Pages

Minggu, 21 Agustus 2011

Takut Badut

by R.L Stine from Nightmare Hour (Indonesian version)
ditulis ulang oleh Sierra
 
Aku selalu takut badut. Aku tahu ini konyol, tapi aku tak berdaya. Menurutku badut-badut itu tidak lucu, tapi menyeramkan.

Aku tahu bagaimana ketakutanku berawal. Aku dapat mengingatnya dengan jelas….

Waktu itu hari ulang tahun ketiga Billy Waldman. Semua anak yang diundang ke sana berumur tiga atau empat tahun.

Pada pesta ulang tahun Billy itu ada badut. Mula-mula badut itu mengadakan pertunjukan sulap. Belakangan ia mulai menyemprot muka kami dengan pistol semprotan besar. Beberapa anak tertawa, tetapi menurutku itu tidak lucu.

Aku ingat senyumnya yang cuma lukisan. Dan rambut palsunya yang merah mirip sapu. Tetapi yang paling kuingat adalah mata badut itu ketika ia mendekatiku.

Matanya tidak tertawa. Matanya tidak ramah. Di bawah makeup tebal putih itu matanya kejam.

Badut itu menyemprot kami dengan krim kocok. Lalu ia melemparkan pie ke wajah Billy. Anak-anak lain tertawa tak henti-hentinya. Tapi aku rasanya ingin menangis.

Dan sebelum aku tahu, badut itu muncul di hadapanku. Ia menggiringku ke pojok, menyodok-nyodokku dengan perut bantalnya.

Anak-anak lain melupakan Billy dan mulai menertawakan cara badut itu mendesakku ke dinding. Tapi aku sungguh-sungguh ketakutan.

“Siapa namamu?” tanya badut itu dengan suara parau yang sangat rendah.
“Chistopher,” sahutku.

Kemudian badut itu mencondongkan badan hingga dekat sekali padaku, sedemikian dekat hingga aku dapat mencium napasnya yang kecut. Dan ia berbisik, “Bisa-bisa kau mati, Nak.

Aku mengingatnya dengan jelas, bibirnya menyentuh telingaku, “Bisa-bisa kau mati, Nak. Bisa-bisa kau mati KETAWA!

Sejak hari itu aku takut badut. Kalau melihat badut di mall atau di depan tempat cuci mobil atau di restoran, aku menyingkir sejauh mungkin darinya.

Sembilan tahun kemudian aku berumur dua belas, dan aku masih bermimpi tentang badut mengerikan di pesta ulang tahun Billy Waldman itu. Aku tahu ini sinting. Tapi badut-badut tetap membuatku takut setengah mati, masih membuat jantungku berdegup tak karuan dan napasku macet di tenggorokan.

Pada Karnaval Musim Gugur middle school, aku benar-benar menyerah kalah. Sejak semula aku tak ingin pergi ke karnaval itu. Maksudku, buat apa sih ikut-ikutan permainan melemparkan cincin? Memperebutkan ikan emas? Membayar untuk mental-mental di atas trampoline? Membuat anting-anting dari kerang atau manik-manik? Membosankan.

Tapi beberapa temanku pergi, dan aku tidak punya kegiatan lain lagi. Jadi aku ikut mereka.

Aku tidak tahu di sana ada badut.

Aku melihatnya di sepanjang jalan melintasi gym. Badut itu besar dengan sepatu lemas kuning yang besar sekali, perut bantal yang bergoyang-goyang, dan tawa yang menggelegar.

Pakaiannya polka-dot merah-putih dengan kerah merah menyala. Rambutnya oranye dan jabrik, mukanya putih, hidungnya menggelembung merah, seringainya yang merah-hitam dilukis dari satu kuping ke kuping satunya.

“Chirstopher, kau mau mukamu digambari?” tanya cewek di meja kartu. “Cuma satu dolar.”

Aku tidak menjawabnya. Mataku tertuju pada badut gendut jelek itu.

Ia memencet-mencet trompet plastik kecil, mengarahkannya ke wajah anak-anak, memabrak-nabrakkan , perutnya ke anak-anak, tawanya menggelegar.

Aku berusaha menjauhan diri darinya. Tapi gang itu sangat padat dan aku terjebak.

Badut yang menyeringai itu mendatangiku dan mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang bersarung. Di bawah makeup matanya cokelat pucat. Mata yang memuakkan.

Ia menertawakanku dan meniup trompet ke telingaku. Aku berusaha menyingkir, tapi terjepit ke dinding stand permainan melempar anak panah.

Ia tertawa lagi dan mendekatkan wajahnya yang meringis ke wajahku. “Bisa-bisa kau mati, Nak,” bisiknya. Dibunyikannya trompetnya di telingaku sebelum aku bisa mengatakan sesuatu.

Bisa-bisa kau mati KETAWA!

Dan saat itulah aku benar-benar ketakutan.

Aku menjerit keras-keras, ngeri. Lalu aku lari, mendorong anak-anak yang menghalangiku, menabrak-nabrak segala benda, menjerit… menjerit.

Aku dapat merasakan tatapan semua orang tertuju padaku. Aku dapat melihat ekspresi mereka yang terkejut dan bingung. Aku dapat mendengar semua teman memanggilku.
Aku menerjang keluar dari gym.

“Christopher!”

Aku berpaling dan melihat guruku, Miss Bienstock. Ia mengejarku, rambutnya yang megar berkibaran, matanya membelalak cemas. “Christopher! Ada apa di dalam sana?”

“Badut itu,” pekikku. “Dia menakut-nakutiku!” Dia—dia akan membunuhku!”

Miss Bienstock memegang bahuku. Matanya menyipit dan bibirnya terkatup. “Kau sudah dua belas tahun. Kau tahu itu bukan sungguhan.”

“Ya, sungguh! Dia akan membunuhku! Dia akan membunuhku!” jeritku.

Ia menelepon orangtuaku. Mereka tegang dan serius menungguku saat aku sampai di rumah.

Mom menggigit bibir bawahnya. “Kita harus melakukan sesuatu untuk ini, Christopher,” katanya. “Mom dan Dad sangat mencemaskanmu.”

Dad memegang bahuku dan menunduk kepadaku. “Badut itu lucu –tidak menyeramkan,” katanya, menatapku. “Kupikir kau mulai ketakutan konyol seperti itu sejeak umur empat.”

“Bukan konyol. Badut itu… dia bilang bisa-bisa aku mati ketawa.”

“Itu karena dia lucu,” kata Mom. “Mati ketawa. Itu kan cuma ungkapan.”

“Kami harus menyembuhkanmu dari ini,” kata Dad, sambil menggeleng-geleng. “Harus.”

~
Sabtu berikutnya Mom dan Dad memaksaku pergi ke sirkus dengan mereka. Farnum’s International Circus of the Stars. Aku meronta-ronta dan menjerit-jerit. Aku mencoba mengunci diri dalam kamarku.

Tetapi Mom dan Dad menarikku ke mobil. “Ini akan menyembuhkan masalah badutmu,” kata Mom.

“Kau tahu itu,” Dad bersikeras. “Badut itu lucu. Semua orang menyukai badut. Kau akan tahu.”

Kami duduk di deretan depan di tenda sirkus itu. Kusilangkan kedua lenganku erat-erat di depanku dan aku menonton aksi sirkus itu. Kukertakkan gigiku sampai rahangku ngilu. Aku sangat takut….

Ketika badut-badut itu terantuk-antuk dan terpental-pental memasuki arena, aku mencengkeram lengan kursiku. Tanganku dingin dan berkeringat.

Musik badut yang konyol itu terdengar mengalun di tenda itu. Badut-badut itu meniup trompet dan peluit. Mereka berlari ngengelilingi arena dalam putaran-putaran besar, sepatu-sepatu besar itu terdengar berisik menginjak serbuk gergaji.

Badut kami memerlukan seorang SUKARELAWAN!

Suara si pembawa acara menggelegar lewat speaker.

Kami memerlukan seorang KORBAN dari penonton!

Sebelum aku sempat sembunyi, seorang badut tinggi kurus dengan rambut ijuk kuning dan dasi kupu-kupu biru besar sekali menagkap kedua lenganku dan mengangkatku masuk ke arena.

Kupejamkan mataku saat lampu sorot menyinariku. Aku nyaris tak bisa mendengar sorakan penonton, karena tertutup debar jantungku sendiri.

“Nggaaaaaak,” erangku. “Nggak mau. Pilih orang lain! Jangan aku!”

Aku mencoba memanjat keluar arena, kembali ke kursiku. Tapi badut berambut kuning itu memutarku. Ia mendorong setangkai bunga aster ke mukaku dan menyemprotku dengan air mancur dingin.

Kudengar tawa dan sorakan. Napasku sesak. “Jangan aku…” Aku lemas, tapi badut itu menarikku ke dalam pertunjukan itu.

Empat badut mengelilingiku. Mereka mulai mengerjaiku dengan sepatu-sepatu besar. Sepatu itu sungguhan. Badut-badut itu melontarkan sepatu-sepatu mereka ke kepalaku dan menyodokkannya ke perutku sampai aku terjengkang.

“Hey, tunggu! Sakit!” Aku menahan napas.

Penonton tertawa gemuruh. Badut-badut itu menumpahkan seember potongan kertas kecil-kecil ke kepalaku. Lalu mereka menamparku dengan lukisan berwarna cerah berukuran 60 kali 120 senti.

“Owwww!”

Papan itu kayu sungguhan—bukan palsu. Plak. Plak. Mereka menampar punggungku, bahuku. Rasa nyeri menjalari tubuhku. Kuangkat kedua tanganku untuk melindungi kepalaku.

Penonton bersorak dan tertawa, tapi ini tak lucu. Mereka sungguh-sungguh mencoba menyakitiku!

Mereka menjegal kakiku, mendorong wajahku ke ember yang berisi kotoran lengket dan menjijikkan. Mereka menempeleng kepalaku dengan slang kebakaran dan menyuruhku menerobos lingkaran api.

Semuanya sungguhan. Mereka tidak berpura-pura. Mereka menamparku, memukulku, menjegal kakiku sampai tubuhku berdenyut-denyut kesakitan.

Sepanjang waktu itu para penonton tertawa dan menyoraki badut-badut itu.

Akhirnya pertunjukan itu selesai. Sambil meniup peluit dan trompet, serta melambai-lambai kepada para penonton, badut-badut itu lari cekikikan sambil meninggalkan arena.

“Ampun…” Aku pusing, napasku tersengal-sengal. “Ampun, tolonglah aku…. Tolong kembalikan aku ke tempat dudukku.”

Dengan ketakutan aku melihat keempat badut itu berlari keluar lagi dan mengelilingiku. Dua dari mereka menarik lenganku ke belakang. Mereka mengangkatku dari tanah dan membawaku keluar dari arena sementara para penonton melanjutkan sorak-sorai mereka.

“Ampun… lepaskan aku! Lepaskan!” Aku berusaha berteriak. Tapi salah satu badut membekapkan sarung tangannya ke mulutku.

Dengan panik dan ketakutan aku menyambar hidung merahnya yang menggelembung. Kurenggut kerah kerutnya yang kuning terang itu. Lalu, dengan mengerahkan seluruh tenaga, aku berhasil melepaskan diri sejenak. Aku berbalik menyingkir dari mereka, setengah mati ingin kembali ke tempat dudukku.

Tapi dengan cepat para badut itu mengepungku. Aku menatap senyum-senyum lukisan yang menyeringai samar-samar. Dan di atas senyum-senyum itu mata mereka pucat dan kejam.

Musik sirkus menelan teriakanku ketika mereka menghelaku ke dalam tenda gelap  dan kecil sarta menutup pintunya.

Mereka mendorongku ke kursi kayu dan mengikatku dengan tali besar. “Bisa-bisa kau mati ketawa!” kata badut yang gemuk dan botak itu.

Lalu mereka semua menyanyikan bersama-sama, “Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

Mereka mengeluarkan bulu-bulu merah dan kuning serta melambai-lambaikannya padaku. “Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

“Kenapa kalian lakukan itu kepadaku?” jeritku. Kenapa? Katakan padaku!”

Mereka berhenti bernyanyi. “Karena kau takut kami,” sahut si badut gemuk. “Karena kau tahu rahasia kami!

Kau tahu kami tak lucu,” kata badut yang tinggi kurus dengan telinga merah besar. “Kau tahu kami mengerikan dan jahat.”

“Kami harus mencari anak-anak yang takut kami, anak-anak yang tahu rahasia kami,” kata si badut gendut. “Kami harus menghentkan mereka. Kami tak bisa membiarkan rahasia kami terbongkar.”

“Tapi kenapa kalian melakukannya?” tanyaku, suaraku melengking dan bergetar. “Kenapa berpura-pura lucu padahal yang ingin kalian lakukan cuma menakut-nakuti anak-anak?”

Si badut kurus mengedip padaku. “Kenapa tidak?” katanya.

“Ya, Kenapa tidak?” sergah si badut gendut. “Ini menyenangkan sekali. Dan kami dibayar untuk melakukannya!”

“Beberapa anak memang pintar,” si badut kurus menambahkan. “Mereka tahu mereka seharusnya ketakutan. Tapi orangtua mereka selalu mencoba menyakinkan mereka bahwa mereka tak seharusnya begitu! Memang kacau!”

Semua badut itu tertawa.

Ketika mereka berbicara, aku berusaha melepaskan diri. Tapi ikatannya sangat erat. Aku terperangkap.

Kutelan ludahku. Keringat membasahi keningku. Kusadari riwayatku akan segera berakhir.

“Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!” Mereka mulai menyanyi lagi, mengitariku, perut-perut mereka bergoyang-goyang, sepatu-sepatu besar mereka beketeplok di lantai tenda.

Lalu mereka menurunkan bulu-bulu mereka dan mulai menggelitikku. Mukaku. Pipiku. Bawah daguku.

“Bisa-bisa kau mati ketawa! Bisa-bisa kau mati ketawa!”

“Jangan! Ampun!” aku memohon-mohon, tali yang mengikatku mengencang. “Aku takkan memberitahu siapa pun! Aku takkan bilang! Ampun…”

Mereka menggelitiki keningku. Menggelitiki ketiakku. Menggelitiki perutku.

Dan aku mati.

Aku mati ketawa.

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA”

~

Tentu saja, aku tidak sungguh-sungguh mati ketawa. Sambil tersedak-sedak, terbatuk-batuk, dan megap-megap, aku membuat kesepakatan dengan mereka.

Jika tak bisa memukul mereka, turuti saja mereka.

Sulit dipercaya, tapi kini sudah sepuluh tahun aku bekerja di sirkus. Aku adalah bintang besar sirkus itu, gambarku selalu muncul pada seluruh poster dan papan reklamenya. Semua orang mengenalku dengan Mo-Mo.

Mo-Mo si Badut. Itulah aku.

Tentu saja aku tak takut badut lagi.

Tapi masih banyak anak yang takut badut.

Dan mereka harus dihentikan.

Ketika kami berlari keluar memasuki arena sirkus, akulah yang memilih sukarelawan dari antara para penonton.

Aku mencari anak laki-laki atau anak perempuan yang tampaknya paling ketakutan. Aku mengamati wajah mereka, mata mereka. Aku bisa tahu apakah mereka takut badut.

Kupilih anak-anak yang paling takut.

Lalu kusemprot air ke muka mereka, kujegal kaki mereka, kudorong mereka ke dalam tong, kutampar mereka dengan ikan karet, lalu kupukul, kugampar, kutempeleng kepala mereka, kujatuhkan mereka ke tanah, dan kularikan mereka dengan naik pikup.

Lucu, hah?”

Larut malam setelah sirkus berakhir dan semua orang pulang, kami para badut duduk berkumpul di dalam trailer kami dan bercakap-cakap. Kami membicarakan hal-hal yang jahat dan kejam yang kami lakukan pada anak-anak—dan bagaimana semua orang tertawa dan bertepuk tangan dan mengira itu bagus sekali. Sejauh ini kami bisa menjaga rahasia kami.

Dan sekarang karena aku telah menceritakan padamu kisah ini, KAU tak bakalan menyebarkannya, kan?

Karena kau akan kuberitahu lagi satu rahasia :

Bisa-bisa kau mati katawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar