nathan. Mukanya berubah serius.

“Jadi kamu.. kamu pun demikian.. karna kamu juga..”

“Ya,” jawabnya.

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Disatu sisi aku berusaha mempercayainya karna tindakannya menolongku disisi lain aku juga merasa takut berada di dekatnya. Aku sudah satu kali melihat wajah menyeramkan sang penghisap darah ketika taring-taring itu muncul dan mata merahnya yang menatapku penuh aura membunuh. Sangat mengerikan. Apa Nathan juga begitu saat ia memangsa buruannya? Tapi dia bilang dia berbeda..apa maksudnya?

“Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tak memangsamu seperti Terrence, bukan?”

“Ya,” jawabku.

“Sebenarnya aku juga punya dorongan kuat melakukan hal itu. Tapi aku berusaha keras menahannya.”

Aku tertegun.

“Aku tak mau jadi seperti Terrence. Hidup menjadi seorang penghisap darah sudah cukup membuatku menderita. Aku tak mau semakin terbebani oleh rasa bersalah karna telah membunuh orang-orang tak berdosa.” Katanya penuh kepedihan. Suatu perasaan iba tumbuh dalam diriku. Aku seperti ingin memeluknya. Mencoba meringankan sedikit penderitaannya tapi tak tahu bagaimana harus melakukannya.

“Kau tak membunuh makhuk hidup? Lalu bagai mana caramu bertahan hidup?” tanyaku.

“Bukan manusia. Aku tak memangsa manusia. Aku memangsa hewan-hewan yang bisa kutemui seperti burung dan lainnya. Aku bisa berburu rusa di hutan jika tidak sedang di kota. Sayangnya di kota sudah jarang binatang liar dan burung pun sudah semakin sedikit. Tapi Terrence berbeda, dia lebih memilih menuruti dorongan alaminya sebagai vampire untuk menghisap darah manusia. Semua klan vampire menghisap darah manusia. Hanya sedikit yang memilih memangsa hewan-hewan sepertiku. Darah manusia lebih menyegarkan ketimbang darah hewan bagi vampire. Itu lah sebabnya aku berusaha keras tidak bergaul dengan manusia sepertimu.”

Ah, sekarang aku tahu sebabnya dia selalu bersikap ketus padaku. Dia berusaha keras menahan dorongan nafsunya untuk memangsa mangsa utamanya. Manusia.

“Kenapa kalian bisa ada disini?” aku bertanya kembali.

“Dulu kami tinggal di Skotlandia di sebuah desa terpencil yang ada di sana. Keadaan cukup damai selama beberapa waktu. Aku bisa menemukan banyak hewan di hutuan untuk kumangsa tapi lain halnya dengan keluargaku. Penduduk desa semakin hari semakin berkurang karna banyak yang mati dimangsa vampire. Lalu mereka mulai mencurigai kami. Bukan salah mereka. Memang keluarga kami lah yang melakukannya. Kami mengalami situsi yang buruk untuk beberapa saat. Lalu orangtua ku memutuskan mengirimku dan Terrence ke sini. Sebelumnya bukan disini. Kami selalu berpindah-pindah dari kota ke kota lain. Di kota besar, penduduknya lebih plural jadi kami tak gampang dicurigai. Kemudian untuk seterusnya kami menjalani kehidupan seperti ini.” Dia terlihat begitu resah menceritakan masa lalunya. Cowok yang sebelumnya kuanggap sebagai orang menyebalkan ternyata jauh di dalam menyimpan beban yang lebih berat dari yang mungkin orang lain pernah rasakan. Hidup sebagai vampire yang harus menahan diri dan terus diburu jika orang lain mengetahui identitasnya pastilah sangat berat. Apalagi dia harus selalu berpindah tempat. Sampai kapan akan terus begitu..Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di otakku.

“Kau bilang..orang tuamu mengirimkanmu kemari. Apa mereka juga tinggal disini?”

“Tidak, hanya kami berdua yang pergi. Mereka bilang lebih aman jika kami sendiri. Mereka sekarang ada disuatu tempat yang tak pernah diberitahukannya pada kami. Aku yakin mereka memiliki alasan tepat untuk tidak tinggal bersama kami.”

“Apa kau menderita..?” pertanyaan bodoh. Harusnya aku tak menanyakannya melihat ekspresi penuh rasa sakit yang terpancar di wajahnya.

“Apa aku perlu menjawabnya?” tanyanya.

“Sorry,” kataku, tahu persis jawabannya.

Kami terdiam sesaat. Lalu aku mulai bertanya lagi,

“Kenapa kau bisa jadi vampire? Apa memang sudah begitu sejak lahir?” Aku penasaran. Aku melihat ekspresi segan di wajahnya “Hmm.. apa kau akan menjawabnya?”

“Tidak, mungkin lain waktu.”

Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya.

“Ok, karna kupikir kau sudah cukup puas tau tentang kami sebaiknya kita kembali.” Katanya mengalihkan perhatianku. Aku mengikutinya berjalan menuju ke gedung SMA. Rasanya canggung berjalan di sebelahnya setelah dia menceritakan semuanya. Ok, tidak semuanya. Tapi setidaknya aku tahu tentang situasi yang terjadi. Kini rasa was-wasku sedikit berkurang padanya. Aku tidak terlalu takut lagi akan dirinya sebagai seorang vampire. Kalau dilihat-lihat, Nathan cowok yang cukup baik.

“Hey, setelah kupikir-pikir, aku tak pernah menjumpai kita sekelas selama ada disini. Apa pelajaranmu selanjutnya?” Tanyaku disela-sela perjalanan kami kembali.

“Tentu saja kau tak pernah melihatku. Aku tak belajar disini,” katanya enteng.

“Tapi katamu.. kau sekolah disini. Apa kau bohong?” tanyaku.

“Aku tidak bohong, tapi tempatku bukan disini. Aku di gedung SMP.”

Aku memberikan tatapan heran padanya.

“Kenapa? Aku baru tiga belas tahun!” Ada semburat merah dipipinya. Dia pasti malu baru saja menyebutkan umurnya.

“Bukan secara harfiah, yah tapi itulah umurku selama ini,” imbuhnya.

“Selama ini..?” aku bertanya heran.

“Sudah lupakan,”

“Hey, jadi kau masih SMP? Tapi tampang kita terlihat seumuran..hmm.. memang sih kalau diamati kau terlihat sedikit lebih muda. Kau benar baru tiga belas tahun?” tanyaku masih tak percaya.

Aku benar-benar tak bisa menahan tawa tapi aku tahu dia sedang kesal. Jadi aku berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkannya. Sayangnya aku gagal dan dia semakin bertambah kesal.

“Kubilang lupakan saja.” Katanya dengan ekspresi marah dan muka yang semakin memerah. Lucu sekali.

Kami kembali ke gedung SMA. Sebenarnya hanya aku. Dia berjalan lagi ke gedung SMP. Setelah dia pergi, aku memutuskan masuk ke dalam gedung. Saat sampai di koridor utama aku berjumpa dengan Debs. Dia menarik tanganku dan berdiri didepanku seperti hendak berkonspirasi.

“Tadi aku melihatmu bersama cowok yang kemarin. Dia adik Terrence kan? Sekarang kau tak bisa menghindar lagi dariku. Katakan padaku, Kelsey. Apa sekarang kau beralih mengencaninya?” Debs bertanya curiga.

“Ok, akan kukatakan. Tapi pertama, berhentilah bersikap mencurigakan seperti itu Debs. Dan kedua, aku tidak kecan dengannya. Apa kau sudah gila, Dia masih SMP!”

“Kau kencan dengan anak SMP?” ulang Debs tak percaya.

“Aku sudah bilang aku tidak kencan dengannya.. Ayolah Debs.” Aku menggembungkan pipiku seolah-olah sedang marah. Debs memahaminya.

“Ok, ok. Lalu kenapa kau bicara dengannya?” Debs masih saja curiga. Aku berusaha memikirkan alasan yang tepat untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bilang alasan sebenarnya.

“Karna dia mengajakku bicara.” Alasan yang bodoh tapi itu satu-satunya yang dapat terpikir oleh otakku.

“Hmm.. dia tak mungkin mengajakmu bicara kalau tidak punya maksud tertentu. Apa dia suka denganmu? Lalu bangaimana dengan Terrence? Apa kau suka dengannya?” Debs mendesakku dengan beberapa pertanyaan. Aku tak mungkin menjawabnya.

“Sudahlah Debs, hentikan pertanyaan konyol itu.” Aku menggerutu.

“Tidak sebelum kau jelaskan semuanya. Ayolah Kelsey, aku hanya ingin tahu.” Rengek Debs.

Aku tak ingin membuatnya kecewa, tapi aku juga tak ingin menceritakannya. Lalu pertolongan pun datang tak terduga.  Seorang cowok bermata biru hazel datang menghampiri kami. Penampilannya rapi, rambutnya yang sedikit panjang disisir kebelakang dengan jel. Dia memberikan senyum ultra cerah saat melangkahkan kaki menuju tempatku dan Debs berdiri. Matanya terlihat menyipit saat tersenyum. Secara keseluruhan, dia terlihat sempurna.

“Hey, maaf kalo menyela. Aku Jaz, kependekan dari Jasper. Semoga kalian tak keberatan kalau aku hanya ingin berkenalan.” Katanya riang dan bernada sopan. Debs tak mengedipkan mata sekalipun saat memandangnya. Jaz mengulurkan tangannya padaku dan segera kusambut dengan berjabat tangan. Dia menatap langsung  ke mataku dan berjabat lebih lama dari yang kubayangkan.

“Kelsey,” jawabku. Saat aku melepaskan tangannya, dia beralih ke Debs.

“Debora, panggil Debs saja.” Jawab Debs ketika menjabat tangannya. Anehnya dia tak menjabat tangan Debs lebih lama dariku. Atau itu hanya perasaanku?

“Senang mengenal kalian. Aku sudah menunggu saat-saat ini,” kata Jaz.

“Maksudmu berkenalan dengan kami? Awh, kau dengar Kelsey. Betapa manisnya,” komentar Debs.

“Yeah,” hanya  itu jawabku.

“Apa kalian tahu kita sekalas di pelajaran fisika?” tanyanya.

“Kurasa aku tak memperhatikannya,” kataku datar. Debs menyenggol tanganku.

“Kurasa kami hanya kurang cermat. Bagaimana mungkin kami melewatkan cowok sepertimu. Maksudku, kau terlihat mengesankan,” puji Debs.

“Terima kasih. Apa masih ada waktu sebelum pelajaran selanjutnya? Mungkin kita masih bisa berbincang,” tanyanya.

“Yeah, tentu saja.”

Kami berbincang sejenak di tempat itu. Ternyata Jaz cukup menyenangkan. Dia memuji gaya rambutku. Kini aku tak segan lagi tertawa bersamanya. Cukup membuatku lupa akan pengalaman burukku semalam. Kami menghabiskan sisa waktu istirahat dengan mengobrol dan berpisah saat bel berbunyi. Kami tak sekelas di pelajaran selanjutnya. Tapi Debs sekelas dengan Jaz dipelajaran Sastra. Jadi Jaz pergi bersama Debs ke kelas selanjutnya dan aku ke kelasku sendiri.

Saat usai sekolah, aku menata barangku dan bersiap meninggalkan kelas. Aku berjalan sepanjang lorong menuju koridor utama. Aku tak melihat tanda-tanda keberadaan Terrence di sekolah hari ini. Menghembuskan nafas lega, aku meneruskan langkahku menuju pintu keluar dan meninggalkan sekolah. Jaz berlari kecil kearahku. Dia sekarang berdiri di sampingku. Sambil menenteng ranselnya pada salah satu lengan dia menyapaku,

“Hey,” katanya sambil tersenyum.

“Hey,” aku balas tersenyum padanya.  

“Apa kau sengaja mengejarku?” tanyaku.

Dia mengedikkan bahu. “Yeah, apa kau mau kuantar?” tanyanya ramah.

“Apa kita searah?”

“Hmm.. sebenarnya tidak. Tapi aku bisa mengantarmu.”

 Aku berfikir sesaat. Sebenarnya aku sangat senang akan perhatiannya. Aku tak tahu maksud dibaliknya. Tapi dia seperti menaruh perhatian padaku sejak pertama bertemu. Tapi aku juga tak mau ke ge-er an dulu.

“Kalau begitu aku bisa pulang sendiri,” kataku.

“Kau yakin kau tak mau kuantar?” ulangnya sekali lagi.

“Yup, rumahku tak terlalu jauh,” yakinku.

“Ok kalau begitu, sampai jumpa besok.” Dia melambaikan tangan padaku dan berlari pergi. Aku mengamatinya hingga menjauh.

“Sampai jumpa besok,” gumamku. Lalu aku berjalan keluar kompleks sekolah dan menyusuri sepanjang jalan setapak yang membimbingku ke rumah.

Langkahku mantap ketika menapaki jalanan dari batu dan terhenti ketika seseorang mencegatku di sebuah tikungan yang cukup sepi. Terrence. Dia berdiri disana. Memandangku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan. Aku menjaga jarak dengan mundur beberapa langkah. Sebenarnya aku bisa saja lari. Tapi sesuatu seperti menahanku untuk tetap disini.  Bersamanya.

“Terrence..” kataku lirih. Tak tahu bagaimana ekspresi yang tepat menyambut kemunculannya yang tiba-tiba. Atau dia sengaja menungguku?

Dia menyadari ketakutan di mataku. Lalu beringsut maju selangkah.

“Kelsey, tenanglah aku tak akan menyakitimu.” Katanya hati-hati. Percaya setelah dia hampir saja mengeringkan darahku? Aku tak bisa semudah itu melakukannya.

“Aku tahu kau pasti takut melihatku. Kau pasti masih syok dengan kejadian semalam. Aku tak bisa menyalahkanmu..” wajahnya terlihat kusut dan penuh rasa penyesalan. Aku sedikit bersimpati. Tapi aku tak bisa begitu saja luluh karna ucapannya. Bagaimanapun juga dia seorang pembunuh berdarah dingin. Aku teringat lagi akan kejadian semalam bagaimana aku hampir menemui ajalku saat Terrence membuka lebar mulutnya, menunjukkan gigi-gigi taringnya yang tajam dan menatapku dengan sorot mata merah yang menakutkan. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Tapi sayangnya sekarang dia ada persis dihadapanku, menatapku. Walau bukan dengan mata merah yang kemarin, pandangannya tetap saja membuatku bergidik.

“Dengarkan aku.. aku hanya ingin minta maaf. Aku tak akan menyakitimu.  Aku sudah berfikir banyak semalam. Aku menyesal melakukannya. Kau harus percaya.” Kali ini dengan wajah putus asa Terrence menjelaskan. Aku semakin ingin memeluknya.

“Apa kau mempercayaiku?” tanyanya. Aku tak dapat menjawab. Otakku sibuk berfikir apakah aku harus percaya padanya atau meragukan ucapannya. Mungkin bisa saja dia berbohong agar bisa menghisap darahku kali ini.

Dia menyeruak perlahan untuk meraihku. Aku ingin lari. Tapi aku juga ingin tetap tinggal. Aku seperti melihat ketulusan di raut wajah Terrence. Aku masih tak bergerak saat dia beringsut mendekatiku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu dari atas kepalaku. Aku tahu Terrence juga menyadarinya. Aku menengok keatas untuk melihat apa yang terjadi. Sebelum aku dapat menyadari, sebuah lampu jalan yang terpasang di sisi jalan tiba-tiba pecah diatasku dan kacanya berhamburan ke bawah. Aku tak sempat menghindar, tapi Terrence dengan sigap memeluk erat tubuhku dan melindungi kepalaku dengan tubuhnya. Serpihan kaca kini berhamburan di sekitar kami.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh ke khawatiran padaku. Aku menganggukkan kepala. Seharusnya akulah yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Dia sudah melindungiku dengan tubuhnya.

“Baguslah,” katanya. Ia tampak lega. Sepertinya pecahan kaca tadi juga tidak melukai Terrence.

“Tadi itu.. kenapa bisa seperti itu..” aku angkat bicara.

“Ini aneh, harusnya tak mungkin lampu jalan bisa pecah begitu saja. Aku merasa ada sesuatu yang mengintai kita. Kita harus segera pergi dari sini,” ucap Terrence penuh keseriusan.

Sesuatu? Mengintai? Apakah itu? Aku tak bisa berfikir jernih disaat seperti ini. Aku pasrah ketika Terrence menggandengku untuk meninggalkan tempat itu.

...

catatan : Kalau ada yang memperhatikan gambar Nathan yang ku post sebelumnya dan gambar Jasper di sini. Sebenarnya mereka adalah orang yang sama cuma beda gaya rambutnya saja. Semoga tidak ada yang keberatan dengan itu. Anggap saja mereka orang yang berbeda. Hehe..

Senin, 05 September 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 6)

 Soundtrack : Pour Some Sugar On Me (Def Leppard Cover) by The Maine

Bel berakhirnya pelajaran terakhir baru saja berbunyi tapi bunyinya nggak lebih keras dari debaran di dada gue karna sebentar lagi gue akan berduaan lagi dengan Lyoid. Jangan mikir yang enggak-enggak, maksud gue, gue bakal punya kesempatan buat ngobrol lebih banyak lagi sama dia. Mikirin hal itu buat jantung gue serasa mau copot karena kilasan-kilasan kejadian saat bersama Lyoid yang entah mengapa selalu pada saat yang aneh atau tak terduga.

Ups, kali ini apa akan terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya ya? Dalam hati gue menginginkan jawaban iya.

Siku Marin menyenggol tangan gue membuyarkan lamunan gue.

“Lo jadi pergi abis pulang sekolah sama si … malaikat?” Mata Marin bergerak ke sudut kanan ke meja di seberang kami. Mata gue ikut mengekor pandangannya. Tapi yang dicari sudah nggak ada di sana. Hanya ada Luca yang bertemu pandang dengan kami dan mengedikkan bahu. Dimana Lyoid?

Gue bergegas keluar kelas dan menengok kanan kiri. Tak ada Lyoid. Dia pasti pergi begitu bel berdering dan waktu gue masih melamun. Gue berjalan menuju pintu gerbang dan menemukan seseorang berpostur tinggi berambut abu-abu bersandar di tembok sambil menggendong ranselnya pada satu bahu. Gue lekas menghampirinya.

“Kenapa nggak tunggu di kelas?” Pertanyaan percuma karna dia udah langsung melangkahkan kaki jenjangnya begitu gue sampai dedekatnya, menjauhi gerbang sekolah. Gue mengikutinya dari belakang dan mencoba menyesuaikan dengan langkah kakinya yang panjang.

“Mau kemana kita?” sekarang gue udah ada persis di sampingnya.

“Mall?” jawab Lyoid yang lebih terdengar sebagai pertanyaan ketimbang jawaban.

“Mall?” gue mengulangi sekali lagi.

“Kamu tau mall yang ada di dekat sini?” tanyanya.

“Tentu aja.” Tanpa bermaksud bersikap sombong tapi tetep aja ada nada sedikit berbangga pada suara gue.

“Mau cari apa di mall?” kata gue begitu gue dan Lyoid sampai di pintu masuk mall. Tak begitu jauh dari SMA Permata Bangsa. Gue udah pernah bilang kan kalo lokasi sekolah nggak jauh-jauh dari pusat kota?

“Dimana toko alat tulis nya?”

“Di lantai tiga.”

Kami ke toko alat tulis dan Lyoid berada di bagian cat air. Ia memilih-milih beberapa cat air dengan ukuran yang besar dan perlengkapan melukis lain seperti kuas dan palet dengan berbagai jenis ukuran. Dan tak ketinggalan ia membeli kanvasnya.

Wow, nggak nyangka keranjang belanjaan kami udah di penuhi seabrek barang-barang dari toko. Mungkin dia bisa aja beli seluruh isi toko kalau dia mau. Kami kemudian keluar dari toko dan menenteng barang-barang belanjaan itu. Tentu aja tas yang berat Lyoid yang angkat.

“Lo mau ngelukis?” Tanya gue di sela-sela berjalan terpontang-panting ngikutin langkah cepat Lyoid yang nggak terlihat sedikitpun terbebani barang bawaan. Gila nih cowok, kuat amat. Gue aja yang cuma nenteng satu plastik, jalan terseok-seok. Mungkin karna ngimbangin jalannya Lyoid juga kali ya.

“Iya,” jawab Lyoid.

“Lo suka ngelukis?” Pertanyaan bodoh. Udah jelas kalo ia beli alat-alat lukis sebanyak ini dan bilang pengen ngelukis pastinya ia suka ngelukis lah. Napa sih lo Lun dari dulu begok amat.

Tangan gue yang bebas nimpuk-nimpukin kepala gue sendiri.

“Suka,” jawab Lyoid enteng, saakan pertanyaan gue wajar aja. Huff.. syukurlah.

Kami kembali berjalan memasuki apartemen Lyoid. Ini yang kedua kalinya bagi gue tapi kenapa gue masih aja ngerasa gugup melangkahkan kaki ke sini? Jantung gue berdegup kencang seperti hampir melompat dari dada tapi gue berusaha nyembunyiin agar Lyoid nggak curiga. Gila aja Lyoid bakalan denger detak jantung gue.

“Masuk,” kata Lyoid ketika kami sudah sampai di depan pintu apartemennya. Mungkin kalo yang ngomong cowok yang nggak gue kenal dan bertampang mesum gue bakal langsung lari terbirit-birit. Tapi kali ini Lyoid yang ngomong, walau suaranya terdengar dingin, eh maksud gue cool, gue nggak keberatan sama sekali nurutin perintahnya.

Lyoid membimbing gue masuk ke ruangan yang belum diisi banyak barang dan kami meletakkan barang belanjaan di sudut ruangan. Mata gue berkeliling ke sekitar. Ruangan ini luas namun tampaknya belum digunakan untuk ruang apapun. Lidah gue tergelitik untuk bertanya.

“Tempat ini.. mau dijadikan apa?”

Lyoid melirik ke gue di sela-sela acara membongkar barang belanjaannya. Kemudian ia membawa kanvas dari tas dan memasangkannya di kayu penyangga yang diletakkannya di tengah ruangan. Ia juga menyiapkan palet dan cat air serta kuas di meja dan menata kursi lipatnya pula di depan kanvas.

“Ini akan jadi studio lukisku tak lama lagi.” kata Lyoid.

Gue masih terpaku memandang siluet tubuh Lyoid yang terterpa cahaya dari balik jendela memberikan efek dramatis seolah-oleh Lyoid seperti malaikat yang bersinar. Sesaat gue seperti melihat Lyoid tersenyum walau tak begitu kentara, ia nampak puas dengan kerjanya.

“Indah banget..” mulut gue tiba-tiba bicara.

“Ya?” tanya Lyoid.

“Eh nggak, maksud gue studio lukis lo keren. Emang belum jadi sih, tapi gue bisa bayangin kalo ini bakalan jadi keren banget.” Jawab gue berusaha nyembunyiin grogi karna keceplosan mengagumi Lyoid.

“Ya, begitulah. Mau keluar?”

“Keluar?”

Belum sempat gue ngerti maksud Lyoid, dia sudah berjalan meninggalkan ruangan dan menuju ke pintu di sebelah ruang tamu dan membukanya. Nampak hamparan kristal jernih berwarna biru dari ubin di dasar kolam dan pancaran sinar matahari pada permukaan air. Ternyata apartemen mewah ini belum cukup memberi gue kejutan. Ia memiliki kolam renang sendiri di atas gedung di lantai dua puluh ini.

Dasar orang kaya. Keluh gue.

Gue pun sudah menjelajahkan kaki di sekitar kolam renang yang juga merupakan balkonnya, mengamati pemandangan dari atas gedung.

“Lo biasa renang?” tanya gue.

“Cukup sering sebelum pindah ke sini.” Dan lagi-lagi hal mendebarkan itu terjadi. Lyoid membuka kemejanya dan kali ini beserta celana panjangnya. Ia hanya mengenakan boxer untuk berenang dan dengan indah ia meluncur dari pinggir kolam ke dalam air yang tampak menggiurkan.

Bunyi kecipak air dapat gue denger saat Lyoid berenang dari ujung kolam ke ujung yang lain, sangat indah dan mata gue tak mampu beralih dari sosoknya yang menawan. Ia..nampak begitu sempurna.

“Hey, mau ikut berenang?” tanyanya, membuyarkan lamunan gue.

“G-gue? Gue nggak ikut renang. Gue harus segera pulang. Emm.. sampai ketemu besok.” Jawab gue, pengen segera pergi dari tempat itu sebelum gue kepikiran yang macem-macem. Sial. Gue grogi!

“Oh..ok, apa perlu diantar?”

“Nggak usah, lo terusin aja renangnya. Gue pulang sekarang. Bye.” Tanpa menunggu jawaban dari Lyoid, gue langsung melangkahkan kali bermaksud untuk segera pergi. Tapi suaranya mencegah gue.

“Tunggu,”

Lyoid beranjak keluar kolam. Tubuhnya basah oleh air dan ia tampak sangat.. sexy.

Sial. Harusnya gue segera pergi. Kenapa? kenapa? kenapa dia harus cegah gue? Sekarang dia semakin mendekat dan berdiri di depan gue. Cukup dekat. Bisa dibayangin seberapa merah muka gue. Kaki gue nggak bisa gerak. Kaki gue seakan lemes tanpa disanggaa satu tulangpun.

“Y-ya? Mau apa?”

Jangan pandang dadanya, jangan pandang ke bawah. Luna apaan sih yang lo pikirin? Gue nggak bisa mikir. Pertanyaan apa barusan? Mau apa? Emang dia mau apa? Kenapa gue jadi grogi. Kenapa lagi-lagi gue harus berhadapan dengannya seperti ini? Gue pengen pulang! Jerit gue dalam hati.

“Aku belum berterima kasih kau sudah mau menemaniku.” Katanya.

“Nggak masalah. Cuma hal kecil, nggak usah dipikirin.”

Ugh, tenang. Lo bisa bertahan. Luna, lo pasti bisa.

“Ok, thanks.”

“Sama-sama. Gue pulang sekarang.” Kali ini tanpa menengok lagi gue bergegas melangkahkan kali menuju pintu keluar dan berharap bisa segera menjauh dari apartemennya. Tempat ini membuat gue hampir kena serangan jantung taip kali. Gue harus segera pergi sebelum dada gue meledak karna terlalu keras berdebar.

Lyoid, lo bikin gue gila.

-"-

Saat gue buka pintu, Rheam sudah ada disana. Berdiri di pojok ruangan dengan bersandar ke dinding dan bersedekap tangan. Tatapannya tampak tidak senang ketika ngeliat gue. Udah bisa gue bayangin apa yang akan terjadi setelah ini.

“Kemana aja lo?” tanya Rheam.

“Ye terserah gue dong mo kemana. Kenapa harus bilang ke elo.”

Rheam mendekat ke arah gue, lalu berhenti tepat di depan gue. Ia memcondongkan badannya sedikit ke muka gue.

“Lo budak gue. Gue berhak tau kemana dan apa aja yang lo lakuin.”

Sesaat, gue ngerasa ketakutan dengan sikap Rheam. Tapi gue mencoba tetap tenang.

“Gue abis pergi bareng temen. Puas lo?” abis ngomong itu, gue langsung cabut dari hadapannya. Tapi telat, Rheam udah nangkap lengan gue dan langsung menyeretnya ke lantai atas.

“Eh, apa-apaan lo, lepasin gue.” Gue coba berontak tapi usaha gue sia-sia.

“Rheam lepasin gue, mo ngapain lo!” kali ini gue berteriak lebih keras, berharap ada orang yang mendengar. Sayangnya gue tau tak ada yang mendengar. Rheam meliburkan seluruh pelayan kecuali pengurus kebun dan satpam yang bertugas di luar. Mustahil mereka mendengar teriakan gue dari dalam rumah sebesar ini.

Gue baru saja melewati kamar gue lalu bertanya-tanya kemana Rheam akan membawa gue. Tepat saat gue berdiri depan pintu. INI KAMAR RHEAM!

Rheam memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya dan mendorong gue masuk.

“M-mau apa lo? Gue nggak mau ada disini. Biarin gue pergi. Gue nggak mau ngelakuin itu!”

Rheam memendang gue heran. Suasana hening sesaat.

“Ngomong apa lo?” tanya Rheam

“L-lo, nggak mau ngelakuin itu?”

“Itu?” ulang Rheam

“Itu..”

Muka gue berubah cengo’

“Bersihin otak lo, pake ini.”

Rheam menyodokan vacuum cleaner ke gue.

“Vacuum cleaner.. Lo kira gue sampah ya.. denger, gue emang salah kira.. tapi gue bukan..”

“Bersihin kamar gue dalam satu jam. Semuanya harus sudah rapi. Jangan pindahin apapun, lo cuma harus bersihin aja. Jangan sampai ada yang rusak. Ngerti?” bentak Rheam.

“Tunggu, jadi maksud lo, sekarang gue pelayan pribadi lo?”

“Ingat perjanjian kita. Mulai sekarang lo pembantu gue. Bersihin kamar gue, siapin sarapan dan makan malam. Kerjakan tugas-tugas yang gue suruh. Jangan lakuin hal apapun tanpa sepengetahuan gue.. termasuk pergi kemanapun.”

“Gue harus minta ijin sama lo?”

“Yup, bener banget.”

Sial! Kenapa gue harus pecahin lampu hias itu. Kalau bukan karna rasa penasaran gue nggak bakal dikutuk jadi budak Rheam dan harus lakuin ini semua. Rheam sialan!

Rheam pun pergi meninggalkan kamar. Sekarang gue sendirian di dalam. Baru gue sadari ini kali pertamanya gue bisa liat isi kamar Rheam. Biasanya ia tak pernah membiarkan siapapun memasuki kamarnya, biarpun itu pelayan yang akan bersih-bersih. Pintu kamarnya selalu dikunci rapat dan tak dibiarkan sedikitpun terbuka.

Pandangan gue beredar ke sekeliing ruangan. Ternyata kamar Rheam cukup rapi. Ia tak meningalkan barang-barang bercereran di lantai selayaknya kamar cowok pada umumnya, dan cukup bersih. Bagus, seenggaknya gue nggak perlu ngeluarin banyak tenaga untuk urusan ini. Cuma ada sedikit barang-barang yang harus dirapikan dan dibersihkan.

Setelah selesai menyedot debu di lapisan karpet beludru mewah di kamar Rheam, kini saatnya merapikan barang. Ada beberapa meja di kamar Rheam. Salah satunya meja belajar dan meja untuk memajang hiasan yang lebih mirip seperti lemari hias di ruang barang-barang antik milik papa. Kemudian masih ada satu lagi meja dengan sebuah kaca di dinding untuk menaruh barang-barang seperti jel rambut dan parfum yang gue duga sebagai meja rias.  

Tempat tidurnya cukup rapi, jadi gue nggak perlu beresin lagi. Lalu sekoyong-koyongnya gue teringat akan ucapan gue sendiri barusan. Apa yang gue pikirin? Gue kira Rheam paksa gue kekamarnya untuk lakuin itu. Muka gue berubah merah. Darimana lo bisa punya ide gila kaya’ gitu, Lun? Dan dengan Rheam? Yang beneran aja. Sial, pasti gara-gara kejadian dengan Lyoid tadi, gue jadi nggak bisa mikir jernih.

Sekuat tenaga gue coba menghapus memori di otak gue. Lalu mulai membereskan barang-barang. Dimulai dari meja belajar Rheam ke meja yang lainnya. Lemari baju Rheam terkunci. Jadi gue nggak perlu ngeberesin baju-bajunya.

Sekarang gue sendang membereskan barang-barang di meja tempat Rheam memajang barang-barang pajangan. Gue mengelap seluruh pernak-pernik yang ada dan meletakkannya ke tempat semula. Lalu pandangan gue tertuju pada sebuah pigura di tengah meja. Seorang wanita muda sangat cantik sedang menggandeng seorang bocah kecil kira-kira berumur enam tahun. Wanita itu memiliki rambut panjang bergelombang dan berwarna pirang. Senyumnya saat tulus dan penuh perhatian. Dia pasti mamanya Rheam. Lalu di sebelah foto itu terdapat satu pigura lagi yang memajang foto dua orang anak kecil sedang duduk dibawah pohon apel dan tersenyum riang ke kamara. Mereka seumuran. Salah satunya anak kecil yang sama pada foto sebelumnya yang gue yakin adalah Rheam dan satunya seorang anak perempuan berwajah asing dengan rambut panjang berwarna pudar. Rambutnya diikat di kedua sisi mirip seperti telinga kelinci. Sangat manis. Mereka tampak gembira bersama.

Gue mengangkat foto itu dan mengamatinya. Di pojok foto tertulis nama Rheam and Lili. Itu kah nama anak perempuan itu? Di samping foto itu tergeletak sebuah syal berwarna merah dengan sebuah inisial nama jahitan tangan yang compang-camping tertulis R & L. Rheam dan Lili kah?

Sebelum gue lebih jauh mengamati kedua benda itu, seseorang menarik pigura di tangan gue dari arah belakang.

“Jangan sentuh yang ini.” Kata Rheam geram. Wajahnya tampak serius.

“Gue cuma mau bersihin aja kok. Kalo lo nggak mau gue sentuh itu ya udah. Gue nggak bakal sentuh itu lagi lain kali.” Kilah gue.

Rheam memandang gue tajam. Baru gue sadari jarak kami sangat dekat. Wangi parfumnya dapat gue cium sangat jelas. Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba?

“Waktu lo udah selesai, sekarang tinggalin kamar gue.” Kata Rheam dengan nada memerintah. Dasar seenaknya.

“Nggak usah pake bentak dong, tadi lo yang paksa gue ke sini. Sekarang usir-usir gue seenaknya.” Bales gue.

“Peraturan selanjutnya, jangan bantah kata-kata gue.”

Ugh, sial.

Lalu dengan muka gondok gue segera meninggalkan kamar Rheam, masuk ke kamar gue sendiri dan menutup pintunya.

Rheam masih berdiri di sana. Memandang foto ditangannya cukup lama lalu meletakkan foto itu kembali ke meja. Pandangannya berubah sayu.

Jumat, 26 Agustus 2011

Dangerous Lover (Chapter 1)

Soundtrack : Can You Find Me by The Summer Set

Aku berjalan menyusuri sepanjang jalan di tempat yang tak akrab kukenal sebelumnya. Keluargaku baru pindah dari L.A tiga hari lalu. Dan setelah rutinitas menata barang-barang pindahan yang melelahkan aku berkesempatan berjalan-jalan mengakrabkan diri dengan lingkungan tempat tinggal baruku. Di Broklin, rumah-rumah bertingkat dengan arsitektur kuno dan elegan dengan undakan ditiap terasnya berjajar rapi sepanjang kompleks tempat kami tinggal. Pintu-pintu rumah itu selalu tertutup rapat seperti tak ditinggali namun semuanya bersih terawat.

Di taman anak-anak kecil bermain ayunan dan berlarian sepanjang pagi itu. Sekolahku baru akan dimulai besok bertepatan dengan tahun ajaran baru. Orang tuaku memutuskan memasukkanku ke sekolah swasta tepat saat aku menginjak Senior High School. Tak seperti tipikal remaja lainnya yang mogok bicara atau marah pada orang tua mereka saat terpaksa ikut pindahan, aku sama sekali tak ada keberatan mengikuti orang tuaku yang harus pindah kesini karena masalah pekerjaan. Lagipula di tempat asalku takkan ada banyak teman yang merasa kehilangan jika aku pergi.

Oh ya, aku lupa menyebutkan namaku. Aku Kelsey. Umurku 15 tahun. Aku tak punya saudara lain selain teddy bear kesayangaku, Tess. Itu bagus karena aku tak harus berebut remote TV saat acara kesayanganku tayang atau terjebak dalam situasi saling benci kakak-adik karna masalah perhatian orang tua. Itu semua tak terjadi padaku.

Di jalan setapak yang mulai ramai oleh pejalan kali, aku melihat seorang cowok bersandar pada dinding batu salah satu rumah sambil melempar-lemparkan kerikil ke jalan. Ia memakai hoodie warna gelap dan celana panjang ketat dan menagkupkan tudung hoodienya ke kepala diatas topi baseball warna cerahnya. Rambutnya yang agak panjang terlihat keluar dari celah-celah antara pipi dan telinganya, rambutnya lurus dan berwarna hitam.

Ia menyadari kehadiranku yang sedari tadi hanya termenung di sisi jalan memandangnya, kemudian ia menghampiriku.

“Hey, aku Terrence,” sapanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

Aku menjabat tangannya dan menyebutkan namaku. Terrence ternyata lebih tinggi dariku. Tinggiku diatas rata-rata cewek seusiaku. Dan dari wajahnya aku dapat menebak kira-kira ia berusia 17 tahun.

“Apa kamu baru di kota ini?” tanya Terrence.

“Iya, keluargaku pindah tiga hari lalu ke sini.” jawabku. Aku ingin tahu kenapa dia bisa tahu soal itu.

“Jangan heran, aku tahu semua orang di tempat ini.”

“Dimana kamu akan sekolah?” lanjutnya.

“Hyden Academy.”

“Baguslah, aku juga bersekolah di sana. Mau jalan-jalan?”

Terrence ternyata orang yang sangat asik. Kami berjalan menyusuri kompleks sambil berbincang banyak hal. Ia menceritakan tentang sekolah kami dan siapa dan apa-apa saja yang harus hindari atau sebaliknya didekati. Itu penting jika kau anak baru dan belum mengenal seluk-beluk sekolah barumu. Ia juga bercerita banyak hal tentang tempat tinggal baruku. Tempat-tempat mana saja yang asik untuk dikunjungi dan macam-macam hal menarik lainnya.

Kami berhenti di taman untuk membeli es krim. Ia membelikanku es krim vanilla berukuran besar dan satu untuknya sendiri. Kemudian kami bercakap lagi di bangku taman sepanjang pagi itu. Aku merasa senang karena bisa mendapatkan teman baru.

“Well, kurasa sekarang aku harus pergi,” kata Terrence. Aku melirik jam tanganku, tak terasa sudah hampir dua jam kami ngobrol.

Tiba-tiba Terrence menyambar kedua telapak tanganku dan memegangnya dengan kedua telapak tangannya. “Semoga bisa berjumpa lagi denganmu besok.” katanya. Setelah itu ia melepaskannya dan melambaikan tangan sambil berlari.

“Bye Kelsey!”

Aku tertegun memandangnya menyunggingkan senyum cerah. Tanpa kusadari mukaku berubah merah.

Saat Terrence sudah pergi aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku menyusuri sepanjang jalan yang kulewati tadi dengan hati riang. Besok aku akan berjumpa lagi dengannya. Seutas senyum tersunggung di bibirku saat memikirkannya.

Seseorang mencegat langkahku ketika aku sedang asik berfikir tentang Terrence. Di depanku seorang cowok yang kira-kira seumuran denganku atau mungkin lebih muda berdiri tepat di hadapanku sehingga aku refleks memundurkan kaki selangkah.

“Ada apa?” tanyaku kaget.

Dari penampilannya tak jauh beda dengan Terrence, rambutnya lurus dan berwarna hitam serta mengenakan celana ketat dan jaket yang digulung lenganya hingga bawah siku.

“Kamu kan tadi yang bicara dengan cowok yang memakai topi baseball?”

Terrence! Ia sedang berbicara tentangnya.

“Iya aku berbicara dengannya,” jawabku.

Mukanya tampak tidak senang. Wajahnya tidak jelek sih, sejujurnya ia tampan. Dengan cemberut di wajahnya ia malah nampak cute.

“Jauhi cowok itu.”

“Apa? Kenapa?” Kenapa aku harus menjauhinya? Siapa cowok ini?

“Kamu tidak tahu, dia itu berbahaya. Pokoknya jauhi saja dia. Demi keselamatanmu.”

Setelah itu dia pergi berlari hingga sosoknya tak terlihat lagi di tikungan. Larinya cepat sekali sehingga aku tak sempat mengejarnya. Aku bahkan belum bertanya namanya. Kenapa dia berkata seperti itu tentang Terrence? Apa hubungannya dengan Terrence? Terrence tak terlihat berbahaya dimataku. Mungkin malah ia satu-satu cowok paling asik yang pernah kuajak ngobrol seumur hidupku. Aku berjalan kembali sambil memikirkan kata-kata cowok itu.

“Bagaimana acara jalan-jalannya?” tanya Mom ketika aku baru menutup pintu.

“Menyenangkan sekaligus mengerikan,” jawabku acuh tak acuh. Menyenagkan karena aku baru saja mendapatkan teman baru yang asik dan mengerikan karena bertemu dengan cowok aneh yang menakut-nakutiku.

Kulihat Dad sedang mengerjakan rutinitas Do-it-yourself-nya dengan palu dan pipa di wastafel baru kami, menimbulkan suara gaduh sepanjang pagi. Ia nampak serius hingga seperti tak menyadari kehadiranku. Aku menghampiri Mom di dapur dan mengambil sebutir apel di meja.

“Apa kamu sudah menemukan teman baru di sini?” tanya Mom lagi seakan bisa membaca pikiranku.

“Yeah, beberapa.. sepertinya.”

Setelah itu aku berlari ke kamarku dan tak memberi Mom kesempatan untuk bertanya lebih jauh.

-"-

Hari ini tahun ajaran baru di mulai. Dad bersikeras mengantarkanku ke sekolah seakan khawatir aku tak tahu jalannya. Ia menghentikan mobilnya di plataran ketika kami sampai di Hyden. Kami berdua keluar dari mobil untuk mengamati sekolahku. Dad merengkuhku, untungnya aku segera menghindar ketika Dad hendak mencium keningku seperti tahun-tahun sebelumnya aku masuk sekolah baru. Tidak untuk kali ini Dad. Kau pikir bisa menghancurkan tiga tahun masa SMA ku dengan satu ciuman di kening yang akan dikenang selama seabad oleh teman-teman baruku? Dad selalu menganggapku princess kecilnya setiap waktu. Itu tidak salah, kalau ia tidak berusaha menunjukkannya setiap waktu ke orang-orang. Bukannya aku membencinya. Aku sayang Dad. Tapi sikap Dad terkadang sulit ditebak.

Aku melambaikan tangan pada Dad dan berjalan memasuki pintu utama High School. Aku baru tahu Hyden Academy ternyata sangat luas, terdiri dari Sekolah Dasar hingga Universitas. Semua dalam satu wilayah dengan gedung yang berbeda.

Orang-orang banyak berlalu-lalang di sekitar. Aku melihat segerombolan mahasiswa berjalan di depanku. Aku melangkah masuk ke degung SMA. Ternyata suasana di dalam jauh lebih ramai. Murid-murid memadati sepanjang lorong dengan penampilan berbeda-beda. Ada yang berpenampilan biasa saja sepertiku, ada yang berpakaian gothic, baju cheerleader, seragam football, cowok-cewek kutu buku, remaja-remaja yang selalu up-to-date, cowok-cowok punk dan masih banyak lagi. Semuanya berjalan dengan ritme cepat sepanjang lorong dan ada pula yang berhenti di depan locker untuk ngobrol. Yeah, memang beginilah seharusnya kehidupan SMA. Aku  mendesah kemudian menuju lokerku dan menaruh barang-barangku disana.

Seorang cewek menabrakku ketika aku hendak meninggalkan locker.

“Sorry” katanya.

“It's ok”

Melihat pandangan heran dimataku ia lalu bertanya, “Apa kamu juga orang baru?” Aku mengangguk.

“Apa kelasmu yang pertama?” tanyanya lagi dengan suara renyah.

“Biology di kelas Mr. Tom.”

“Kita sekelas, ayo!” Ia menggandeng tanganku dan menyeretku sebelum aku sempat berkata-kata lagi.

“Oya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Debora. Panggil Debs kalau mau atau nama lengkapku tapi jangan panggil selain itu. Siapa namamu? Orang tuaku mendaftarkanku disini sebelum aku sempat memberikan pendapatku tapi kurasa tempat ini tidak terlalu buruk. Kupikir aku menyukainya, kau tahu?” Ia terus bicara tanpa jeda sehingga aku tak sempat memotongnya.

“Jadi siapa namamu tadi?”

“Aku belum menyebutkannya. Namaku Kelsey.” Kami berhenti diujung lorong.

“Ok, Kelsey senang mengenalmu. Sekarang ayo masuk!”

Aku melirik ke palang pintu dan membaca tandanya. ‘Laboratorium Biology’. Kami sudah sampai. Dengan mengesampingkan rasa penasaran darimana Debs bisa langsung tahu kelasnya aku mengikuti Debs berjalan memasuki kelas. Kami duduk sebangku dan berdiskusi banyak hal selama jam pelajaran Mr. Tom, bahkan diluar mata pelajaran yang diajarkan.

Akhirnya saat istirahat aku memiliki waktu untuk sendiri. Aku mencari-cari Terrence selama jam makan siang di kantin. Kantin penuh sesak oleh orang-orang tapi aku berhasil menemukan tempat untuk duduk dan membuka bekalku.

“Hey, kau disini rupanya.” Seseorang duduk di depan mejaku yang masih kosong.

“Terrence!”

“Aku mencari-carimu,” lanjutnya.

“Aku juga,” kataku malu-malu.

“Kelihatannya bekalmu enak,”

“Kau boleh mencicipinya,” kataku sambil menyodorkan kotak bekalku.

“Terima kasih,” Terrence mencomot sosis gurita buatan Mom yang paling kusuka.

“Jadi kemarin kau sudah bertemu dengan Nathan, apa yang dikatakannya?” kata Terrence disela-sela acara mengunyah sosisnya.

“Maksudmu?”

“Cowok yang kamu temui setelah aku pergi. Nathanael. Dia adikku. Apa yang dikatakannya?” tanyanya lagi.

Cowok misterius itu adik Terrence? Darimana Terrence tahu aku bertemu dengannya setelah dia pergi?

“Kuharap dia tidak bercerita buruk tentangku untuk menakut-nakutimu.”

Tepat, itulah yang hendak kukatakan!

“Apa dia membicarakan tentangku?” mata Terrence menyipit saat mengatakannya.

“Yeah begitulah, dia hanya memberitahu untuk menjauhimu. Setelah itu dia langsung pergi.” Jawabku.

“Dengar, adikku memang selalu begitu. Kau tahu kan masalah klise kakak-adik. Kami tidak terlalu akur. Kuharap dia tidak meninggalkan kesan buruk padamu.”

“Sejujurnya tidak, aku tidak memikirkan ucapannya.” Aku sedikit berbohong saat mengatakannya. Aku sempat memikirkan perkataan Nathan sepanjang perjalanan pulang. Mata Terrence menyipit lagi mendengar jawabanku.

“Bagus lah,” ujar Terrence akhirnya.

Kami berbincang sejenak setelah itu saat dua cewek lewat di depan meja kami dan menyapa Terrence. Tatapan mereka berubah sinis ketika melihatku. Aku pura-pura acuh.

“Mau jalan?” tanyanya ketika aku sudah selesai mengemasi bekalku.

“Boleh.”

Aku dan Terrence berjalan sepanjang lorong utama dan cewek-cewek melihat ke arah kami dengan tatapan tidak senang namun tetap tersenyum saat Terrence menyapa mereka. Terrence berjalan disampingku seakan tidak memperdulikan tatapan orang-orang.

“Hey Terrence,” sapa seorang cewek ketika kami melewatinya di depan locker.

“Hey Grace,” jawab Terrence sambil menyunggingkan senyum ke arahnya. Kami terus berjalan sampai ke tempat yang tidak terlalu ramai. 

“Oh well, kau tidak cerita kalau kau populer ,” kataku akhirnya. Terrence hanya tertawa.

“Aku tidak merasa harus menceritakannya. Kau tahu kan? Membanggakan diri sendiri, apa bagusnya?” ia terus berjalan disampingku.

“Cewek-cewek itu pasti benci melihatku ada didekatmu.”

“Kenapa harus memperdulikan mereka?”

“Aku perduli karna aku masih baru…”

“Tsss..” Terrence memegang pundakku dan mendorongku sedikit kebelakang dengan berat tubuhnya.

“Jangan khawatirkan itu. Aku yang akan menjagamu.” Jarak wajah Terrence denganku hanya satu inci. Aku tak bisa melepaskan tatapan mataku dari bola mata birunya dan bibirnya yang merah. Aku menahan nafas saat memandangnya.

Terrence mendekatkan bibirnya semakin dekat hingga aku bisa merasakan detak jantungku berdenyut lebih cepat hingga ke sel-sel otakku. Sebelum ia dapat menyelesaikan yang hendak ia lakukan bel berbunyi membuat kami terlonjak kaget. Terrence nampak tidak senang dengan gangguan itu.

“Kita ketemu nanti.” kata Terrence sambil melanghkah pergi.

Aku masih tertegun di tempatku. Seluruh tubuhku panas. Otakku seperti macat untuk berfikir. Kini sosok Terrence sudah tak terlihat tapi bayangan dirinya yang hendak menciumku masih sulit dihilangkan. Akhirnya aku berhasil memaksa otakku untuk bekerja dan memerintahkan kaikiku untuk pergi ke kelas.

Kelas selanjutnya adalah aljabar dengan Mr. Frogs. Namanya memang kedengaran aneh dan bisa kalian tebak sendiri begaimana dengan kelasnya. Di seluruh sesi pelajaran aku tak dapat memikirkan hal lain selain Terrence. Angka-angka di bukuku hanya berakhir menjadi coretan-coretan tidak jelas dan hampir menyerupai sebuah tulisan nama. Tak sengaja aku sudah menulis nama Terrence di buku catatanku. Aku merobeknya dan berusaha untuk berkosenterasi kembali dengan pelajaran tapi sia-sia.

Sesi pelajaran selanjutnya berlangsung sama seperti sebelumnya. Akhirnya kelaspun usai. Aku cepat-cepat membereskan barangku dan keluar. Di koridor murid-murid yang jumlahnya ratusan berhamburan keluar kelas dan membentuk seperti arus sungai deras yang saling bertabrakan. Bahuku tersodok maju mundur saat aku berada di tengah kerumunan. Seseorang menarik tanganku dan membawaku keluar kerumunan. Ia menjepi tubuhku ke dinding dengan tubuhnya yang hanya berjarak satu lengan denganku. Kedua tangannya ditempelkan ke tembok di kanan-kiriku. Aku kenal dia. Nathanael, adik Terrence.

“Kau tidak menghiraukan perkataanku,” katanya dengan geram. Aku sedikit meringkuk ketakutan.

“Jauhi Terrence, dia tidak seperti yang kau bayangkan.” Kali ini ekspresinya melunak melihat ketakutan di mataku.

“Kenapa aku harus menjauhinya?” tanyaku.

“Terrence berbahaya, aku sudah peringatkanmu sebelumnya. Jauhi dia,” Terdengar nada sedikit memohon dari ucapannya. Aku tak mengenal cowok ini. Maksudku selain hanya namanya saja, kami bahkan belum berkenalan secara resmi tapi ia sudah dua kali menakut-nakutiku.

“Maksudnya bahaya karna apa? Kau tidak menjelaskan alasannya.”

Dia seperti hendak membalas ucapanku tapi segera diurungkannya.

“Dengar, kalau kau tidak bisa menjelaskannya lebih baik kau berhenti mengganggu dan menakut-nakutiku. Aku tahu kau dan Terrence tidak akrab, tapi jangan libatkan aku dalam permainan konyolmu ini.”

“Kau tidak tahu tentang kami… ugh, sial,“ cowok itu mengumpat seiring dengan kedatangan seseorang yang tak diharapkannya.

“Nathan, apa yang kau lakukan disini!” suara Terrence terdengar dari belakang kami. Nada suaranya tampak marah. “Apa yang kau lakukan dengan Kelsey!”

“Seharusnya pertanyaannya adalah apa yang akan kau lakukan dengannya,” jawab Nathan turut geram. Kakak beradik itu sekarang sedang dalam peperangan mereka sendiri.

“Kau tak seharusnya ada disini,” kata Terrence.

“Aku bersekolah disini, kau tak bisa melarangku semaumu” balas Nathan.

“Tapi bukan disini kau seharusnya, tinggalkan kami sekarang sebelum kau menyesalinya.” Tampak sekelebat cahaya di mata Terrence. Sesaat aku melihat Terrence seperti bukan manusia. Pandangannya yang tajam ia lontarkan ke Nathan. Nathan melakukan hal yang sama pada Terrence.

“Jangan ganggu urusanku,”

“Aku sudah muak dengan kelakuanmu,”

“Kau adik tidak berguna,”

“Jangan libatkan orang lain,”

Terrence naik pitam dan hendak melayangkan tinjunya ke muka Nathan tepat saat aku berteriak,
“Kalian berdua hentikan! Jangan ada perkelahian. Aku tidak suka melihat darah.” teriakku sambil terisak. Mereka berdua memandangku. Aku sangat ketakukan jika mereka berdua jadi berkelahi. Tapi Terrence menjatuhkan tangannya. Nathan melepaskan diri dari cengkraman Terrence dan melangkah menjauh.

“Aku sudah memperingatkanmu. Selanjutnya terserah kau saja,” kata-kata itu ditujukan padaku saat Nathan melangkah pergi menerobos kerumunan yang ada di sekitar kami. Tak kusadari sejak kapan tapi orang-orang sudah berkumpul di sekeliling kami mengamati apa yang terjadi.

Debs melangkah keluar dari kerumunan dan menggandeng tanganku.

“Kelsey, ayo!” kata Debs.

“Aku akan menemuimu besok.” Suara Terrence terdengar dibelakangku. Aku meliriknya sesaat. Wajahnya sudah kembali tenang seperti biasa. Kemudian Debs menarikku untuk berjalan meninggalkan tempat itu.

Segerombolan cewek yang kulihat tadi bersama Terrence memandang sinis kearahku saat aku melewati mereka. Kupikir mereka juga menyaksikan kejadian barusan. Aku menghiraukan mereka dan terus berjalan di samping Debs keluar gedung SMA.

“Kau butuh tumpangan?” tanya Debs ketika kami sudah ada di luar.

“Tidak, ayahku akan menjemputku. Tapi terima kasih sudah menawari.”

Debs menepuk pundakku dan meninggalkanku. Sepertinya ia tahu suasana hatiku.

Aku pulang ke rumah dengan perasaan tidak menentu. Di mobil bahkan aku tidak bercerita pada Dad tentang hari pertamaku di sekolah seperti saat-saat sebelumnya. Malamnya aku terus kepikiran tentang Terrence dan berharap bisa menelponnya tapi baru kusadari aku belum menanyakan nomernya.

Esoknya aku berangkat sekolah tanpa diantar oleh Dad karna aku bersikeras sudah hafal jalannya. Aku sekelas lagi dengan Debs di jam pertama dan kedua pada pelajaran Sejarah. Pelajaran selanjutnya kami berpisah karena jadwal kami berbeda. Tapi di jam istirahat aku dan Debs janjian untuk bertemu di kantin untuk makan siang bersama.

“Dengar, yang kemarin itu Terrence dari tinggat dua belas kan? Kau harus cerita bagaimana bisa dekat dengannya. Kukira cowok seperti Terrence hanya mau bergaul dengan ‘cewek-cewek-terpilih’. Kau tahu kan maksudnya? Jangan tersinggung. Tapi semua orang di sekolah tahu siapa dia. Yah, satu dari sedikit cowok paling popular di Hyden. Jangan tanya aku tahu dari mana. Sepupuku lebih dulu sekolah disini dua tahun sebelum aku.” Kata Debs saat baru saja duduk di sebelahku di meja kantin. Hari ini kami sepakat mengambil jatah makan siang dari sekolah sehingga aku tak perlu membawa bekalku. Muka Debs condong padaku menanti jawaban.

“Eh, aku mengenalnya tidak sengaja.” Aku memang tidak sengaja lewat di jalan itu saat aku melihatnya dan dia menghampiriku.

“Hmm… sepertinya dia naksir padamu. Kau beruntung soal itu. Lalu apa hubunganmu dengan cowok yang bertengkar dengan Terrence kemarin? Setahuku Terrence memanggilnya adik. Kalo begitu dia adik Terrence? Sepupuku cerita banyak soal Terrence tapi dia tidak banyak tahu soal adiknya. Bahkan ia sepertinya tidak tahu Terrence punya adik.” Debs lagi-lagi kembali bicara nerocos tanpa memberikanku kesempatan untuk menyela.

“Ceritakan apa yang dikatakan sepupumu tentang Terrence,” kataku mengalihkan perhatian.

“Hmm.. “ wajah Debs tampak tidak puas, tapi kemudian ia mulai menceritakan apa yang diketahui sepupunya.

“Semua ‘orang’ di Hyden dari tingkat middle sampai universitas mungkin sudah kenal siapa Terrence. Yah seenggaknya cewek-cewek di Hyden tau persis siapa Terrence. Dia mengencani setiap cewek dari tiap tingkat, maksudku bukan yang dari tingkat dasar. Tapi hampir seluruh cewek-cewek keren di Hyden bahkan di Universitas pernah kencan dengan Terrence. Dia sering berganti-ganti pacar dan menurut cerita dari sepupuku pacar Terrence yang terakhir meninggal dalam kecelakaan bulan lalu. Jadi untuk sesaat ia masih jumbo tapi kupikir sebentar lagi ia akan segera dapat gantinya.” Kata Debs sambil menyendokkan sub Bit kemulutnya dan melirikku.

“Terrence mengencani setiap cewek?” tanyaku tak percaya.

“Hey, jangan pikirkan itu. Kau sudah masuk dalam daftar besar cewek beruntung yang bisa berkencan dengan ‘si cowok pupuler’. Andai aku bisa menggantikanmu aku akan sangat senang sekali tapi sayangnya Terrence sudah memilihmu.” Aku tahu Debs tidak bermaksud sungguh-sungguh saat mengatakan ingin menggantikanku. Aku dapat melihatnya tersenyum saat berbicara. Tapi hal yang menggangguku yaitu cerita Debs barusan. Terrence tidak mungkin seorang playboy kan?

“Apa yang kau lamunkan bodoh. Aku tidak akan memaksamu untuk cerita soal hubungan kalian. Sebaiknya kau makan sub mu sebelum dingin.” Kata-kata Debs membuyarkan lamunanku.

Selanjutnya kami menghabiskan makan siang tanpa bercerita banyak lagi. Debs menyuapkan sendok terakhir massage potato-nya ke mulut dan mengantongi apelnya. Ia berdiri membereskan nampan lalu berkata,“Sampai jumpa nanti Kelsey, aku harus menemui Mr. Hendy untuk tugas bahasa Spanyol minggu ini. Kuharap kau tak apa kutinggal sendiri.” Lalu Debs pun pergi terburu-buru seperti hal apapun yang biasa dilakukannya.

Aku masih belum menyelesaikan makan siangku. Jadi aku tetap tinggal di meja dan merenungkan tiap kata-kata Debs. Aku tak tahu apakah aku harus percaya pada cerita Debs atau menuruti kata hatiku sendiri tentang Terrence. Terrence tak pernah sedikitpun terlihat berbahaya di mataku kecuali tatapan matanya kemarin saat berhadapan dengan Nathan. Matanya bersinar. Menakutkan. Ia seperti bukan dirinya. Tidak, kenapa aku memikirkan hal itu. Terrence satu-satunya cowok yang membuatku berharap dapat segera menemuinya saat ini juga. Ia terlihat sangat baik dan menggoda dimataku. Mungkin Debs memang benar soal Terrence yang menjadi idola di Hyden. Tak dapat dipungkiri Terrence memiliki karisma untuk menjadi pusat perhatian semua orang. Jika ada seorang cowok dengan senyum menawan dan wajah sempurna hampir tanpa cacat apa kau akan menghindar untuk menatapnya? Kurasa itulah yang dilakukan cewek-cewek di Hyden, mengagumi Terrence. Mungkin Terrence tidak dapat menghindar karna ia terlalu baik hati untuk menyakiti hati cewek-cewek. Itu seperti.. sudah takdirnya. Menjadi pusat perhatian.

Aku memikirkan segala kemungkinan baik tentang Terrence. Lalu teringat akan janjinya kemarin untuk bentemu denganku. Ia tak terlihat selama jam istirahat, biasanya ia yang akan menghampiriku. Apa dia lupa akan janjinya? Mungkin ia akan menemuiku sepulang sekolah.

“Hey,” sapa seseorang.

“Kau lagi, kupikir kau sudah menyerah memperingatkanku.”

Cowok itu menggeser kursi dan duduk di depanku.

 “Aku datang kesini hanya untuk melihatmu.” Ujarnya sedikit canggung dan malu-malu. Aneh sekali sikapnya berbeda dengan yang kulihat kemarin ataupun sebelumnya. “Walau harusnya aku tidak bergaul dengan orang-orang sepertimu.” Nah, kali ini sifat menyebalkannya muncul lagi.

“Lalu untuk apa kau datang kesini?” kataku kesal.

“Sudah kubilang aku hanya ingin melihatmu,” samar-samar aku dapat melihat semburat merah di pipinya. Ia sedang malu.

“Kau sudah melihatku kan, sekarang apa kau akan pergi?”

“Kau tak bisa mengusirku. Aku berhak berada dimanapun semauku,” bantahnya, nadanya persis saat dia berujar pada Terrence.

“Ok, karna aku sudah selesai dengan makan siangku kau boleh duduk disini ‘semaumu’.” Aku hendak meninggalkannya tapi dia menarik tanganku.

“Tunggu, jangan pergi.”

Aku bertahan pada posisiku. Dia melepaskan cengkramannya.

“Aku kesini untuk minta maaf soal yang kemarin. Aku.. sudah menakut-nakutimu..”

Aku duduk lagi ke kursiku.

“Jadi akhirnya kau sadar sudah berbuat hal konyol,” kataku.

“Jangan melunjak. Aku tidak berbuat hal konyol. Aku berusaha menolongmu kau malah mencelaku.” Cowok ini aneh. Sedetik yang lalu ia terlihat seperti anak kucing yang jinak sedetik lagi ia sudah menyalak seperti anjing galak.

“Bagaimanapun juga yang kau lakukan kemarin itu hal konyol. Berbicara buruk tentang orang lain tanpa bisa mengatakan alasannya ”

“Kupikir temanmu sudah memberitahumu.”

“Kau.. menguping pembicaan kami?” Ia tahu soal pembicaraanku dengan Debs. Apa ia sudah ada disini sedari tadi?

“Ok, karena Terrence berkencan dengan banyak cewek, kau takut ia mamatahkan hatiku seperti dengan cewek-cewek sebelumnya?”

Apa yang kukatakan? Aku sendiri belum pernah melihat Terrence melakukan hal itu. Aku sudah berfikir buruk tentangnya hanya karna mendengar cerita dari Debs.

“Bukan hal sepele itu yang kukhawatirkan. Kau.. pasti akan menyesal bila berhubungan dengannya.” Lagi-lagi dia membuatku bingung dengan kata-katanya.

“Kau cemburu pada Terrence?”

“Apa? Aku tak pernah sedikitpun cemburu padanya. Aku bahkan tak mau jadi sepertinya!”

“Jadi sepertinya? Populer?”

“Bukan itu! Kami.. maksudku dia.. aku sulit menceritakannya. Yang pasti tidak seperti yang kau kira.”

“Aku sudah pernah mendengarnya. Jangan katakana lagi jika kau tak mau mengatakan alasannya.”

“Kau ini cewek keras kepala.”

“Lucu sekali Mr. sok ikut campur.” Kupikir dia mau membalas tapi ia melunakkan ekspresinya.                   

“Dengar, aku datang ke sini bukan untuk berdebat..”

“Iya, seharusnya kau datang untuk meminta maaf baik-baik.”

“Dan memastikanmu baik-baik saja,” imbuhnya. Kali ini mukaku yang memerah. Aku mencoba menghindari tatapannya yang entah mengapa berubah ikut malu-malu juga sepertiku.

“Aku baik-baik saja,” kataku bodoh.”

“Baguslah.”

Kami terdiam beberapa saat karna canggung. Kemudian ia membuka lagi pembicaraan,
“Malam ini.. Jangan temui Terrence karna ia sedang dalam keadaan tidak baik. Aku pergi sekarang.” Cowok itu pun segera menghilang dengan cepat separti terakhir kali aku melihatnya berlari.

Apa-apaan cowok ini. Dia menyuruhku untuk tidak bertemu Terrence, padahal aku sangat ingin menemuinya. Mengapa aku harus mendengarkan ucapannya. Dia bilang datang kemari untuk minta maaf dan memastikanku baik-baik saja. Apa maksud perhatiannya itu?

Akhirnya aku pergi ke kelas dan mengikuti sisa pelajaran selanjutnya. Di akhir kelas aku mencatat tugasku dan bergegas keluar sebelum terjebak dalam diskusi menentukan ekstrakulikuler yang bisa diambil oleh siswa baru.

Aku pergi ke kelas dua belas mencari-cari Terrence di setiap ruangan jikalau ia masih ada disana. Aku tak melihat Terrence dimanapun. Di halaman juga di tempat parkir, aku tak dapat menemukannya. Sekarang aku sedang menunggunya di pintu gerbang, berharap Terrence akan menemuiku dan tidak melupakan janjinya.

Sudah lima belas menit aku menunggu, Terrence tatap belum muncul. Entah mengapa aku jadi gusar. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Aku terus menunggu berharap Terrence akan datang. Tiga puluh menit, aku sudah tidak tahan, aku memutuskan untuk pulang.

Malam harinya aku minta ijin pada Mom untuk berjalan-jalan. Aku butuh sesaat untuk menghirup udara segar. Jalanan di Broklin malam hari tampak ramai selayaknya kota besar. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak yang kulewati saat pertama kali berjumpa dengan Terrence.

Saat itu aku melihatnya di sana. Terrence berdiri di tengah jalan setapak seperti sudah menantiku sedari tadi. Ia mengenakan hoodie yang sama seperti saat pertama kami berjumpa tapi kali ini tanpa topi baseballnya. Rambunya sedikit acak-acakan.

“Terrence,” aku menghampirinya. “Kupikir kau tidak ingat janjimu.”

Terrence tersenyum manis seperti biasa, “Aku mengingatnya, karna itulah aku disini.”

“Kau tahu aku akan ke sini? Kenapa tidak menemuiku waktu di sekolah?”

“Yeah aku tahu, sekarang aku menemuimu kan? Ayo sekarang kita pergi, aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Dia merangkul pundakku dan membimbingku pergi bersamanya. Kami berjalan selama lima belas menit dan berhenti di sebuah rumah.

“Ayo kita ke dalam,”

Aku mengikuti Terrence memasuki rumah tersebut dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Arsitektur dan prabot rumah itu sama seperti rumah-rumah yang ada di New York pada umumnya.

“Ini rumahmu?” tanyaku. Rumahnya tampak sepi seperti hanya ada kami berdua di sini. Lalu tiba-tiba aku terfikir tentang Nathan yang mungkin juga tinggal di sini bersama Terrence. Tapi aku tak berani bertanya karna tak yakin Terrence mau berbicara tentangnya.

“Ya, begitulah. Kamarku ada di atas.” Sambil menaiki tangga Terrence mengisyaratkan untuk mengikutinya. Aku berjalan perlahan di belakangnya.

Saat memasuki kamar Terrence aku merasa sedikit berbeda. Bulu-kuduku berdiri sesaat dan jantungku berdebar. Entah mungkin karna ini pertama kali aku memasuki kamar cowok atau ada sesuatu dari tempat ini yang membuatku gelisah.

Kamar Terrence tidak terlalu luas ataupun sempit. Ada satu tempat tidur yang cukup lebar dan meja belajar serta lemari pakaian. Lalu satu meja lagi untuk memajang benda-benda yang sepertinya dikumpulkan Terrence. Aku melihat tongkat baseball dan sarung tangannya tergeletak dimeja itu.

Dari kamar Terrence aku dapat melihat pemandangan di luar dari jendela yang terbuka menghadap ke sebuah kebun kecil di rumah itu. Aku menengkok ke luar jendela menghirup udara malam untuk menenangkan pikiranku. Lalu aku teringat tentang ucapannya.

“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” kataku sambil berbalik ke arahnya tapi wajah Terrence sudah ada di depanku. Jarak kami sangat dekat.  Aku dapat merasakan nafasnya yang berhembus perlahan dengan jelas. Matanya menatap persis bola mataku aku tak dapat menggerakkan tubuhku entah mengapa. Terrence seperti membiusku.

 Kami saling berpandengan selama beberapa saat. Walau tubuhku tak dapat bergerak tapi bola mataku masih bisa beredar dan menambatkan tujuan pada bibir Terrence. Bibirnya merah dan sedikit terbuka. Bibirnya seperti orang kehausan yang sudah lama tak minum air. Lalu aku menelusuri lagi tubuhnya dengan mataku dan melihat sebercak noda di hoodie nya. Tak begitu kentara karna warna hoodienya yang gelap. Aku ingin tahu kenapa. Lalu aku mengalihkan lagi pandangan ke matanya.

Jantungku berdebar saat kata-kata Terrence meluncur dari bibirnya, mendekat ke telingaku.

“Aku.. ingin kau tahu.. aku sangat menyukaimu, Kelsey”

Nafasku semakin tercekat menahan rasa malu dan bahagia dan sedikit kekhawatiran yang muncul tiba-tiba entah mengapa. Terrence merengkuhkan kedua tangannya ke pundakku dan semakin mendekatkan bibirnya ke samping telingaku. Aku masih tak dapat bergerak. Sekonyong-konyongnya kata-kata Nathan terlintas lagi dibenakku. Malam ini.. jangan temui Terrence… apa maksudnya? Tapi sekarang Terrence sudah ada di hadapanku. Ia baru saja menyatakan cintanya.

“Aku.. aku juga menyukaimu, Terrance” kataku terbata. 

“Kau milikku Kelsey.”

Terrence semakin mendekatkan bibirnya ke telingaku kemudian semakin ke bawah ke leherku. Aku melirik ke samping untuk menengok wajahnya. Sekarang mulut Terrence sudah terbuka lebar dan memperlihatkan dua gigi taring tajam yang tak terlihat sebelumnya. Matanya berubah merah dan berkilat. Aku menjerit dan ingin meloloskan diri tapi sudah tidak sempat. Mulut Terrence sudah menyentuh leherku. Aku berfikir sudah waktunya aku mati, tapi seseorang mendobrak pintu dan menerjang Terrence hingga tersungkur di lantai. Terrence bangkit dan menatapnya penuh amarah.

“Apa yang kau lakukan, Nathan? Kau mengganggu acara makan malamku.”

“Kau pantas untuk diganggu. Kau sudah terlalu banyak membunuh.”

“Itu cara hidup kita. Sebaiknya kau menyingkir, Adikku.” Kata Terrence geram. Tubuhku bergetar ketakutan. Aku tak dapat bergerak menyaksikan mereka beradu.

“Itu cara yang kau pilih, bukan aku.”

“Diam saja.” Lalu Terrence dengan kecepatan yang tak terduga sudah menubruk Nathan dan meninju wajahnya. Nathan bangkit dan balik melayangkan pukulan ke Terrence. Mereka berkelahi beberapa saat lalu saat keduanya sudah hampir sama-sama kehabisan tenaga Nathan melayangkan pukulan telak di bawah dagu Terrence dan membuatnya tersungkur. Terrence terengah-engah dan bangkit mendekati jendela sementara aku sudah berhasil menggerakkan kaki menyingkir ke pojok ruangan. Matanya  sempat bertemu denganku sebelum dia akhirnya melompat dari jendela dan menghilang di tengah kegelapan malam kota New York. Aku merosot ke lantai dan Nathan menghampiriku.

“Sebaiknya kau pulang. Aku akan mengantarmu,” kata Nathan ditengah-tengah rasa syok ku.

Aku bangkit dan membiarkannya membimbingku tanpa berkata apa-apa lagi.