Pages

Jumat, 26 Agustus 2011

Dangerous Lover (Chapter 1)

Soundtrack : Can You Find Me by The Summer Set

Aku berjalan menyusuri sepanjang jalan di tempat yang tak akrab kukenal sebelumnya. Keluargaku baru pindah dari L.A tiga hari lalu. Dan setelah rutinitas menata barang-barang pindahan yang melelahkan aku berkesempatan berjalan-jalan mengakrabkan diri dengan lingkungan tempat tinggal baruku. Di Broklin, rumah-rumah bertingkat dengan arsitektur kuno dan elegan dengan undakan ditiap terasnya berjajar rapi sepanjang kompleks tempat kami tinggal. Pintu-pintu rumah itu selalu tertutup rapat seperti tak ditinggali namun semuanya bersih terawat.

Di taman anak-anak kecil bermain ayunan dan berlarian sepanjang pagi itu. Sekolahku baru akan dimulai besok bertepatan dengan tahun ajaran baru. Orang tuaku memutuskan memasukkanku ke sekolah swasta tepat saat aku menginjak Senior High School. Tak seperti tipikal remaja lainnya yang mogok bicara atau marah pada orang tua mereka saat terpaksa ikut pindahan, aku sama sekali tak ada keberatan mengikuti orang tuaku yang harus pindah kesini karena masalah pekerjaan. Lagipula di tempat asalku takkan ada banyak teman yang merasa kehilangan jika aku pergi.

Oh ya, aku lupa menyebutkan namaku. Aku Kelsey. Umurku 15 tahun. Aku tak punya saudara lain selain teddy bear kesayangaku, Tess. Itu bagus karena aku tak harus berebut remote TV saat acara kesayanganku tayang atau terjebak dalam situasi saling benci kakak-adik karna masalah perhatian orang tua. Itu semua tak terjadi padaku.

Di jalan setapak yang mulai ramai oleh pejalan kali, aku melihat seorang cowok bersandar pada dinding batu salah satu rumah sambil melempar-lemparkan kerikil ke jalan. Ia memakai hoodie warna gelap dan celana panjang ketat dan menagkupkan tudung hoodienya ke kepala diatas topi baseball warna cerahnya. Rambutnya yang agak panjang terlihat keluar dari celah-celah antara pipi dan telinganya, rambutnya lurus dan berwarna hitam.

Ia menyadari kehadiranku yang sedari tadi hanya termenung di sisi jalan memandangnya, kemudian ia menghampiriku.

“Hey, aku Terrence,” sapanya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat.

Aku menjabat tangannya dan menyebutkan namaku. Terrence ternyata lebih tinggi dariku. Tinggiku diatas rata-rata cewek seusiaku. Dan dari wajahnya aku dapat menebak kira-kira ia berusia 17 tahun.

“Apa kamu baru di kota ini?” tanya Terrence.

“Iya, keluargaku pindah tiga hari lalu ke sini.” jawabku. Aku ingin tahu kenapa dia bisa tahu soal itu.

“Jangan heran, aku tahu semua orang di tempat ini.”

“Dimana kamu akan sekolah?” lanjutnya.

“Hyden Academy.”

“Baguslah, aku juga bersekolah di sana. Mau jalan-jalan?”

Terrence ternyata orang yang sangat asik. Kami berjalan menyusuri kompleks sambil berbincang banyak hal. Ia menceritakan tentang sekolah kami dan siapa dan apa-apa saja yang harus hindari atau sebaliknya didekati. Itu penting jika kau anak baru dan belum mengenal seluk-beluk sekolah barumu. Ia juga bercerita banyak hal tentang tempat tinggal baruku. Tempat-tempat mana saja yang asik untuk dikunjungi dan macam-macam hal menarik lainnya.

Kami berhenti di taman untuk membeli es krim. Ia membelikanku es krim vanilla berukuran besar dan satu untuknya sendiri. Kemudian kami bercakap lagi di bangku taman sepanjang pagi itu. Aku merasa senang karena bisa mendapatkan teman baru.

“Well, kurasa sekarang aku harus pergi,” kata Terrence. Aku melirik jam tanganku, tak terasa sudah hampir dua jam kami ngobrol.

Tiba-tiba Terrence menyambar kedua telapak tanganku dan memegangnya dengan kedua telapak tangannya. “Semoga bisa berjumpa lagi denganmu besok.” katanya. Setelah itu ia melepaskannya dan melambaikan tangan sambil berlari.

“Bye Kelsey!”

Aku tertegun memandangnya menyunggingkan senyum cerah. Tanpa kusadari mukaku berubah merah.

Saat Terrence sudah pergi aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku menyusuri sepanjang jalan yang kulewati tadi dengan hati riang. Besok aku akan berjumpa lagi dengannya. Seutas senyum tersunggung di bibirku saat memikirkannya.

Seseorang mencegat langkahku ketika aku sedang asik berfikir tentang Terrence. Di depanku seorang cowok yang kira-kira seumuran denganku atau mungkin lebih muda berdiri tepat di hadapanku sehingga aku refleks memundurkan kaki selangkah.

“Ada apa?” tanyaku kaget.

Dari penampilannya tak jauh beda dengan Terrence, rambutnya lurus dan berwarna hitam serta mengenakan celana ketat dan jaket yang digulung lenganya hingga bawah siku.

“Kamu kan tadi yang bicara dengan cowok yang memakai topi baseball?”

Terrence! Ia sedang berbicara tentangnya.

“Iya aku berbicara dengannya,” jawabku.

Mukanya tampak tidak senang. Wajahnya tidak jelek sih, sejujurnya ia tampan. Dengan cemberut di wajahnya ia malah nampak cute.

“Jauhi cowok itu.”

“Apa? Kenapa?” Kenapa aku harus menjauhinya? Siapa cowok ini?

“Kamu tidak tahu, dia itu berbahaya. Pokoknya jauhi saja dia. Demi keselamatanmu.”

Setelah itu dia pergi berlari hingga sosoknya tak terlihat lagi di tikungan. Larinya cepat sekali sehingga aku tak sempat mengejarnya. Aku bahkan belum bertanya namanya. Kenapa dia berkata seperti itu tentang Terrence? Apa hubungannya dengan Terrence? Terrence tak terlihat berbahaya dimataku. Mungkin malah ia satu-satu cowok paling asik yang pernah kuajak ngobrol seumur hidupku. Aku berjalan kembali sambil memikirkan kata-kata cowok itu.

“Bagaimana acara jalan-jalannya?” tanya Mom ketika aku baru menutup pintu.

“Menyenangkan sekaligus mengerikan,” jawabku acuh tak acuh. Menyenagkan karena aku baru saja mendapatkan teman baru yang asik dan mengerikan karena bertemu dengan cowok aneh yang menakut-nakutiku.

Kulihat Dad sedang mengerjakan rutinitas Do-it-yourself-nya dengan palu dan pipa di wastafel baru kami, menimbulkan suara gaduh sepanjang pagi. Ia nampak serius hingga seperti tak menyadari kehadiranku. Aku menghampiri Mom di dapur dan mengambil sebutir apel di meja.

“Apa kamu sudah menemukan teman baru di sini?” tanya Mom lagi seakan bisa membaca pikiranku.

“Yeah, beberapa.. sepertinya.”

Setelah itu aku berlari ke kamarku dan tak memberi Mom kesempatan untuk bertanya lebih jauh.

-"-

Hari ini tahun ajaran baru di mulai. Dad bersikeras mengantarkanku ke sekolah seakan khawatir aku tak tahu jalannya. Ia menghentikan mobilnya di plataran ketika kami sampai di Hyden. Kami berdua keluar dari mobil untuk mengamati sekolahku. Dad merengkuhku, untungnya aku segera menghindar ketika Dad hendak mencium keningku seperti tahun-tahun sebelumnya aku masuk sekolah baru. Tidak untuk kali ini Dad. Kau pikir bisa menghancurkan tiga tahun masa SMA ku dengan satu ciuman di kening yang akan dikenang selama seabad oleh teman-teman baruku? Dad selalu menganggapku princess kecilnya setiap waktu. Itu tidak salah, kalau ia tidak berusaha menunjukkannya setiap waktu ke orang-orang. Bukannya aku membencinya. Aku sayang Dad. Tapi sikap Dad terkadang sulit ditebak.

Aku melambaikan tangan pada Dad dan berjalan memasuki pintu utama High School. Aku baru tahu Hyden Academy ternyata sangat luas, terdiri dari Sekolah Dasar hingga Universitas. Semua dalam satu wilayah dengan gedung yang berbeda.

Orang-orang banyak berlalu-lalang di sekitar. Aku melihat segerombolan mahasiswa berjalan di depanku. Aku melangkah masuk ke degung SMA. Ternyata suasana di dalam jauh lebih ramai. Murid-murid memadati sepanjang lorong dengan penampilan berbeda-beda. Ada yang berpenampilan biasa saja sepertiku, ada yang berpakaian gothic, baju cheerleader, seragam football, cowok-cewek kutu buku, remaja-remaja yang selalu up-to-date, cowok-cowok punk dan masih banyak lagi. Semuanya berjalan dengan ritme cepat sepanjang lorong dan ada pula yang berhenti di depan locker untuk ngobrol. Yeah, memang beginilah seharusnya kehidupan SMA. Aku  mendesah kemudian menuju lokerku dan menaruh barang-barangku disana.

Seorang cewek menabrakku ketika aku hendak meninggalkan locker.

“Sorry” katanya.

“It's ok”

Melihat pandangan heran dimataku ia lalu bertanya, “Apa kamu juga orang baru?” Aku mengangguk.

“Apa kelasmu yang pertama?” tanyanya lagi dengan suara renyah.

“Biology di kelas Mr. Tom.”

“Kita sekelas, ayo!” Ia menggandeng tanganku dan menyeretku sebelum aku sempat berkata-kata lagi.

“Oya, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Debora. Panggil Debs kalau mau atau nama lengkapku tapi jangan panggil selain itu. Siapa namamu? Orang tuaku mendaftarkanku disini sebelum aku sempat memberikan pendapatku tapi kurasa tempat ini tidak terlalu buruk. Kupikir aku menyukainya, kau tahu?” Ia terus bicara tanpa jeda sehingga aku tak sempat memotongnya.

“Jadi siapa namamu tadi?”

“Aku belum menyebutkannya. Namaku Kelsey.” Kami berhenti diujung lorong.

“Ok, Kelsey senang mengenalmu. Sekarang ayo masuk!”

Aku melirik ke palang pintu dan membaca tandanya. ‘Laboratorium Biology’. Kami sudah sampai. Dengan mengesampingkan rasa penasaran darimana Debs bisa langsung tahu kelasnya aku mengikuti Debs berjalan memasuki kelas. Kami duduk sebangku dan berdiskusi banyak hal selama jam pelajaran Mr. Tom, bahkan diluar mata pelajaran yang diajarkan.

Akhirnya saat istirahat aku memiliki waktu untuk sendiri. Aku mencari-cari Terrence selama jam makan siang di kantin. Kantin penuh sesak oleh orang-orang tapi aku berhasil menemukan tempat untuk duduk dan membuka bekalku.

“Hey, kau disini rupanya.” Seseorang duduk di depan mejaku yang masih kosong.

“Terrence!”

“Aku mencari-carimu,” lanjutnya.

“Aku juga,” kataku malu-malu.

“Kelihatannya bekalmu enak,”

“Kau boleh mencicipinya,” kataku sambil menyodorkan kotak bekalku.

“Terima kasih,” Terrence mencomot sosis gurita buatan Mom yang paling kusuka.

“Jadi kemarin kau sudah bertemu dengan Nathan, apa yang dikatakannya?” kata Terrence disela-sela acara mengunyah sosisnya.

“Maksudmu?”

“Cowok yang kamu temui setelah aku pergi. Nathanael. Dia adikku. Apa yang dikatakannya?” tanyanya lagi.

Cowok misterius itu adik Terrence? Darimana Terrence tahu aku bertemu dengannya setelah dia pergi?

“Kuharap dia tidak bercerita buruk tentangku untuk menakut-nakutimu.”

Tepat, itulah yang hendak kukatakan!

“Apa dia membicarakan tentangku?” mata Terrence menyipit saat mengatakannya.

“Yeah begitulah, dia hanya memberitahu untuk menjauhimu. Setelah itu dia langsung pergi.” Jawabku.

“Dengar, adikku memang selalu begitu. Kau tahu kan masalah klise kakak-adik. Kami tidak terlalu akur. Kuharap dia tidak meninggalkan kesan buruk padamu.”

“Sejujurnya tidak, aku tidak memikirkan ucapannya.” Aku sedikit berbohong saat mengatakannya. Aku sempat memikirkan perkataan Nathan sepanjang perjalanan pulang. Mata Terrence menyipit lagi mendengar jawabanku.

“Bagus lah,” ujar Terrence akhirnya.

Kami berbincang sejenak setelah itu saat dua cewek lewat di depan meja kami dan menyapa Terrence. Tatapan mereka berubah sinis ketika melihatku. Aku pura-pura acuh.

“Mau jalan?” tanyanya ketika aku sudah selesai mengemasi bekalku.

“Boleh.”

Aku dan Terrence berjalan sepanjang lorong utama dan cewek-cewek melihat ke arah kami dengan tatapan tidak senang namun tetap tersenyum saat Terrence menyapa mereka. Terrence berjalan disampingku seakan tidak memperdulikan tatapan orang-orang.

“Hey Terrence,” sapa seorang cewek ketika kami melewatinya di depan locker.

“Hey Grace,” jawab Terrence sambil menyunggingkan senyum ke arahnya. Kami terus berjalan sampai ke tempat yang tidak terlalu ramai. 

“Oh well, kau tidak cerita kalau kau populer ,” kataku akhirnya. Terrence hanya tertawa.

“Aku tidak merasa harus menceritakannya. Kau tahu kan? Membanggakan diri sendiri, apa bagusnya?” ia terus berjalan disampingku.

“Cewek-cewek itu pasti benci melihatku ada didekatmu.”

“Kenapa harus memperdulikan mereka?”

“Aku perduli karna aku masih baru…”

“Tsss..” Terrence memegang pundakku dan mendorongku sedikit kebelakang dengan berat tubuhnya.

“Jangan khawatirkan itu. Aku yang akan menjagamu.” Jarak wajah Terrence denganku hanya satu inci. Aku tak bisa melepaskan tatapan mataku dari bola mata birunya dan bibirnya yang merah. Aku menahan nafas saat memandangnya.

Terrence mendekatkan bibirnya semakin dekat hingga aku bisa merasakan detak jantungku berdenyut lebih cepat hingga ke sel-sel otakku. Sebelum ia dapat menyelesaikan yang hendak ia lakukan bel berbunyi membuat kami terlonjak kaget. Terrence nampak tidak senang dengan gangguan itu.

“Kita ketemu nanti.” kata Terrence sambil melanghkah pergi.

Aku masih tertegun di tempatku. Seluruh tubuhku panas. Otakku seperti macat untuk berfikir. Kini sosok Terrence sudah tak terlihat tapi bayangan dirinya yang hendak menciumku masih sulit dihilangkan. Akhirnya aku berhasil memaksa otakku untuk bekerja dan memerintahkan kaikiku untuk pergi ke kelas.

Kelas selanjutnya adalah aljabar dengan Mr. Frogs. Namanya memang kedengaran aneh dan bisa kalian tebak sendiri begaimana dengan kelasnya. Di seluruh sesi pelajaran aku tak dapat memikirkan hal lain selain Terrence. Angka-angka di bukuku hanya berakhir menjadi coretan-coretan tidak jelas dan hampir menyerupai sebuah tulisan nama. Tak sengaja aku sudah menulis nama Terrence di buku catatanku. Aku merobeknya dan berusaha untuk berkosenterasi kembali dengan pelajaran tapi sia-sia.

Sesi pelajaran selanjutnya berlangsung sama seperti sebelumnya. Akhirnya kelaspun usai. Aku cepat-cepat membereskan barangku dan keluar. Di koridor murid-murid yang jumlahnya ratusan berhamburan keluar kelas dan membentuk seperti arus sungai deras yang saling bertabrakan. Bahuku tersodok maju mundur saat aku berada di tengah kerumunan. Seseorang menarik tanganku dan membawaku keluar kerumunan. Ia menjepi tubuhku ke dinding dengan tubuhnya yang hanya berjarak satu lengan denganku. Kedua tangannya ditempelkan ke tembok di kanan-kiriku. Aku kenal dia. Nathanael, adik Terrence.

“Kau tidak menghiraukan perkataanku,” katanya dengan geram. Aku sedikit meringkuk ketakutan.

“Jauhi Terrence, dia tidak seperti yang kau bayangkan.” Kali ini ekspresinya melunak melihat ketakutan di mataku.

“Kenapa aku harus menjauhinya?” tanyaku.

“Terrence berbahaya, aku sudah peringatkanmu sebelumnya. Jauhi dia,” Terdengar nada sedikit memohon dari ucapannya. Aku tak mengenal cowok ini. Maksudku selain hanya namanya saja, kami bahkan belum berkenalan secara resmi tapi ia sudah dua kali menakut-nakutiku.

“Maksudnya bahaya karna apa? Kau tidak menjelaskan alasannya.”

Dia seperti hendak membalas ucapanku tapi segera diurungkannya.

“Dengar, kalau kau tidak bisa menjelaskannya lebih baik kau berhenti mengganggu dan menakut-nakutiku. Aku tahu kau dan Terrence tidak akrab, tapi jangan libatkan aku dalam permainan konyolmu ini.”

“Kau tidak tahu tentang kami… ugh, sial,“ cowok itu mengumpat seiring dengan kedatangan seseorang yang tak diharapkannya.

“Nathan, apa yang kau lakukan disini!” suara Terrence terdengar dari belakang kami. Nada suaranya tampak marah. “Apa yang kau lakukan dengan Kelsey!”

“Seharusnya pertanyaannya adalah apa yang akan kau lakukan dengannya,” jawab Nathan turut geram. Kakak beradik itu sekarang sedang dalam peperangan mereka sendiri.

“Kau tak seharusnya ada disini,” kata Terrence.

“Aku bersekolah disini, kau tak bisa melarangku semaumu” balas Nathan.

“Tapi bukan disini kau seharusnya, tinggalkan kami sekarang sebelum kau menyesalinya.” Tampak sekelebat cahaya di mata Terrence. Sesaat aku melihat Terrence seperti bukan manusia. Pandangannya yang tajam ia lontarkan ke Nathan. Nathan melakukan hal yang sama pada Terrence.

“Jangan ganggu urusanku,”

“Aku sudah muak dengan kelakuanmu,”

“Kau adik tidak berguna,”

“Jangan libatkan orang lain,”

Terrence naik pitam dan hendak melayangkan tinjunya ke muka Nathan tepat saat aku berteriak,
“Kalian berdua hentikan! Jangan ada perkelahian. Aku tidak suka melihat darah.” teriakku sambil terisak. Mereka berdua memandangku. Aku sangat ketakukan jika mereka berdua jadi berkelahi. Tapi Terrence menjatuhkan tangannya. Nathan melepaskan diri dari cengkraman Terrence dan melangkah menjauh.

“Aku sudah memperingatkanmu. Selanjutnya terserah kau saja,” kata-kata itu ditujukan padaku saat Nathan melangkah pergi menerobos kerumunan yang ada di sekitar kami. Tak kusadari sejak kapan tapi orang-orang sudah berkumpul di sekeliling kami mengamati apa yang terjadi.

Debs melangkah keluar dari kerumunan dan menggandeng tanganku.

“Kelsey, ayo!” kata Debs.

“Aku akan menemuimu besok.” Suara Terrence terdengar dibelakangku. Aku meliriknya sesaat. Wajahnya sudah kembali tenang seperti biasa. Kemudian Debs menarikku untuk berjalan meninggalkan tempat itu.

Segerombolan cewek yang kulihat tadi bersama Terrence memandang sinis kearahku saat aku melewati mereka. Kupikir mereka juga menyaksikan kejadian barusan. Aku menghiraukan mereka dan terus berjalan di samping Debs keluar gedung SMA.

“Kau butuh tumpangan?” tanya Debs ketika kami sudah ada di luar.

“Tidak, ayahku akan menjemputku. Tapi terima kasih sudah menawari.”

Debs menepuk pundakku dan meninggalkanku. Sepertinya ia tahu suasana hatiku.

Aku pulang ke rumah dengan perasaan tidak menentu. Di mobil bahkan aku tidak bercerita pada Dad tentang hari pertamaku di sekolah seperti saat-saat sebelumnya. Malamnya aku terus kepikiran tentang Terrence dan berharap bisa menelponnya tapi baru kusadari aku belum menanyakan nomernya.

Esoknya aku berangkat sekolah tanpa diantar oleh Dad karna aku bersikeras sudah hafal jalannya. Aku sekelas lagi dengan Debs di jam pertama dan kedua pada pelajaran Sejarah. Pelajaran selanjutnya kami berpisah karena jadwal kami berbeda. Tapi di jam istirahat aku dan Debs janjian untuk bertemu di kantin untuk makan siang bersama.

“Dengar, yang kemarin itu Terrence dari tinggat dua belas kan? Kau harus cerita bagaimana bisa dekat dengannya. Kukira cowok seperti Terrence hanya mau bergaul dengan ‘cewek-cewek-terpilih’. Kau tahu kan maksudnya? Jangan tersinggung. Tapi semua orang di sekolah tahu siapa dia. Yah, satu dari sedikit cowok paling popular di Hyden. Jangan tanya aku tahu dari mana. Sepupuku lebih dulu sekolah disini dua tahun sebelum aku.” Kata Debs saat baru saja duduk di sebelahku di meja kantin. Hari ini kami sepakat mengambil jatah makan siang dari sekolah sehingga aku tak perlu membawa bekalku. Muka Debs condong padaku menanti jawaban.

“Eh, aku mengenalnya tidak sengaja.” Aku memang tidak sengaja lewat di jalan itu saat aku melihatnya dan dia menghampiriku.

“Hmm… sepertinya dia naksir padamu. Kau beruntung soal itu. Lalu apa hubunganmu dengan cowok yang bertengkar dengan Terrence kemarin? Setahuku Terrence memanggilnya adik. Kalo begitu dia adik Terrence? Sepupuku cerita banyak soal Terrence tapi dia tidak banyak tahu soal adiknya. Bahkan ia sepertinya tidak tahu Terrence punya adik.” Debs lagi-lagi kembali bicara nerocos tanpa memberikanku kesempatan untuk menyela.

“Ceritakan apa yang dikatakan sepupumu tentang Terrence,” kataku mengalihkan perhatian.

“Hmm.. “ wajah Debs tampak tidak puas, tapi kemudian ia mulai menceritakan apa yang diketahui sepupunya.

“Semua ‘orang’ di Hyden dari tingkat middle sampai universitas mungkin sudah kenal siapa Terrence. Yah seenggaknya cewek-cewek di Hyden tau persis siapa Terrence. Dia mengencani setiap cewek dari tiap tingkat, maksudku bukan yang dari tingkat dasar. Tapi hampir seluruh cewek-cewek keren di Hyden bahkan di Universitas pernah kencan dengan Terrence. Dia sering berganti-ganti pacar dan menurut cerita dari sepupuku pacar Terrence yang terakhir meninggal dalam kecelakaan bulan lalu. Jadi untuk sesaat ia masih jumbo tapi kupikir sebentar lagi ia akan segera dapat gantinya.” Kata Debs sambil menyendokkan sub Bit kemulutnya dan melirikku.

“Terrence mengencani setiap cewek?” tanyaku tak percaya.

“Hey, jangan pikirkan itu. Kau sudah masuk dalam daftar besar cewek beruntung yang bisa berkencan dengan ‘si cowok pupuler’. Andai aku bisa menggantikanmu aku akan sangat senang sekali tapi sayangnya Terrence sudah memilihmu.” Aku tahu Debs tidak bermaksud sungguh-sungguh saat mengatakan ingin menggantikanku. Aku dapat melihatnya tersenyum saat berbicara. Tapi hal yang menggangguku yaitu cerita Debs barusan. Terrence tidak mungkin seorang playboy kan?

“Apa yang kau lamunkan bodoh. Aku tidak akan memaksamu untuk cerita soal hubungan kalian. Sebaiknya kau makan sub mu sebelum dingin.” Kata-kata Debs membuyarkan lamunanku.

Selanjutnya kami menghabiskan makan siang tanpa bercerita banyak lagi. Debs menyuapkan sendok terakhir massage potato-nya ke mulut dan mengantongi apelnya. Ia berdiri membereskan nampan lalu berkata,“Sampai jumpa nanti Kelsey, aku harus menemui Mr. Hendy untuk tugas bahasa Spanyol minggu ini. Kuharap kau tak apa kutinggal sendiri.” Lalu Debs pun pergi terburu-buru seperti hal apapun yang biasa dilakukannya.

Aku masih belum menyelesaikan makan siangku. Jadi aku tetap tinggal di meja dan merenungkan tiap kata-kata Debs. Aku tak tahu apakah aku harus percaya pada cerita Debs atau menuruti kata hatiku sendiri tentang Terrence. Terrence tak pernah sedikitpun terlihat berbahaya di mataku kecuali tatapan matanya kemarin saat berhadapan dengan Nathan. Matanya bersinar. Menakutkan. Ia seperti bukan dirinya. Tidak, kenapa aku memikirkan hal itu. Terrence satu-satunya cowok yang membuatku berharap dapat segera menemuinya saat ini juga. Ia terlihat sangat baik dan menggoda dimataku. Mungkin Debs memang benar soal Terrence yang menjadi idola di Hyden. Tak dapat dipungkiri Terrence memiliki karisma untuk menjadi pusat perhatian semua orang. Jika ada seorang cowok dengan senyum menawan dan wajah sempurna hampir tanpa cacat apa kau akan menghindar untuk menatapnya? Kurasa itulah yang dilakukan cewek-cewek di Hyden, mengagumi Terrence. Mungkin Terrence tidak dapat menghindar karna ia terlalu baik hati untuk menyakiti hati cewek-cewek. Itu seperti.. sudah takdirnya. Menjadi pusat perhatian.

Aku memikirkan segala kemungkinan baik tentang Terrence. Lalu teringat akan janjinya kemarin untuk bentemu denganku. Ia tak terlihat selama jam istirahat, biasanya ia yang akan menghampiriku. Apa dia lupa akan janjinya? Mungkin ia akan menemuiku sepulang sekolah.

“Hey,” sapa seseorang.

“Kau lagi, kupikir kau sudah menyerah memperingatkanku.”

Cowok itu menggeser kursi dan duduk di depanku.

 “Aku datang kesini hanya untuk melihatmu.” Ujarnya sedikit canggung dan malu-malu. Aneh sekali sikapnya berbeda dengan yang kulihat kemarin ataupun sebelumnya. “Walau harusnya aku tidak bergaul dengan orang-orang sepertimu.” Nah, kali ini sifat menyebalkannya muncul lagi.

“Lalu untuk apa kau datang kesini?” kataku kesal.

“Sudah kubilang aku hanya ingin melihatmu,” samar-samar aku dapat melihat semburat merah di pipinya. Ia sedang malu.

“Kau sudah melihatku kan, sekarang apa kau akan pergi?”

“Kau tak bisa mengusirku. Aku berhak berada dimanapun semauku,” bantahnya, nadanya persis saat dia berujar pada Terrence.

“Ok, karna aku sudah selesai dengan makan siangku kau boleh duduk disini ‘semaumu’.” Aku hendak meninggalkannya tapi dia menarik tanganku.

“Tunggu, jangan pergi.”

Aku bertahan pada posisiku. Dia melepaskan cengkramannya.

“Aku kesini untuk minta maaf soal yang kemarin. Aku.. sudah menakut-nakutimu..”

Aku duduk lagi ke kursiku.

“Jadi akhirnya kau sadar sudah berbuat hal konyol,” kataku.

“Jangan melunjak. Aku tidak berbuat hal konyol. Aku berusaha menolongmu kau malah mencelaku.” Cowok ini aneh. Sedetik yang lalu ia terlihat seperti anak kucing yang jinak sedetik lagi ia sudah menyalak seperti anjing galak.

“Bagaimanapun juga yang kau lakukan kemarin itu hal konyol. Berbicara buruk tentang orang lain tanpa bisa mengatakan alasannya ”

“Kupikir temanmu sudah memberitahumu.”

“Kau.. menguping pembicaan kami?” Ia tahu soal pembicaraanku dengan Debs. Apa ia sudah ada disini sedari tadi?

“Ok, karena Terrence berkencan dengan banyak cewek, kau takut ia mamatahkan hatiku seperti dengan cewek-cewek sebelumnya?”

Apa yang kukatakan? Aku sendiri belum pernah melihat Terrence melakukan hal itu. Aku sudah berfikir buruk tentangnya hanya karna mendengar cerita dari Debs.

“Bukan hal sepele itu yang kukhawatirkan. Kau.. pasti akan menyesal bila berhubungan dengannya.” Lagi-lagi dia membuatku bingung dengan kata-katanya.

“Kau cemburu pada Terrence?”

“Apa? Aku tak pernah sedikitpun cemburu padanya. Aku bahkan tak mau jadi sepertinya!”

“Jadi sepertinya? Populer?”

“Bukan itu! Kami.. maksudku dia.. aku sulit menceritakannya. Yang pasti tidak seperti yang kau kira.”

“Aku sudah pernah mendengarnya. Jangan katakana lagi jika kau tak mau mengatakan alasannya.”

“Kau ini cewek keras kepala.”

“Lucu sekali Mr. sok ikut campur.” Kupikir dia mau membalas tapi ia melunakkan ekspresinya.                   

“Dengar, aku datang ke sini bukan untuk berdebat..”

“Iya, seharusnya kau datang untuk meminta maaf baik-baik.”

“Dan memastikanmu baik-baik saja,” imbuhnya. Kali ini mukaku yang memerah. Aku mencoba menghindari tatapannya yang entah mengapa berubah ikut malu-malu juga sepertiku.

“Aku baik-baik saja,” kataku bodoh.”

“Baguslah.”

Kami terdiam beberapa saat karna canggung. Kemudian ia membuka lagi pembicaraan,
“Malam ini.. Jangan temui Terrence karna ia sedang dalam keadaan tidak baik. Aku pergi sekarang.” Cowok itu pun segera menghilang dengan cepat separti terakhir kali aku melihatnya berlari.

Apa-apaan cowok ini. Dia menyuruhku untuk tidak bertemu Terrence, padahal aku sangat ingin menemuinya. Mengapa aku harus mendengarkan ucapannya. Dia bilang datang kemari untuk minta maaf dan memastikanku baik-baik saja. Apa maksud perhatiannya itu?

Akhirnya aku pergi ke kelas dan mengikuti sisa pelajaran selanjutnya. Di akhir kelas aku mencatat tugasku dan bergegas keluar sebelum terjebak dalam diskusi menentukan ekstrakulikuler yang bisa diambil oleh siswa baru.

Aku pergi ke kelas dua belas mencari-cari Terrence di setiap ruangan jikalau ia masih ada disana. Aku tak melihat Terrence dimanapun. Di halaman juga di tempat parkir, aku tak dapat menemukannya. Sekarang aku sedang menunggunya di pintu gerbang, berharap Terrence akan menemuiku dan tidak melupakan janjinya.

Sudah lima belas menit aku menunggu, Terrence tatap belum muncul. Entah mengapa aku jadi gusar. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Aku terus menunggu berharap Terrence akan datang. Tiga puluh menit, aku sudah tidak tahan, aku memutuskan untuk pulang.

Malam harinya aku minta ijin pada Mom untuk berjalan-jalan. Aku butuh sesaat untuk menghirup udara segar. Jalanan di Broklin malam hari tampak ramai selayaknya kota besar. Aku terus berjalan menyusuri jalan setapak yang kulewati saat pertama kali berjumpa dengan Terrence.

Saat itu aku melihatnya di sana. Terrence berdiri di tengah jalan setapak seperti sudah menantiku sedari tadi. Ia mengenakan hoodie yang sama seperti saat pertama kami berjumpa tapi kali ini tanpa topi baseballnya. Rambunya sedikit acak-acakan.

“Terrence,” aku menghampirinya. “Kupikir kau tidak ingat janjimu.”

Terrence tersenyum manis seperti biasa, “Aku mengingatnya, karna itulah aku disini.”

“Kau tahu aku akan ke sini? Kenapa tidak menemuiku waktu di sekolah?”

“Yeah aku tahu, sekarang aku menemuimu kan? Ayo sekarang kita pergi, aku ingin menunjukkanmu sesuatu.” Dia merangkul pundakku dan membimbingku pergi bersamanya. Kami berjalan selama lima belas menit dan berhenti di sebuah rumah.

“Ayo kita ke dalam,”

Aku mengikuti Terrence memasuki rumah tersebut dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Arsitektur dan prabot rumah itu sama seperti rumah-rumah yang ada di New York pada umumnya.

“Ini rumahmu?” tanyaku. Rumahnya tampak sepi seperti hanya ada kami berdua di sini. Lalu tiba-tiba aku terfikir tentang Nathan yang mungkin juga tinggal di sini bersama Terrence. Tapi aku tak berani bertanya karna tak yakin Terrence mau berbicara tentangnya.

“Ya, begitulah. Kamarku ada di atas.” Sambil menaiki tangga Terrence mengisyaratkan untuk mengikutinya. Aku berjalan perlahan di belakangnya.

Saat memasuki kamar Terrence aku merasa sedikit berbeda. Bulu-kuduku berdiri sesaat dan jantungku berdebar. Entah mungkin karna ini pertama kali aku memasuki kamar cowok atau ada sesuatu dari tempat ini yang membuatku gelisah.

Kamar Terrence tidak terlalu luas ataupun sempit. Ada satu tempat tidur yang cukup lebar dan meja belajar serta lemari pakaian. Lalu satu meja lagi untuk memajang benda-benda yang sepertinya dikumpulkan Terrence. Aku melihat tongkat baseball dan sarung tangannya tergeletak dimeja itu.

Dari kamar Terrence aku dapat melihat pemandangan di luar dari jendela yang terbuka menghadap ke sebuah kebun kecil di rumah itu. Aku menengkok ke luar jendela menghirup udara malam untuk menenangkan pikiranku. Lalu aku teringat tentang ucapannya.

“Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?” kataku sambil berbalik ke arahnya tapi wajah Terrence sudah ada di depanku. Jarak kami sangat dekat.  Aku dapat merasakan nafasnya yang berhembus perlahan dengan jelas. Matanya menatap persis bola mataku aku tak dapat menggerakkan tubuhku entah mengapa. Terrence seperti membiusku.

 Kami saling berpandengan selama beberapa saat. Walau tubuhku tak dapat bergerak tapi bola mataku masih bisa beredar dan menambatkan tujuan pada bibir Terrence. Bibirnya merah dan sedikit terbuka. Bibirnya seperti orang kehausan yang sudah lama tak minum air. Lalu aku menelusuri lagi tubuhnya dengan mataku dan melihat sebercak noda di hoodie nya. Tak begitu kentara karna warna hoodienya yang gelap. Aku ingin tahu kenapa. Lalu aku mengalihkan lagi pandangan ke matanya.

Jantungku berdebar saat kata-kata Terrence meluncur dari bibirnya, mendekat ke telingaku.

“Aku.. ingin kau tahu.. aku sangat menyukaimu, Kelsey”

Nafasku semakin tercekat menahan rasa malu dan bahagia dan sedikit kekhawatiran yang muncul tiba-tiba entah mengapa. Terrence merengkuhkan kedua tangannya ke pundakku dan semakin mendekatkan bibirnya ke samping telingaku. Aku masih tak dapat bergerak. Sekonyong-konyongnya kata-kata Nathan terlintas lagi dibenakku. Malam ini.. jangan temui Terrence… apa maksudnya? Tapi sekarang Terrence sudah ada di hadapanku. Ia baru saja menyatakan cintanya.

“Aku.. aku juga menyukaimu, Terrance” kataku terbata. 

“Kau milikku Kelsey.”

Terrence semakin mendekatkan bibirnya ke telingaku kemudian semakin ke bawah ke leherku. Aku melirik ke samping untuk menengok wajahnya. Sekarang mulut Terrence sudah terbuka lebar dan memperlihatkan dua gigi taring tajam yang tak terlihat sebelumnya. Matanya berubah merah dan berkilat. Aku menjerit dan ingin meloloskan diri tapi sudah tidak sempat. Mulut Terrence sudah menyentuh leherku. Aku berfikir sudah waktunya aku mati, tapi seseorang mendobrak pintu dan menerjang Terrence hingga tersungkur di lantai. Terrence bangkit dan menatapnya penuh amarah.

“Apa yang kau lakukan, Nathan? Kau mengganggu acara makan malamku.”

“Kau pantas untuk diganggu. Kau sudah terlalu banyak membunuh.”

“Itu cara hidup kita. Sebaiknya kau menyingkir, Adikku.” Kata Terrence geram. Tubuhku bergetar ketakutan. Aku tak dapat bergerak menyaksikan mereka beradu.

“Itu cara yang kau pilih, bukan aku.”

“Diam saja.” Lalu Terrence dengan kecepatan yang tak terduga sudah menubruk Nathan dan meninju wajahnya. Nathan bangkit dan balik melayangkan pukulan ke Terrence. Mereka berkelahi beberapa saat lalu saat keduanya sudah hampir sama-sama kehabisan tenaga Nathan melayangkan pukulan telak di bawah dagu Terrence dan membuatnya tersungkur. Terrence terengah-engah dan bangkit mendekati jendela sementara aku sudah berhasil menggerakkan kaki menyingkir ke pojok ruangan. Matanya  sempat bertemu denganku sebelum dia akhirnya melompat dari jendela dan menghilang di tengah kegelapan malam kota New York. Aku merosot ke lantai dan Nathan menghampiriku.

“Sebaiknya kau pulang. Aku akan mengantarmu,” kata Nathan ditengah-tengah rasa syok ku.

Aku bangkit dan membiarkannya membimbingku tanpa berkata apa-apa lagi.

Selasa, 23 Agustus 2011

Sleeping Death

Story by Kellsey661 from Storywrite
Translated by Sierra
 
Mereka bilang mati tanpa udara adalah cara terburuk untuk mati. Bagaimana kamu menahan rasa tercekat di leher saat tenggorokanmu dipenuhi air, atau dicekik tangan manusia. Tapi mereka salah. Tak ada yang lebih buruk dari mati dalam tidurmu. Bayangkan saja, pergi tidur dengan harapan dan mimpi, yakin akan esok yang cerah, dan tak pernah terbangun. Untuk tak tahu dimana kamu berada dalam kegelapan yang pekat yaitu kematian. Perasaan panik karena tidak dapat terbangun atau merasakan tubuhmu, tak perduli seberapa banyak kau melabrak sekitar. Itu adalah kematian yang paling buruk. Dan dari mana aku tahu? Karena, itu yang terjadi padaku.

“Dimana aku?” rengekku. Saat itu gelap, sangat gelap, dan sangat dingin. Buruk sekali. Aku tak dapat merasakan apapun selain hawa dingin. “Bangun, bangun, ini semua hanya mimpi, hanya sebuah mimpi.” Tapi aku tidak akan terbangun. Aku tidak bisa.

Minggu, 21 Agustus 2011

Takut Badut

by R.L Stine from Nightmare Hour (Indonesian version)
ditulis ulang oleh Sierra
 
Aku selalu takut badut. Aku tahu ini konyol, tapi aku tak berdaya. Menurutku badut-badut itu tidak lucu, tapi menyeramkan.

Aku tahu bagaimana ketakutanku berawal. Aku dapat mengingatnya dengan jelas….

Waktu itu hari ulang tahun ketiga Billy Waldman. Semua anak yang diundang ke sana berumur tiga atau empat tahun.

Pada pesta ulang tahun Billy itu ada badut. Mula-mula badut itu mengadakan pertunjukan sulap. Belakangan ia mulai menyemprot muka kami dengan pistol semprotan besar. Beberapa anak tertawa, tetapi menurutku itu tidak lucu.

Aku ingat senyumnya yang cuma lukisan. Dan rambut palsunya yang merah mirip sapu. Tetapi yang paling kuingat adalah mata badut itu ketika ia mendekatiku.

Matanya tidak tertawa. Matanya tidak ramah. Di bawah makeup tebal putih itu matanya kejam.

Badut itu menyemprot kami dengan krim kocok. Lalu ia melemparkan pie ke wajah Billy. Anak-anak lain tertawa tak henti-hentinya. Tapi aku rasanya ingin menangis.

Dan sebelum aku tahu, badut itu muncul di hadapanku. Ia menggiringku ke pojok, menyodok-nyodokku dengan perut bantalnya.

Anak-anak lain melupakan Billy dan mulai menertawakan cara badut itu mendesakku ke dinding. Tapi aku sungguh-sungguh ketakutan.

“Siapa namamu?” tanya badut itu dengan suara parau yang sangat rendah.
“Chistopher,” sahutku.

Kemudian badut itu mencondongkan badan hingga dekat sekali padaku, sedemikian dekat hingga aku dapat mencium napasnya yang kecut. Dan ia berbisik, “Bisa-bisa kau mati, Nak.

Aku mengingatnya dengan jelas, bibirnya menyentuh telingaku, “Bisa-bisa kau mati, Nak. Bisa-bisa kau mati KETAWA!

Sejak hari itu aku takut badut. Kalau melihat badut di mall atau di depan tempat cuci mobil atau di restoran, aku menyingkir sejauh mungkin darinya.

Sembilan tahun kemudian aku berumur dua belas, dan aku masih bermimpi tentang badut mengerikan di pesta ulang tahun Billy Waldman itu. Aku tahu ini sinting. Tapi badut-badut tetap membuatku takut setengah mati, masih membuat jantungku berdegup tak karuan dan napasku macet di tenggorokan.

Pada Karnaval Musim Gugur middle school, aku benar-benar menyerah kalah. Sejak semula aku tak ingin pergi ke karnaval itu. Maksudku, buat apa sih ikut-ikutan permainan melemparkan cincin? Memperebutkan ikan emas? Membayar untuk mental-mental di atas trampoline? Membuat anting-anting dari kerang atau manik-manik? Membosankan.

Tapi beberapa temanku pergi, dan aku tidak punya kegiatan lain lagi. Jadi aku ikut mereka.

Aku tidak tahu di sana ada badut.

Aku melihatnya di sepanjang jalan melintasi gym. Badut itu besar dengan sepatu lemas kuning yang besar sekali, perut bantal yang bergoyang-goyang, dan tawa yang menggelegar.

Pakaiannya polka-dot merah-putih dengan kerah merah menyala. Rambutnya oranye dan jabrik, mukanya putih, hidungnya menggelembung merah, seringainya yang merah-hitam dilukis dari satu kuping ke kuping satunya.

“Chirstopher, kau mau mukamu digambari?” tanya cewek di meja kartu. “Cuma satu dolar.”

Aku tidak menjawabnya. Mataku tertuju pada badut gendut jelek itu.

Ia memencet-mencet trompet plastik kecil, mengarahkannya ke wajah anak-anak, memabrak-nabrakkan , perutnya ke anak-anak, tawanya menggelegar.

Aku berusaha menjauhan diri darinya. Tapi gang itu sangat padat dan aku terjebak.

Badut yang menyeringai itu mendatangiku dan mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang bersarung. Di bawah makeup matanya cokelat pucat. Mata yang memuakkan.

Ia menertawakanku dan meniup trompet ke telingaku. Aku berusaha menyingkir, tapi terjepit ke dinding stand permainan melempar anak panah.

Ia tertawa lagi dan mendekatkan wajahnya yang meringis ke wajahku. “Bisa-bisa kau mati, Nak,” bisiknya. Dibunyikannya trompetnya di telingaku sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.

Bisa-bisa kau mati KETAWA!

Dan saat itulah aku benar-benar ketakutan.

Aku menjerit keras-keras, ngeri. Lalu aku lari, mendorong anak-anak yang menghalangiku, menabrak-nabrak segala benda, menjerit… menjerit.

Aku dapat merasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Aku dapat melihat ekspresi mereka yang terkejut dan bingung. Aku dapat mendengar semua teman memanggilku.
Aku menerjang keluar dari gym.

“Christopher!”

Aku berpaling dan melihat guruku, Miss Bienstock. Ia mengejarku, rambutnya yang megar berkibaran, matanya membelalak cemas. “Christopher! Ada apa di dalam sana?”

“Badut itu,” pekikku. “Dia menakut-nakutiku!” Dia—dia akan membunuhku!”

Miss Bienstock memegang bahuku. Matanya menyipit dan bibirnya terkatup. “Kau sudah dua belas tahun. Kau tahu itu bukan sungguhan.”

“Ya, sungguh! Dia akan membunuhku! Dia akan membunuhku!” jeritku.

Ia menelepon orangtuaku. Mereka tegang dan serius menungguku saat aku sampai di rumah.

Mom menggigit bibir bawahnya. “Kita harus melakukan sesuatu untuk ini, Christopher,” katanya. “Mom dan Dad sangat mencemaskanmu.”

Dad memegang bahuku dan menunduk kepadaku. “Badut itu lucu –tidak menyeramkan,” katanya, menatapku. “Kupikir kau mulai ketakutan konyol seperti itu sejeak umur empat.”

“Bukan konyol. Badut itu… dia bilang bisa-bisa aku mati ketawa.”

“Itu karena dia lucu,” kata Mom. “Mati ketawa. Itu kan cuma ungkapan.”

“Kami harus menyembuhkanmu dari ini,” kata Dad, sambil menggeleng-geleng. “Harus.”

~
Sabtu berikutnya Mom dan Dad memaksaku pergi ke sirkus dengan mereka. Farnum’s International Circus of the Stars. Aku meronta-ronta dan menjerit-jerit. Aku mencoba mengunci diri dalam kamarku.

Tetapi Mom dan Dad menarikku ke mobil. “Ini akan menyembuhkan masalah badutmu,” kata Mom.

“Kau tahu itu,” Dad bersikeras. “Badut itu lucu. Semua orang menyukai badut. Kau akan tahu.”

Kami duduk di deretan depan di tenda sirkus itu. Kusilangkan kedua lenganku erat-erat di depanku dan aku menonton aksi sirkus itu. Kukertakkan gigiku sampai rahangku ngilu. Aku sangat takut….

Ketika badut-badut itu terantuk-antuk dan terpental-pental memasuki arena, aku mencengkeram lengan kursiku. Tanganku dingin dan berkeringat.

Musik badut yang konyol itu terdengar mengalun di tenda itu. Badut-badut itu meniup trompet dan peluit. Mereka berlari ngengelilingi arena dalam putaran-putaran besar, sepatu-sepatu besar itu terdengar berisik menginjak serbuk gergaji.

Badut kami memerlukan seorang SUKARELAWAN!

Suara si pembawa acara menggelegar lewat speaker.

Kami memerlukan seorang KORBAN dari penonton!

Sebelum aku sempat sembunyi, seorang badut tinggi kurus dengan rambut ijuk kuning dan dasi kupu-kupu biru besar sekali menagkap kedua lenganku dan mengangkatku masuk ke arena.

Kupejamkan mataku saat lampu sorot menyinariku. Aku nyaris tak bisa mendengar sorakan penonton, karena tertutup debar jantungku sendiri.

“Nggaaaaaak,” erangku. “Nggak mau. Pilih orang lain! Jangan aku!”

Aku mencoba memanjat keluar arena, kembali ke kursiku. Tapi badut berambut kuning itu memutarku. Ia mendorong setangkai bunga aster ke mukaku dan menyemprotku dengan air mancur dingin.

Kudengar tawa dan sorakan. Napasku sesak. “Jangan aku…” Aku lemas, tapi badut itu menarikku ke dalam pertunjukan itu.

Empat badut mengelilingiku. Mereka mulai mengerjaiku dengan sepatu-sepatu besar. Sepatu itu sungguhan. Badut-badut itu melontarkan sepatu-sepatu mereka ke kepalaku dan menyodokkannya ke perutku sampai aku terjengkang.

“Hey, tunggu! Sakit!” Aku menahan napas.

Penonton tertawa gemuruh. Badut-badut itu menumpahkan seember potongan kertas kecil-kecil ke kepalaku. Lalu mereka menamparku dengan lukisan berwarna cerah berukuran 60 kali 120 senti.

“Owwww!”

Papan itu kayu sungguhan—bukan palsu. Plak. Plak. Mereka menampar punggungku, bahuku. Rasa nyeri menjalari tubuhku. Kuangkat kedua tanganku untuk melindungi kepalaku.

Penonton bersorak dan tertawa, tapi ini tak lucu. Mereka sungguh-sungguh mencoba menyakitiku!

Mereka menjegal kakiku, mendorong wajahku ke ember yang berisi kotoran lengket dan menjijikkan. Mereka menempeleng kepalaku dengan slang kebakaran dan menyuruhku menerobos lingkaran api.

Semuanya sungguhan. Mereka tidak berpura-pura. Mereka menamparku, memukulku, menjegal kakiku sampai tubuhku berdenyut-denyut kesakitan.

Sepanjang waktu itu para penonton tertawa dan menyoraki badut-badut itu.

Akhirnya pertunjukan itu selesai. Sambil meniup peluit dan trompet, serta melambai-lambai kepada para penonton, badut-badut itu lari cekikikan sambil meninggalkan arena.

“Ampun…” Aku pusing, napasku tersengal-sengal. “Ampun, tolonglah aku…. Tolong kembalikan aku ke tempat dudukku.”

Dengan ketakutan aku melihat keempat badut itu berlari keluar lagi dan mengelilingiku. Dua dari mereka menarik lenganku ke belakang. Mereka mengangkatku dari tanah dan membawaku keluar dari arena sementara para penonton melanjutkan sorak-sorai mereka.

“Ampun… lepaskan aku! Lepaskan!” Aku berusaha berteriak. Tapi salah satu badut membekapkan sarung tangannya ke mulutku.

Dengan panik dan ketakutan aku menyambar hidung merahnya yang menggelembung. Kurenggut kerah kerutnya yang kuning terang itu. Lalu, dengan mengerahkan seluruh tenaga, aku berhasil melepaskan diri sejenak. Aku berbalik menyingkir dari mereka, setengah mati ingin kembali ke tempat dudukku.

Tapi dengan cepat para badut itu mengepungku. Aku menatap senyum-senyum lukisan yang menyeringai samar-samar. Dan di atas senyum-senyum itu mata mereka pucat dan kejam.

Musik sirkus menelan teriakanku ketika mereka menghelaku ke dalam tenda gelap  dan kecil sarta menutup pintunya.

Mereka mendorongku ke kursi kayu dan mengikatku dengan tali besar. “Bisa-bisa kau mati ketawa!” kata badut yang gemuk dan botak itu.

Lalu mereka semua menyanyikan bersama-sama, “Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

Mereka mengeluarkan bulu-bulu merah dan kuning serta melambai-lambaikannya padaku. “Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

“Kenapa kalian lakukan itu kepadaku?” jeritku. Kenapa? Katakan padaku!”

Mereka berhenti bernyanyi. “Karena kau takut kami,” sahut si badut gemuk. “Karena kau tahu rahasia kami!

Kau tahu kami tak lucu,” kata badut yang tinggi kurus dengan telinga merah besar. “Kau tahu kami mengerikan dan jahat.”

“Kami harus mencari anak-anak yang takut kami, anak-anak yang tahu rahasia kami,” kata si badut gendut. “Kami harus menghentkan mereka. Kami tak bisa membiarkan rahasia kami terbongkar.”

“Tapi kenapa kalian melakukannya?” tanyaku, suaraku melengking dan bergetar. “Kenapa berpura-pura lucu padahal yang ingin kalian lakukan cuma menakut-nakuti anak-anak?”

Si badut kurus mengedip padaku. “Kenapa tidak?” katanya.

“Ya, Kenapa tidak?” sergah si badut gendut. “Ini menyenangkan sekali. Dan kami dibayar untuk melakukannya!”

“Beberapa anak memang pintar,” si badut kurus menambahkan. “Mereka tahu mereka seharusnya ketakutan. Tapi orangtua mereka selalu mencoba menyakinkan mereka bahwa mereka tak seharusnya begitu! Memang kacau!”

Semua badut itu tertawa.

Ketika mereka berbicara, aku berusaha melepaskan diri. Tapi ikatannya sangat erat. Aku terperangkap.

Kutelan ludahku. Keringat membasahi keningku. Kusadari riwayatku akan segera berakhir.

“Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!” Mereka mulai menyanyi lagi, mengitariku, perut-perut mereka bergoyang-goyang, sepatu-sepatu besar mereka beketeplok di lantai tenda.

Lalu mereka menurunkan bulu-bulu mereka dan mulai menggelitikku. Mukaku. Pipiku. Bawah daguku.

“Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

“Jangan! Ampun!” aku memohon-mohon, tali yang mengikatku mengencang. “Aku takkan memberitahu siapa pun! Aku takkan bilang! Ampun…”

Mereka menggelitiki keningku. Menggelitiki ketiakku. Menggelitiki perutku.

Dan aku mati.

Aku mati ketawa.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA”

~

Tentu saja, aku tidak sungguh-sungguh mati ketawa. Sambil tersedak-sedak, terbatuk-batuk, dan megap-megap, aku membuat kesepakatan dengan mereka.

Jika tak bisa memukul mereka, turuti saja mereka.

Sulit dipercaya, tapi kini sudah sepuluh tahun aku bekerja di sirkus. Aku adalah bintang besar sirkus itu, gambarku selalu muncul pada seluruh poster dan papan reklamenya. Semua orang mengenalku dengan Mo-Mo.

Mo-Mo si Badut. Itulah aku.

Tentu saja aku tak takut badut lagi.

Tapi masih banyak anak yang takut badut.

Dan mereka harus dihentikan.

Ketika kami berlari keluar memasuki arena sirkus, akulah yang memilih sukarelawan dari antara para penonton.

Aku mencari anak laki-laki atau anak perempuan yang tampaknya paling ketakutan. Aku mengamati wajah mereka, mata mereka. Aku bisa tahu apakah mereka takut badut.

Kupilih anak-anak yang paling takut.

Lalu kusemprot air ke muka mereka, kujegal kaki mereka, kudorong mereka ke dalam tong, kutampar mereka dengan ikan karet, lalu kupukul, kugampar, kutempeleng kepala mereka, kujatuhkan mereka ke tanah, dan kularikan mereka dengan naik pikup.

Lucu, hah?”

Larut malam setelah sirkus berakhir dan semua orang pulang, kami para badut duduk berkumpul di dalam trailer kami dan bercakap-cakap. Kami membicarakan hal-hal yang jahat dan kejam yang kami lakukan pada anak-anak—dan bagaimana semua orang tertawa dan bertepuk tangan dan mengira itu bagus sekali. Sejauh ini kami bisa menjaga rahasia kami.

Dan sekarang karena aku telah menceritakan padamu kisah ini, KAU tak bakalan menyebarkannya, kan?

Karena kau akan kuberitahu lagi satu rahasia :

Bisa-bisa kau mati katawa.