Pages

Jumat, 29 April 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 4 & 5)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack : I Must Be Dreaming (Acoustic Version) by The Maine

[Chapter 4]

Tak ada pesan di kotak suratku seperti yang kuharapkan. Itu sedikit membuatku putus asa dan kacau. Hari Mingguku dipenuhi kegalauan karna besok adalah hari Senin, khawatir kalao Sam tidak baik-baik saja, dan rasa malu karna terus memikirkannya. KENAPA AKU HARUS PERDULI? Ugh. Semua ini hanya membuatku semakin kesal.


[Chapter 5]

Akhirnya hari senin tiba. Bukan karna aku sangat bersemangat atau apa. Ini hanya karna pertanyaan yang mengusik otakku sepanjang malam. Karna itu aku terbangun dengan lesu dan muka masam. Langit terlihat mendung yang membuat mood ku tidak terlalu bagus hari ini.

Aku cenderung berpakaian sesuai bagaimana yang sedang kurasakan jadi pakaianku hari ini benar-benar boring. Kaos abu-abu, celana hitam, dan hoodie hitam. Sekilas aku nampak seperti emo atau gothic atau depresi yang sedikit banyak sedang kurasakan kali ini.

Mom coba menyembunyikan perhatiannya ketika aku turun kebawah dengan penampilan seperti ini. Aku mengambil sekotak sereal dan menuangkan susu diatasnya. Aku sedikit membenci sereal yang menyebabkan susunya menjadi seluruhnya manis. Setelah membuangnya ke tempat sampah, aku menyambar tas ku dan pergi tanpa berkata bye pada mom.

Sekolah dipenuhi dengan cewek-cewek yang OMG dan cowok-cowok tukang pamer yang mengendarai skateboardnya. Tak ada Sam. Apakah dia absent? Sebagian otakku merasa lega dan sebagian lagi merasa kecewa.

“Hey Reyna,” sebuah suara familiar menyapaku.

Aku berbalik dan dia disana. Semua pertanyaanku kemarin membanjiri mulutku tapi aku berusaha menahannya.

“Uhh… hey.”

Dia tersenyum, tapi bukan senyum ultra cerah seperti biasanya. Lebih kepada senyum maaf-karena-pertengkaran-kemarin.

“Kamu mungkin punya serangkaian pertanyaan untukku kan?” tabaknya.

Taruhanmu benar, kataku dalam hati tapi yang keluar malah,

“Yeah, sepertinya.”

“Aku mengijinkanmu bertanya satu pertanyaan. Satu saja, ‘key?” katanya, muram.

Dengan segera aku menentukan pilihanku. Aku memutuskan untuk memulainya dengan apa yang ku kupikir paling penting ditanyakan.

“Siapa itu Mark?”

Okay, mungkin ini pertanyaan yang cukup signifikan. Tapi mulutku tergelitik untuk bertanya. Sam menghela nafas panjang sebelum memulai.

“Aku mengenalnya sejak di tingkat pertama. Dia dulu sahabat baikku. Tapi dia mengkhianatiku. Aku tahu ini terdengar sangat dramatis, tapi aku benar-benar tidak menyukai itu. Aku dulu punya seekor anjing, dia adalah sahabat baikku karna dulu aku sangat kesepian. Ruffs mati karna kangker setahun yang lalu. Aku pergi ke Mark, tapi dia sama sekali tidak merasa prihatin. Dia hanya menertawakannya dan berkata anjingku pasti akan mati cepat atau lambat. Menyedihkan, huh? Bagiku untuk merasa marah itu masih…”

Itu menyedihkan. Itu menyedihkan dan membuktikan bahwa dia sebenarnya lebih innocent dari yang pernah kukira. Ceritanya membuatku merasa bersalah tentang semua pikiran buruk yang pernah kupunya tentangnya.

“Sam…”

Dia terlihat seperti akan menangis dan itu hal terakhir yang kulihat sebelum bel berbunyi. Aku orang yang jahat. Lari ke kelas saat seorang cowok butuh dihibur. Tapi tak ada yang bisa kukatakan.

Balajar sangat jauh dari pikiranku selama jam pelajaran, satu sampai empat. Alih-alih membeli makan siang aku membeli snack dari mesin penjual snack. Sebotol Gatorade dan sekantung Doritos. Memegangnya dengan erat aku pergi mencari Sam. Dia ditempat pertama kali aku melihatnya, tempat dimana tak ada siswa lain disana.

“Hey,” aku menyapa dengan kereciaan palsu.

“Hey,” dia membalas, tidak terlalu bersemangat.

Aku duduk disebelahnya dan meneguk minumanku. Kuharap dia tidak kecewa bercerita padaku tentang anjingnya. Aku punya banyak sekali pertanyaan yang butuh dijawab olehnya. Tapi kupikir satu sudah cukup untuk hari ini. Ini cukup membuatku tidak nyaman, duduk diam disebelahnya.

“Benar-benar bagus jika kamu sangat mencintai anjingmu,” kataku, “Dia sangat egois melakukan hal itu.”

“Aku tidak butuh simpati hanya karna kamu mengasihaniku.”

Aku mengasihaninya. Sungguh, ini bukan simpati karena aku belum pernah memiliki peliharaan sebelumnya. Mom bukanlah penggemar peliharaan di rumah. Aku hanya tidak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Aku bodoh dalam hal ‘membuat orang merasa lebih baik’. Ugh! Apa yang harusnya kukatakan?

“Aku tak pernah benar-benar punya sahabat…”

Wow. Itu tadi hal terhebat untuk dikatakan, Reyna. Cara untuk membuat seseorang merasa lebih baik.

“Er, Aku harus pergi ke toilet. Bye,” kataku.

Menimbang dari pengalamanku, apa yang orang butuhkan adalah waktu beberapa saat untuk sendiri. Well, itu bukan alasanku pergi meninggalkannya, tapi aku akan menganggapnya seperti itu. Di toilet aku mulai panik. Aku super nervous dan baru menyadari tanganku berkeringat seperti orang gila saat itu terjadi. Aku mencoba mengelapnya pada jinsku tapi kelihatannya mereka semakin banyak berkeringat.

Terima kasih Tuhan untuk bellnya. Aku akan merasa sangat bahagia bila pelajaran selanjutkan bukanlah olah raga. Untuk menghilangkan beban pikiranku, aku sebetulnya mencoba olah raga. Aku berusaha mendapatkan bola dan mengejutkan dengan membuat gol. Berkeringat dan kelalahan, aku pergi mengikiti pelajaran ke enam. Memperhatikan pelajaran matematika adalah hal mustahil bagiku jadi akhirnya aku hanya mencoret-coret buku selama jam palajaran berlangsung.

Ketika meninggalkan kelas, hujan turun. Sial, aku tidak membawa payung. Dengan tudung jaketku, aku berjalan meninggalkan sekolah, menundukkan wajah sehingga dia tidak akan menyadari keberadaanku. Tak seorangpun menepuk pundakku atau muncul begitu saja dari suatu tempat. Huh? Mungkin dia tidak mau bicara dengan orang membosankan sepertiku sama sekali, aku menyimpulkan. Hujan menyusup hingga ke hoodie yang kukenakan dan aku mulai menggigil.

“Butuh tambahan jaket?”

“Oh! Gee, Sam, kamu tidak harus melakukannya sepanjang waktu, kau tahu!” kataku. Kutebak samaranku tidaklah cukup baik.

Dia memakaikan jaketnya di pundakku dan aku mengalihkan pandangan untuk menjaganya tidak melihat pipiku yang memerah.

“Aku tidak butuh ini. Plus, tidak kah kamu merasa kedinginan?”

“Tidak, ini hanya hujan gerimis dan kamu menggigil kedinginan. Aku baik-baik saja.”

Rambutnya basah dan menempel pada wajahnya dan mata kanannya tertutupi seluruhnya. Kami telah berada di depan rumahku.

“Um, ini jaketmu. Thanks, Uh bye,” gumamku, “Cuacanya dingin”

Tiba-tiba lengannya menyelimutiku dalam pelukan erat.

“Lebih hangat sekarang?” tanyanya. Aku dapat melihatnya menyeringai. Mata birunya berkedip.

“Ahh! Apa yang kamu lakukan!?” aku berdecit, “Apa yang sedang kamu pikirkan!?”

Cukup jelas, dia tertawa menyeringai dan aku ingin menonjok wajahnya.

“Sampai jumpa besok, Reyna.”

Dia berjalan releks seakan-akan tak ada apapun yang terjadi. Sementara itu aku berlari ke dalam rumah dan membanting pintu. Berhasil dengan sukses. Ada sebuah notes di lantai memberi tahu bahwa mom pergi kesuatu tempat dan akan kembali segera. Aku hampir tidak memperhatikanya dan mulai bersikap panik lagi. Gila. Cowok itu benar-benar tidak normal.

Tapi ada sesuatu yang lain melebihi kemarahan dan rasa malu yang kurasakan.  Dan perasaan itu melontarkanku seluruhnya. Rasanya.. tidak buruk dan itu tidak bagus.

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 3)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack : This Love by Maroon 5

Rasanya menyenangkan sekali hari ini aku tidak ada sekolah. Aku melompat dari atas tempat tidur dan pergi keluar mengambil koran untuk mom ketika kusadari ada sebuah amplop terselip di kotak surat. Sesaat setelah aku melihat nama yang tertera di amplop aku melupakan koran yang hendak kuambil. Kenapa? Kenapa ini harus dari dia? Kuputuskan untuk tidak membukannya dan kembali ke kamar untuk menyimpan amplop itu di laci. Untuk mengalihkan pikiranku aku segera mengeledah tas dan mengeluarkan buku matematika.



Walaupun begitu, lama-lama aku menjadi bosan dan kembali memikirkan apa yang ada didalam amplop tersebut. Kira-kira apa yang dia mau? Rasa penasaran mengalahkanku, aku pun segera membuka laci dan mengeluarkan isi surat dalam amplop. Sebuah catatan tertera di kertas.

Datang ke taman jam 10. –S.R.

Aku menyesal setelah membaca surat itu. Bisa saja itu dari orang lain, pikirku. Aku mencoba memikirkan seseorang yang kukenal dengan inisial S.R tapi tak satupun yang terlintas. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 8:30. Well, ini bukan semacam kencan atau apapun. Aku mencoba menyakinkan diriku namun sayang tidak berhasil.

“Sayang, apa kamu sudah bangun?” mom memanggil dari dapur.

“Yeah! Oh, aku akan pergi mengunjungi teman pukul 10.” Kataku, tersenyum canggung ketika menyebut kata “teman.”

“Okay, sayang.”

Lebih baik aku menganggap ini bukan sebagai kencan. Di lemari bajuku terdapat banyak sekali baju, tapi tak satupun yang ingin kukenakan. Huh, aku membuang sepasang baju yang baru kupilih. Akhirnya ketetapkan memakai kaos warna kuning pudar dari Abercrombie dengan paduan celana jeans biru laut dan jaket berwarna biru. Bagus, aku kelihatan ok.

Pukul 9. Aku mulai panic, tapi aku berusaha menyembunyikannya agar mom tidak curiga. Kenapa waktu cepat sekali berjalan? Tic tic tic. Jam menyiksaku sehingga kuputuskan untuk duduk saja sambil menonton TV. Aku sama sekali tidak memperhatikan Spongebob di layar TV, yang kulakukan hanya menatap kosong ke jam digital di DVD player.

“Reyna, aku akan pergi ke supermarket lalu mengunjungi nenek. Kamu lebih baik pulang sebelum jam 9.” Mom berkata sambil berjalan ke ruang tamu.
“Tentu mom.”

Mom pun pergi, tepat pukul 10:00. Tunggu, pukul 10:00? Astaga sudah jam 10! Kuraih handphone ku dan mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah. Segarnya udara pagi membelai wajakku. Mengejutkan sekali tidak melihatnya keluar dari samping rumah. Kulihat taman masih sepi, bahkan oleh kicau burung sekalipin. Aku mulai tak yakin kalau dia datang. Maksudku, di catatan tidak tertulis hari Sabtu. Mungkin maksudnya bisa saja hari Minggu atau hari yang lain. Ketika aku masih merenungkan hal tersebut, apa yang paling kuduga-duga selama ini terjadi dan aku masih saja kaget setengah mati.    

“Boo!” dia berseru melompat dari samping pohon dan membuatkku terperanga.

Aku hampir saja pingsan. Jantungku berdegup kencang seperti seperti hampir copot. Dia menggandeng tanganku dan mulai berjalan, mengayunkan tanganku. Tanganku mulai berkeringat. Kuharap dia tidak mengetahuinya.

“Jadi, kau mengundangku di hari Sabtu. Apa maumu?” tanyaku.

“Aku tak tahu. Kurasa aku hanya mau jalan-jalan saja dengan seseorang.” Dia menjawab asal-asalan.

“Yeah, seseorang. Kenapa harus aku?”

Kali ini wajahnya memerah. Whoa, aneh sekali melihat cowok sepertinya malu-malu seperti itu. Menggemaskan. Tunggu. Aku tidak barusan berpikir seperti itu. Ah ha. Aku hanya…berpikir sesaat.

“Kukira… Aku ingin jalan-jalan denganmu…”

Rasanya sangat canggung sekali berada disampingnya saat ini. Kami berdua terdiam dan aku hanya memandangnya.

“Karena kamu itu cewek aneh!” katanya berusaha menghilangkan kecanggungan.

“Aku, aneh? Kamu lebih aneh!”

Dia tertawa dan tiba-tiba bertanya apakah aku mau melihat rumahnya. Padahal baru tiga hari ini aku berjumpa dengannya dan dia sudah berani mengajakku berkunjung ke rumahnya. Well, ini tidak akan menyakitkan, kan? Sebenarnya ini bisa saja menyakitkan. Tapi sesuatu dalam diri cowok ini membuatku ingin tahu lebih banyak.

“Boleh,” kata ku, berusaha bersikap tenang.

Seutas senyum terpancar diwajahnya dan dia segera menyeretku sepanjang jalan.

“Ini dia”

Rumahnya cukup besar. Lebih besar dari rumahku. Rumput dihalaman rumahnya digunting dengan rapi dan pintu rumahnya yang besar terbuat dari kayu. Rumahnya dicat dengan warna yang bagus yang mengingatkanku akan warna gurun.

“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kamu akan masuk kan?” Tanyanya

Masuk? Aku tidak berpikir seperti itu. Tapi rasanya tidak sopan untuk berkata tidak jadi aku mengikitinya masuk kedalam rumah. Ruang tamunya besar dengan ubin yang cukup simple namun memiliki perabotan yang unik seperti sofa yang terlihat tidak biasa, dua kursi dengan sandaran tangan yang lembut, sebuah tungku api antik, dan lemari kaca yang berseni. Aku tidak menyangka rumahnya akan sangat menakjubkan seperti ini.

“Wow,”

Kamu tahu huh? Ibu ku suka barang-barang seperti ini. Kamu mau sesuatu?”

Dia membuatku super nervous. Ini aneh sekali. Rasanya aku tidak pantas berada disini. Maksudku, kami bukan… sepasang kekasih. Kamu tidak bisa begitu saja jatuh cinta setelah dua setengah hari. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Terutama pada kasus ini. Aku baru menyadari Sam sedang memandangku dengan tatapan bingung diwajahnya.

“Oh, Um. Yeah, maksudku.. uh. Aku tidak butuh apa-apa.” Aku tergagap. “Well, uh, rumah yang bagus. Aku harus menyelesaikan PR ku jadi yeah. Bye.”

Lebih baik pulang kerumah dan berpikir. Rasa nervous ini baru bagiku. Aku sama sekali belum pernah memiliki pacar atau teman cowok.

“Kamu bisa menyelesaikan PR mu di hari Sabtu,” katanya. Kerlipan misterius lagi-lagi terpancar dari matanya.

Sialan, apa yang akan dia lakukan kepadaku? Tidak, tidak, aku coba meyakinkan diriku. Aku menghembuskan nafas lega ketika dia menyarankan,

“Ayo pergi keluar.”

“Yeah, tentu.”

Aku menjejalkan tanganku kedalam kantong baju sehingga dia tidak akan dapat menggandeng tanganku lagi. Tanganku berkeringat dengan deras.

“Hey, Sam.” Sebuah suara tak dikenal menyapa dari belakang. Kepala Sam menoleh bersamaan denganku. Seorang cowok seumuran dengan kami berjalan menghampiri. Kupikir aku mendengar Sam mengumpat perlahan.
“Aku bilang hey, Sam. Dan kulihat kamu bersama seorang cewek.”  kata cowok itu, berdiri didepanku.

“Pergi, mark!”  kata Sam menggertakkan giginya.

Apa yang terjadi? Siapa cowok ini? Terlalu banyak pertanyaan!

“Kulihat kamu masih memiliki sifat yang sama seperti dulu, Sammy. Dan siapa cewek ini?”

“Diam, Mark. Dan jangan panggil aku Sammy.”

Cowok itu berusaha meraihku dan aku reflek menghindar. Ew

“Siapa namamu?” tanyanya. Mengalihkan perhatiannya padaku sekarang.

“Diam dan pergi saja atau kubuat kau mencolokkan tanganmu sendiri ke hidungmu.” gertak Sam.

“Siapa namamu?” Mark mengulang lagi pertanyaannya, mengabaikan Sam yang sedang marah.

“Reyna.”

Mark berusaha menyentuhku tapi kali ini Sam menghentikannya. Please jangan terjadi pertumpahan darah. Aku sedikit memundurkan langkah.

“Kamu mau datang kerumah bersamaku, Reyna?” ejek Mark.

Tiba-tiba tangan Sam sudah meninju hidung Mark dan hidungnya mulai mengeluarkan darah. Bagus sekali Sam!

“Geez, Sammy. Aku hanya bercanda.” Mark berkata sambil mengelap hidungnya.

“Pergi!”

“Baiklah, Sam.”

Mark berjalan pergi dan meninggalkan kami dibalik punggungnya. Dumbo! Aku memandang wajah Sam. Matanya berkobar api kemarahan dan membuatku ketakutan.

“Siapa dia, Sam?”

“Sampai jumpa di sekolah, Reyna.” Sam menjawab, berjalan kembali kerumahnya.

Aku tidak susah-susah menghentikannya. Kepalaku pusing oleh pertanyaan tentang Sam dan apakah dia baik-baik saja. Tapi pertanyaan yang paling besar ialah : Kenapa aku perduli sekali akan hal itu?

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 2)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack :  Shake It by Rediscover

Hari berikutnya ialah hari Jum’at. Aku tak tahu kenapa, tapi sekolah-sekolah disekitar sini tak pernah mulai pada hari Senin. Aku membungkus badanku dengan pakaianku yang paling nyaman, mencomot beberapa kue muffin dan berlari menuju udara musim gugur yang sejuk. Aku melihat banyak teman sekelasku berjalan di jalan yang sama denganku. Aku menghembuskan nafas lega ketika aku tidak melihatnya dimanapun.

Rumahku hanya berjarak lima menit dari sekolah jadi aku sudah sampai disana sebelum aku menyadarinya. Dan begitupun dengan dia. Dia sedang menanti di depan pintu masuk sekolah. Aku punya dorongan kuat untuk berlari pulang dan berpura-pura sedang sekit.

“Hey, Reyna.”

Aku mencoba berjalan melewatinya tapi dia menghentikanku.

“Apa yang kamu mau dariku , Sam?” tanyaku merasa terganggu. Karna suatu alasan, namanya menggelitik lidahku. Aneh!

“Dapatkah aku setidaknya mendapat salam? Persetan, apa aku melakukan kesalahan?” balas Sam dengan marah.

Kamu mencoba menyayat dirimu didepanku, aku ingin balas berkata seperti itu, tapi yang keluar malah,

“Jaga ucapanmu!”

Dan dia pun menertawakanku. Balasan yang bagus, Reyna. Wajahku berubah sangat merah dan aku berusahauntuk kabur. Lagi-lagi dia menertawakanku, pandangan matanya masih menunjukkan kalau dia sedang tertawa.

“Kamu nampak seperti gadis baik-baik.”

“Lalu kenapa? Jika kamu tidak suka mungkin seharusnya kamu tidak berbicara denganku!” kataku sambil berpaling sekali lagi walau aku tahu itu percuma.

“Aku tak bilang kalau aku tidak suka.”

Bel pun berbunyi. Yes! Aku tidak tahu bagaimana membalas komentarnya, jadi aku gunakan kesempatan ini untuk lari. Sementara ini aku aman selama pelajaran sejarah.

“Hey guys! Siap untuk hari kedua kalian di sekolah?” tanya Mr. Ferry dengan bersemangat.

“Have a nice weekend!”

Woah. Palajaran sejarah sudah selesai? Untunglah aku sudah mengatur rencana untuk menghindarinya dengan menunggu selama jam pergantian pelajaran di kelasku selanjutnya. Tapi ditiga kelas selanjutnya kulewati dengan hanya melamun tanpa henti. Dengan cepat-cepat aku mencatat PR-ku dan berlari keluar kelas. Hari ini aku membawa makan siang dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang sama seperti kemarin.

Kontras dengan pagi ini, siang ini sangat panas. Aku mengikatkan jaketku di pinggang kemudian duduk. Aku membuat sendiri makan siangku dan itu biasanya terdiri dari sandwich, jus, dan makanan ringan. Hari ini aku membawa sekantong kecil cheetos, ham, dan cheese sandwich, dan juga Sunkist.

“Ketemu kau!”

“Oh astaga!”

Wajahnya berada satu inci dariku dan dia menepuk hidungku dengan ringan.

“Apa aku menakutimu?”

“Tidak,” kataku bohong.

Apa dia harus melakukan itu setiap waktu? Aku memang tipe orang yang selalu jatuh pada lelucon yang sama berkali-kali. Aku mengigit sandwichku dengan diam dan mengunyahnya perlahan.

“Apa kamu keberatan jika aku menyayat diriku disini?”

“Jangan!” aku berteriak.

“Aku hanya bercanda,” katanya sambil tertawa.

“Sebagai seorang emo, kamu terlalu… ceria,” komentarku.

Dia melihat kearahku, mata birunya membuatku membeku seketika.

“Jadi kamu masih berpikir aku ini emo, ya?”

Aku merenungkan penampilannya yang serba hitam dan tentang “kejadian” dari hari kemarin.

“Yeah, sepertinya. Kamu mencoba menyayat tanganmu, ingat?”

“Apa itu mengganggumu? Tanyanya.

Well, mungkin aku akan dihantui selama satu atau dua bulan dengan kekhawatiran kalau-kalau dia akan bunuh diri. Tapi, kenapa dia harus perduli kalau aku memperdulikan hal itu?

“Mungkin,” adalah jawabanku yang sangat cemerlang.

Dia nampak memikirkan tentang jawabanku. Apa yang perlu dipikirkan tentang hal itu?

“Apakah pernah terlintas dipikiranmu kalau aku tidak melakukan hal itu karna aku mau? Itu semacam… Aku harus melakukannya…”

“Kamu harus bunuh diri? Tidak, itu sama sekali tidak benar. Tidak mungkin, memangnya ada alasan bagimu untuk bunuh diri kecuali kamu telah membunuh orang lain? Ada orang-orang yang menyayangimu dan kamu akan membuat mereka terluka. Apa hal itu pernah terpikir olehmu?”

“Akankah kamu menjadi salah satunya?”

“Hah?”

“Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri?”

Sama sekali tidak terduga. Tepat saat bel berbunyi aku menjawab dengan bergurau,

“Yeah, mungkin. Tapi aku tidak mau melihatnya.

Aku menepuk hidungnya dan berjalan pergi sambil menggenggam erat tempat makanku, rasannya sakit. Aku mencoba tidak memikirkan apa yang barusan aku katakan dan aku lakukan serta perasaan tidak biasa yang menjalar di dadaku.

Aku merasa kurang enak badan selama pelajaran olahraga. Perutku rasanya seperti diaduk karna rasa cemas. Well, mungkin ini masuk akal karena pertanyaannya masih mengusik pikiranku. Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri? Apakah aku akan sakit?

Berpikir terlalu dalam tentang pertanyaan itu membuatku gila. Aku tidak bisa memikirkan tentang jawabannya sehingga itu hanya berakhir menjadi PR untukku yang bahkan tak pernah bisa kumengerti. PR selama akhir pekan!? Astaga, aku benci kelas yang satu ini.

Kali ini aku tidak terlalu terkejut mengetahui Sam sedang membuntutiku pulang ke rumah. Mengikutiku tanpa bicaradan hanya pura-pura bersenandung.

“Okay,” aku memecah kesunyian, “Kenapa kamu membuntutiku?”

Matanya nampak pura-pura tak berdosa ketika ia menjawab,

“Memangnya aku terlihat sedang membuntutimu?”

“Well, kamu berjalan disebelahku tanpa berkata apapun!”

“Itu yang namanya membuntuti?”

“Ugh!”

Secara dramatis aku memalingkan muka darinya dan mulai mempercepat langkah atau lebih tepatnya setengah berlari tapi kakinya yang panjang tak membiarkannya jauh lebih dari satu langkah dariku. Dan kemudian aku mulai berlari kencang. Syukurlah rumahku sudah dekat.

“Bye”

Dia menggenggam tanganku, erat.

“Kamu pikir kamu mau kemana?”

 “Uhh, ke rumah.”

“Tidak, kamu tidak akan.”

Dia pun mulai menarikku menjauh dari rumah. No, no, NO. Rumahku! Aku mencoba berontak dari cengkramannya, tapi seperti yang kukatakan aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Dia menyeretku sepanjang jalan menuju taman tua, didepan sebuah pohon besar. Ketika aku masih kecil aku pernah jatuh dari pohon itu dan sekarang aku takut akan ketinggian dan juga memanjat pohon.

Sam duduk bersandar pada pohon dan memandangku lekat.

“Duduk!”

“Aku bukan anjing.”

Dia merenggut tanganku sehingga aku duduk dengan wajah kesal.

Dia menyentuh pipiku yang dengan segera berubah merah seakan-akan tangannya adalah besi yang panas.

Kemudian dia  mulai mendekatkan wajahnya kearahku sambil menutup mata. Astaga! Apa yang dia lakukan!? Aku harus pergi! Aku berdiri dan berlari menjauh dan baru menengok kearahnya ketika sudah dalam jarak aman.

Sam duduk disana, tersenyum nakal sambil mengedipkan matanya yang terlihat misterius.

Kenapa? Apa yang salah dengan cowok itu?

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 1)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack : Safe Ride by Cute Is What We Aim For

Aku duduk di kursiku melihat orang-orang ngobrol dengan teman mereka. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku punya teman disini. Suara bel memecah kesunyian, dan para murid mulai memenuhi kelas mereka masing-masing. Dengan hati-hati aku memasuki kelas 2B menunggu guru pelajaran jam pertama datang.

Guru sejarahku seorang pria yang terlihat agak aneh dengan rambut pirang keputihan. Dia memakai dasi berbentuk tuts piano dan memiliki kumis lebat. Dengan segera dia mulai membagikan kertas yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KELAS SEJARAH” dalam huruf tebal. Disitu terdapat semua peraturan kelas seperti biasa dan peralatan apa saja yang perlu kita bawa.

“Oh ya! Ngomong-ngomong nama saya Mr. Ferry!”

Sisa waktu selanjutnya berlalu dengan tidak begitu jelas. Aku hanya menyadari kalau kelas sudah selesai ketika bel berbunyi. Dengan segera aku mengemasi barang-barangku dan meninggalkan ruangan yang sudah kosong kecuali oleh guru. Aku memiliki waktu sepuluh menit untuk istirahat jadi aku melihat-liat sambil mencari tempat untuk duduk. Kemudian aku melihatnya. Dia bersandar pada dinding,  jauh dari orang-orang. Sangat jauh sehingga aku hampir tidak bisa melihat sosoknya dengan jelas. Penasaran, aku berjalan mendekat dan memastikan agar tidak terlihat. Aku terkejut ketika melihat apa yang sedang dia lakukan. Ada sebuah pisau ditangannya dan dia terlihat ragu-ragu apakah ia akan menyayatkan pisau itu pada tangannya atau tidak.

“Apa yang sedang kamu lakukan?” aku keceplosan bicara sebelum aku dapat menahannya.

Dia menatapku dengan mata birunya yang berpiercing dan pandangan mata dingin yang membuatku terkesiap.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyanya, matanya berkobar.

“Jangan menyayat tanganmu. Itu pasti akan sakit.” Aku menjawab dengan bodoh.

“Pergi!”

Sebenarnya aku ingin sekali pergi tapi aku tidak dapat beranjak. Aku menjangkau dirinya dengan tanganku tanpa sebab namun kemudian membatalkannya dengan cepat, merasa seperti orang bodoh.

“Tidakkah kamu mendengarku? Pergi, idiot!” katanya geram.
“Kumohon jangan lakukan itu.” Kataku, sedikit isakan tangis mulai tiba-tiba keluar tanpa sebab.

“Kenapa kamu harus perduli dengan apa yang terjadi padaku? Kamu bahkan tidak mengenalku!”

Hal itu membuatku marah dan aku balik berteriak,

“Kamu pikir aku bodoh sehingga aku mau begitu saja membiarkan seseorang menyayat dirinya sendiri!? Tak seorangpun ingin melihat kamu berdarah! Terutama aku, jadi singkirkan pisau mengerikan itu dari tanganmu!”

Dan sebelum aku dapat berpikir apa yang barusan aku lakukan, berteriak pada orang asing, aku pun menamparnya. Terlambat sedetik, aku menyadari apa yang baru saja telah aku lakukan.

“Maaf,” Aku berdecit dan lari menuju kelasku selanjutnya, tanpa menghiraukan tatapannya.

Selama pelajaran Bahasa Inggris, semua yang dapat kupikirkan hanya tentang dia. Apa yang telah aku lakukan? Aku mendamprat seorang cowok yang aku bahkan tidak kenal kemudian menamparnya. Selama pelajaran jam ketiga dan keempat berlangsung, dia menghantui pikiranku. Hal itu cukup membuatku gila! Aku memutuskan untuk melupakannya salama makan siang, yang sepertinya mudah, menyadari fakta kalau dia ke-emo-an. Hatiku berdebar saat aku berdiri menunggu diantrian. Aku harus extra berhati-hati agar tidak menumpahkan makan siangku, tanganku bergetar seperti orang marah. Kemudian aku duduk dibawah pohon yang terletak dilokasi yang sepi. Akhirnya, damai juga!

“Kamu suka mentega kacang?”

“Agh!” Dia disini, Bagaimana caranya dia melakukan itu? Aku harusnya tau kalau dia datang.

“Kamu suka mentega kacang?” dia mengulang perkataannya.

“Yeah, lumayan,” balasku, berusaha membuat suaraku sedatar mungkin.

“Apa kamu Emo?”

Dasar bodoh. Aku harus belajar berpikir sebelum bicara. Tapi dia malah tertawa. Atau mungkin dia sudah gila, pikirku dalam hati.

“Kamu pikir begitu ya?” tanyanya.

“Umm..”

Hal itu membuat dia tertawa lagi dan berkata,

“Well, kukira memegang pisau dan menaruhnya dipergelangan tangan membuatku terlihat seperti emo hah? Tapi sebenarnya aku bukan.”

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Reyna Starr,” jawabku secara reflek.

“Benarkah?” katanya sambil tertawa. “Aneh sakali nama kamu!”

“Lalu nama kamu siapa?” tanyaku membela diri.

“Sam Roder.”

Sam mempunyai rambut hitam lurus, mengenakan pakaian serba gelap dan memiliki aura “bad boy” terpancar disekitarnya. Rambutnya menutupi hampir sebagian mata kanannya. Aku menyadari barusan aku menatapnya dan menundukkan wajahku untuk menutupi mukaku yang memerah.

Bell berakhirnya istirahat menyelamatkanku dari rasa canggung berkepanjangan dengan bunyinya yang nyaring. Aku berdiri untuk membuang bungkus makanan tapi dia mengambilnya terlebih dahulu dan melakukannya untukku.

“Sampai jumpa,” kataya, menjejalkan tangannya di kantong dan pergi menjauh.

Dalam kebungungan aku berjalan menuju kelasku selanjutnya. Jam pelajaran kelima yaitu olahraga. Aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Ruangan loker berbau deodorant, baunya sangat menyengat sehingga membuatku hampir muntah. Pada waktu registrasi, mereka memberikan nomer loker kami beserta kuncinya. Punyaku loker nomer 108-A, barisan paling atas. Aku membukannya dan mencopot bajuku. Kemudian dengan segera menggantinya dengan seragam olahraga dan menjejalkan bajuku kedalam loker yang terlihat tidak terlalu bersih.

Diluar, udara dingin dan angin sepoi-sepoi berhembus perlahan, tipikal musim gugur. Guru olahragaku seorang wanita yang terlihat galak dengan sunglasses. Aku benci guru yang mengenakan sunglasses, terutama untuk pelajaran olahraga. Kamu tidak akan pernah tau apa atau siapa yang mereka lihat.

“Okay, guys! Saya Mrs. Berle dan jika saya memanggil nama kalian, kalian harus duduk sesuai nomer absen. Jelas?” Mrs. Barle memberi tahu.
Dia terus memanggil mana hingga sampai pada namaku. Ketika murid-murid yang lain mendengarnya, mereka memandang ke arahku seakan-akan aku makhluk dari planet asing. Nomer absenku 42 dari 60 murid!? Wow

“Hari ini kalian akan lari dua lap mengelilingi lapangan kemudian bermain permainan olahraga. Berdiri saja bukan olahraga. Jika saya melihat ada yang melakukan itu, saya akan mencarikan hal lain untuk kalian lakukan dan itu tidak akan menyenangkan. Go!”

Karena ada tiga grup olahraga dari keseluruhan kelas saat itu, hanya berbeda guru, segerombolan orang banyak mulai berlari. Aku berlari dengan langkah sedang, tidak terlalu cepat, tidak terlalu pelan. Aku sebenarnya sangat benci berlari. Jadi aku pergi ketempat persembunyianku dan tidak memikirkan apa yang kulakukan.

Sisa waktu pelajaran selanjutnya kuhabiskan dengan bermain “basketball.” Well, sebenarnya lebih mirip berdiri diam sambil berpura-pura barmain basketball. Membosankan!

Jam palajaran keenam adalah aljabar dengan Mrs. Chang dengan aksen Koreanya yang sangat kental. Aku hampir tidak dapat menceritakan apa yang dia katakan. Aku pun menyerah setelah dia menjelaskan tentang x dan y.

Akhirnya bel berbunyi! Aku bergegas keluar kelas bersama-sama dengan yang lain. Biasanya aku berjalan pulang ke rumah sendiri, bahkan semenjak masih SD. Tapi tentu saja dia pasti akan hadir disana. Aku berusaha menghindarinya dengan berjalan melewatinya dengan memalingkan muka, tapi dia menepuk pundakku. Aku berpaling kearahnya dan memaksakan senyum.

“Hey Sam. Kamu mau apa?” tanyaku.

“Apa kamu akan pulang kerumah?”

“Ya, dan aku bener-benar harus pergi sekarang untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku.”

“Boleh aku pergi denganmu?”

Tanpa menjawab, aku berjalan agak terburu. Tapi dia mengikutiku. Jaraknya dengaku membuatku tidak nyaman.

“Apa maumu?” tanyaku, kali ini suaraku agak mengeras.

“Aku tidak tahu…”

Wajahnya tampak muram dan berhasil membuatku sedikit bersimpati. Aku ingin tahu kenapa wajahnya terlihat sedih.

“Aku seorang emo.. jika menyayat dirisendiri berarti seperti itu. Tapi aku tidak melakukannya karna aku menyukainya atau apapun. Itu hanya terjadi begitu saja,” dia menjelaskan dengan tiba-tiba.

“Kamu tidak harus membiarkan itu terjadi. Kamu dapat menghentikannya. Kataku, menyentuh pundaknya.

“Aku tidak bisa. Aku hanya, tidak bisa!” katanya, terlihat seperti hampir menangis.

Kami berdua berdiri didepan rumahku dan aku hanya menatapnya.

“Thanks Rayna,” katanya.

Tiba-tiba dia mencondongkan tubuh kedepan dan mencium keningku. Setelah itu dia pergi menjauh.

Blessed With A Curse

Story by DeathAngel-VladTod from StoryWrite
Translated by Sierra

Soundtrack : The Boys Of Summer by The Ataris

Seberapa gembiranya kamu bila kamu terjebak dalam dunia mimpi? Dimana semua yang kamu inginkan ada disana? Cowok yang kamu impikan? Cewek yang kamu benci mencium kakimu? Sangat menyenangkan, bukan? Salah. Kupikir itu akan terjadi, ternyata itu neraka.

Aku membuka mataku dan tersenyum melihat sekeliling ruangan yang nampak familiar dimataku. Ruangan itu gelap, kuno dan sangat gothic.

Aku bangkit dari singgasana gothic dan berjalan ke sekeliling. Aku melihat pada kaca yang dipenuhi kutipan kata yang kutulis disana. Aku memakai celana pendek hitam dan tang top hitam. Rambut hitam pekat ku dengan highlights biru terang tergerai dengan poni yang lebih panjang dari biasanya dan menutupi mata kiriku dan sebagian mata kananku. Mataku berwarna biru hazel lembut dihiasi dengan eyeliner tebal. Tinggiku rata-rata dan langsing dengan kulit pucat. Gelang-gelang hitam ada dikedua pergelangan tanganku. Sebuah liontin perak dengan cincin yang juga berwarna perak sebagai bandulnya tergantung dileherku hadiah peninggalan dari nenek.

“Selamat datang” Aku tersenyum dan membalikkan badan untuk melihat Aiden. Dia duduk di sebuah tempat tidur dan tersenyum padaku. Dia lalu bangkit dan berjalan ke arahku. Rambutnya berwarna hitam sehitam arang dan panjang menutupi matanya dan menyentuh pundak.

Dia tinggi, ramping dan sangat pucat. Dia memiliki otot-otot seperti telah dilatihnya beberapa waktu. Dan matanya menakjubkan. Warna matanya tak pernah ada habisnya selalu berganti dari biru, merah, orange terang, emas, hijau bahkan kristal. Segala macam warna ada dimatanya. Bahkan sampai sekarang aku masih belum dapat  membedakan yang mana.

Dia  menarikku kearahnya. Kami terlihat pas bersama. Dia menunduk dan memberiku kecupan dibibir. Rasanya lembut dan hangat. Setelah dia menariknya dia menempelkan lagi bibirnya lebih dalam.

Aku menutup mata dan membalutkan lenganku di pinggangnya. Aku dapat merasakan dagunya beristirahat di kepalaku. Aku mendengar detak jantungnya. “Dag-dig-dug. Dag-“

“HAILEY!” Mataku terbuka dan guruku sedang melotot kearahku dengan muka merah. “Apa jawabanya!” Aku melihat ke papan tulis. “3” Dia mengerjapkan mata. “Bagus, tapi berhentilah tertidur dalam kelas.” Aku mengangguk dan dia kembali pada mejanya.

Aku melihat pada notebookku. Sebuah gambar yang kulukis ada disana. Gambarku dengan Aiden yang sedang memelukku. Aku mendesah dan menutup notebookku.

Tidak. Semua yang baru saja terjadi tidaklah nyata. Tak ada Aiden. Hanya dalam kepalaku saja. Dan dunia mimpi itu juga tidak nyata.

Belpun berbunyi, aku mengambil tas dan notebookku lalu pergi meninggalkan kelas.

Aku berada diloker dan melirik kesudut mataku. Aku melihat cowok-cowok rese’ datang kearahku. Sial

Cepat-cepat aku menutup loker dan menuju pintu keluar. Terlambat. “Hey cewek aneh, tunggu!” Aku tidak melambatkan langkah kakiku. Akhirnya salah seorang meraih tanganku. “Kenapa terburu-buru? Ayo pergi berenang.”

Aaron:

“Jadi Aaron, kau mau datang setelah ini?” Michelle bertanya mengedipkan matanya padaku. Dengan dingin aku menjawab. “Tidak, terima kasih. Aku ada janji dengan saudaraku.” Dia menimpali “Aw lain waktu?” Aku hanya bergumam dan dia menganggapnya sebagai tanda persetujuan.

Dia tertawa terkikih dan berjalan pergi. Aku mengerang dan menutup lokerku. Aku mulai berjalan menuju gym untuk berlatih basket. Seseorang menyapaku dalam perjalanan, aku balik tersenyum dan mengangguk. Aku menyibakkan rambut coklat gelapku dengan  tangan dan mendesah.

Lalu aku mendengar teriakan samar-samar di dekat kolam. Aku berhenti ditempat. Lagi, aku dapat mendengar suara itu.  Aku berjalan ke kolam dan melihat Michael, Josh, dan Ryan sedang berusaha mendorong seseorang ke dalam air dari atas papan loncat.

Seorang cewek berteriak dalam rengkuhan tangan  Ryan. Aku menyipitkan mata melihatnya kemudian aku pun terkejut. Itu Hailey.

Dia mengenakan jins hitam ketat dan sebuah hoodie. Rambut hitam birunya berantakan dan ketakutan terpancar dari mata biru hazelnya yang indah. Kemudian itu menghantamku. Air. Dia adalah tetanggaku dan keluarganya memiliki kolam renang. Walaupun begitu dia tidak pernah menggunakannya. Aku ingat kakaknya pernah bercerita padaku bagaimana dia hampir tenggelam ketika masih kecil.

“Ayo lah, cepat!” Michael menjemputnya. “Tidak! Hentikan!” Aku berteriak. “Terlambat Aaron!” Ryan tertawa. Kemudian mereka menceburkannya ke kolam.

Hailey:

Semua yang kuingat adalah melihat ke dasar  kolam yang gelap. Aku tidak tahu jika tanganku bergerak atau kakiku. Yang ku tahu aku baru saja berteriak.

Air dingin menghantamku, aku merasa tubuhku membeku. Aku tak dapat bergerak. “Ya, kamu dapat.” Sebuah suara berbisik. “Aiden?” Aku bertanya. “Ya, aku disini Hailey” Aku merasakan mataku tertutup. Aku dapat mati bersama Aiden.

Mataku tiba-tiba terbuka. Aku melihat sosok dengan rambut coklat gelap berada diatasku. Mulutnya berada di mulutku. “Mmmmmhhh!” kataku. Dia berhenti. Aku terbatuk dan air keluar dari dalam mulutku. Aku merasakan sebuah tangan menepuk punggungku. Akhirnya aku berhenti terbatuk dan memandang pada sosok itu. Aaron.

Rambut coklat gelapnya basah dan menempel pada wajahnya. Kulit terangnya bercahaya dan mata birunya terlihat cemas. Aku juga memperhatikan kalau bajunya basah.

“Kamu yang menarikku keluar kolam?” Aku bertanya dengan suara pelan. Dia bernafas dan mengangguk. “Yeah, uh aku harus pergi um untuk PRC.” Aku merasa mukaku memerah seperti halnya dia. “Oh..” Dia mengangguk. “Kantor sedang mamanggil orang tuamu. Mereka sudah menangani para cowok itu.” Aku mengangguk dan menggigil kedinginan.

Dia dengan cepat melihat sekitar dan mengambil sebuah handuk. “Pelatih pergi mengambilkan sesuatu yang hangat untuk kau minum.” Aku mengangguk. Dia menyelimutkan handuk itu padaku. Aku memperhatikan kalau tangannya berada padaku lebih lama dari waktu normal.

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 3)

Soundtrack : Jadi Milikmu (Crazy) by Anggun

Beberapa orang cewek ok, mungkin lebih tepatnya segerombolan banyak cewek nampak mengerumuni sudut kantin sekolah sambil membuat suara gaduh seperti suara teriakan histeris atau apalah yang memekakkan telinga orang sekantin dan jalas membuat selera makan gue berkurang karna gue tahu apa yang sedang meraka lakukan disana. Mengerubungi Rheam. Yiaakks

Cowok berparas indo-bule dengan segala kelebihannya itu memang mampu merebut hati gadis siapa saja di sekolah ini. Tapi tak kusangka banyak juga gadis bodoh yang tertipu tampang malaikat Rheam. Gimana ya rasanya membuka topeng Rheam dihadapan semua orang? Namun gue tahu gue harus bersabar.

Terlihat dari sudut mata gue seorang cewek yang nampak mencolok. Gimana nggak mencolok coba, cewek bertampang indo dengan rambut dicat pirang, mengenakan rok SMA ketat dua puluh senti diatas lutut, dan baju seragam yang pastinya cowok-cowok dapat langsung berdecak kagum melihat warna pink menerawang dari balik kemeja putih yang ia kenakan. Cewek itu bernama Cindy. Disampingnya, tepat disebelah kanan dan kiri Cindy, berdiri dua cewek lain yang tak pernah lepas selalu terlihat bersama yaitu Vivi dan Tania. Mereka adalah cikal bakal pendiri fans club pecinta Rheam yang mereka namakan Rheam lover. Sekarang mereka sedang asik ngobrol dengan Rheam diikuti beberapa cewek lain yang juga anggota fans club tersebut.

Ada-ada saja cewek disekolah ini. Kayaknya di dunia ini tidak ada hal penting lain yang dapat dikerjakan hingga muncul ide gila dengan membentuk fans club Rheam segala. Emang sebegitu hebatnyakah Rheam dimata cewek-cewek di sekolah? Tanpa sadar gue ngedumel dalam hati. Bakso dalam mangkuk gue yang nggak berdosa sudah menjadi korban pencabikan secara sadis dari garpu yang sedari tadi gue pegang.

Hari ini adalah bad day buat gue. Tunggu, sejak kapan sih hari gue nggak bad day semenjak gue kanal Rheam ‘yang sesungguhnya’. Ok, tiap hari gue ngerasa bad day tapi hari ini jauh lebih parah karena Marin dan Luna nggak masuk sekolah. Alasannya simpel saja, Marin sakit flu cukup parah dan Luca yang datang menjenguknya hari minggu kemarin ikutan ketularan sehingga jadilah hari ini mereka kompakan nggak masuk sekolah. Untungnya daya tahan tubuh gue cukup kuat jadi waktu ngejenguk nggak ikut ketularan. Kasihan juga ya mereka dan kasihan juga diri gue sendiri karena sekarang gue lagi kesepian nggak ada teman untuk diajak ngobrol. Biasanya kalau ada Marin dan Luca kami selalu saja ada topik menarik untuk diobrolin. Tapi sekarang mereka lagi nggak ada disamping gue. Sekolah tampak membosankan. Apalagi ditambah pemandangan menyebalkan di sudut kantin yang bikin gue semakin muak berada di sekolah ini.

Gue berencana menghabiskan sisa es teh dari gelas kemudian segera pergi dari kantin saat tiba-tiba seseorang menghampiri meja gue. Seorang cowok yang mengenakan baju seragam baru dan memegang mangkuk berisi soto dan segelas es jeruk ditangannya. Gue terpana beberapa detik sebelum akhirnya menyadari tingkah bodoh gue dan berharap dia tidak menyadarinya.

“Sorry, meja yang lain penuh. Boleh duduk disini?”

“Eh, yah. Silakan.”

Kemudian cowok itu meletakkan mangkuk dan gelasnya dimeja dan duduk dihadapan gue. Tanpa berucap kata sepatahpun lagi ia mulai menyantap makanannya. Niat gue semula untuk meninggalkan kantin batal karna sekarang gue sedang terpana memandang wajah cowok cakep yang hanya berjarak satu meter dari hadapan gue.

Abis mimpi apa gue semalam, Lloyd sekarang ada persis didepan mata gue. Rasanya aneh. Tapi seneng juga ngelihat cowok ganteng dari jarak dekat seperti ini.

“Ada apa?” Tiba-tiba ia mendongakkan wajah ke gue, ngerasa kalo sedari tadi diliatin.

“Eh, nggak apa-apa kok.”

Srottt srootttt. Bunyi dari gelas es teh yang gue sedot-sedot walah tau sudah habis isinya. Lloyd memandang gue heran.

“Nih, minun aja punyaku.” Katanya menyodorkan gelasnya yang masih penuh ke gue.

“Eh nggak perlu, nggak perlu. Entar lo gimana?”

“Aku bisa pesan lagi.” Beberapa saat kemudian Lloyd sudah memanggil penjaga kantin datang ke meja dan memesan segelas minuman baru.

Ok, gue ralat, hari ini nggak se bad day yang gue kira. Ada Lloyd yang sekarang nemenin waktu istirahat gue dan duduk ditempat biasa saat Marin dan Luca makan bersama gue di kantin walaupun sekarang kami saling diam karna tak ada bahan percakapan lain untuk dibicarakan.

Gue menyedot es jeruk dari gelas yang Lloyd sodorkan tadi sambil bermain-main dengan sedotan dimulut. Mata gue nggak bisa lepas dari Lloyd sedikitpun.

Merasa bosan karna tak ada obrolan gue memulai lagi percakapan.

“Jadi, lo masih ingat nama gue kan?”

Lloyd berhenti dari aktifitas mengisi perutnya dan berpikir sejenak.

“Luna Kataluna”

“Wow, nggak sangka ternyata lo inget juga nama gue.” Senyum lebar menghiasi muka gue saat mendengar Lloyd menyebut nama lengkap gue dengan benar.

“Yeah, karna nama kamu terdengar unik.”

Sebentar, itu pujian atau malah ledekan ya? Ok, nggak masalah. Yang penting dia ingat nama gue. Gue senyum-senyum sendiri dalam hati.

“Lloyd , kalau boleh tahu apa alasan lo pindah ke Indo?”

Lloyd berhenti sejenak kembali, seperti memikirkan kata-kata yang hendak diucapkannya.

“Aku ingin berjumpa kambali dengan seseorang.” Katanya dengan tampang datar seperti biasa.

Seseorang? Mantan pacarnya atau keluarganya kah? Atau mungkin gadis yang ia suka? Gue memikirkan segala kemungkinan yang ada. Seolah penasaran dengan siapa orang yang ingin ditemui Lloyd disini.

“Siapa?” tanya gue hati-hati, namun Lyoid tak memberikan jawaban.

Sial. Harusnya gue nggak usah tanya. Dengan muka manyun gue mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan. Saat mengalihkan pandangan tak sengaja sudut mata gue bertemu dengan mata Rheam yang memandang tajam ke arah gue. Gila, ngapain tuh cowok pake melototin gue segala. Ternyata gue emang ngak pernah luput dari perhatian dia. Segera saja gue alihin lagi pandangan kearah lain pura-pura tidak menggubris adanya Rheam di kantin.

“Rheam, boleh minta foto bareng nggak untuk dipajang di album fans club kami?” teriak seorang cewek cukup nyaring untuk didengar sampai ketelinga gue.

“Tentu saja boleh, ambil foto sebanyak yang kalian suka.” Jawab Rheam ramah. Hueeekk.. gue harap ada tempat sampah didekat sini karna perut gue tiba-tiba mual.

Para cewek asik mengerubungi Rheam dan berpose sok imut kemudian mengambil gambar dengan kamera flash light. Sementara cowok-cowok yang berada di sekitar kantin berdengus kesal memandang cewek-cewek yang keganjenan dan merasa dirinya kalah saingan. Kasihan

“Eh, udah selesai makannya?” Gue beralih pada Lloyd yang hendak berberes meninggalkan meja.

“Iya.”

“Abis ini mau kemana?” tanya gue.

“Pulang.”

“Pulang? Bukannya belum selesai pelajaran?”

“Nggak masalah.” Tanpa menunggu lebih lama lagi Lloyd berjalan meninggalkan kantin diriingin gue yang berusaha mengikutinya dari belakang.

“Tunggu! Lo nggak bermaksud bolos kan?” tanya gue sebelum kami meninggalkan gerbang kantin. Lloyd berhenti dan membalikkan badan.

“Iya, mau ikut?”

Tanpa menunggu jawaban dari gue ia melangkahkan kembali kaki jenjangnya menyusuri lorong sekolah. Dari belakang tanpa gue sadari Rheam memandang lekat kearah kami.

-“-“-

“Sebenarnya apa sih yang lo pikirin, bukannya lo baru masuk sekolah dua hari ini dan lo udah berniat untuk bolos?” tanya gue sambil berlari-lari kecil disamping Lloyd berusaha menyamakan langkah dengannya. Gila, susah juga ngimbangin langkah kaki Lloyd yang panjang.

Nggak disangka gue memutuskan untuk mengikuti Lloyd bolos sekolah. Gue harap nggak bakal di skors gara-gara bolos pelajaran matematika di jam terakhir. Tau sendiri guru matematika gue kan paling killer di sekolah. Kalau gue sampai di skors Lloyd bakal nemenin gue juga pastinya.

“Aku harus melakukan sesuatu hari ini, nggak bisa menunggu sampai pelajaran selesai. Nanti nggak akan selesai hingga petang.”

“Ngelakuin apa? Gimana ntar kalo dimarahin guru? Lagian ntar kita bisa ketinggalan pelajaran.”

“Semua pelajaran yang diajarkan disini sudah pernah kupelajari dulu.”

“Apa? Emang beneran lo udah pelajarin semuanya?” tanya gue setengah kaget setengah nggak percaya dengan kata-kata Lyoid. Nggak nyangka kami udah berjalan cukup jauh hingga kesuatu tempat yang nampak tak asing bagi gue. Sekitar seratus meter didepan sana terlihat sebuah apartemen tinggi menjulang dan megah. Gue mengikuti Lloyd berjalan memasuki apartemen tersebut dan kini kami berada didalan lift menuju ke lantai 20 dimana tempat tinggal Lloyd berada. Lumayan jauh juga untuk gedung bertingkat 50 lantai. Apartemen ini berada di pusat kota dekat dengan segala fasilitas penting dan tentunya sekolah kami juga. Ugh, ternyata dia anak orang kaya.

Lift pun terbuka tepat di didepan sebuah pintu yang bertuliskan Ashton Lloyd pada sebuah papan ukiran tembaga berkilau.

Lloyd memasukkan kunci kelubang dan membuka pintu tersebut diiringi wajah terkagum gue melihat isi apartemennya yang serba mewah. Ok, memang bukan baru pertama kali ini gue melihat rumah mewah. Saat pertama menginjakkan kaki di rumah keluarga Collins pun demikian. Gue sempat terkagum-kagum akan kemewahan  rumah tersebut. Begitu juga saat pertama kali masuk SMA Permata Bangsa. Tapi tetep aja gue ngerasa janggal tiap kali memasuki tempat mewah seperti ini.

Lloyd mempersilakan gue masuk dan dia berjalan duluan ke dalam. Namun tiba-tiba gue menjadi ragu untuk mengikutinya. Maksud gue, hey, gue baru kenal Lloyd tiga hari dan dia sudah berani mengajak gue kerumahnya. Ok, emang sih tadi gue sendiri yang pengen ikut. Tapi apa sebaiknya gue ikutin dia masuk atau gue urungkan niat sekarang sebelum semuanya terlambat? Bukan bermaksud berpikir negatif sih. Tapi untuk jaga-jaga saja.

Setelah beberapa detik berpikir, waktu yang cukup lama disaat nervous akhirnya gue mengambil satu langkah kaki. Pada akhirnya memang rasa penasaranlah yang menang. Gue berjalan perlahan memasuki apartemen Lloyd dan melihat banyak barang-barang dalam box yang belum selesai ditata.

“Belum sempat ku bereskan semua karna terlalu sibuk dengan administrasi sekolah.” Kata Lloyd seakan mengerti apa yang gue pikirkan.

“Kenapa nggak manggil orang aja untuk ngerjain semua? Gue yakin lo pasti mampu bayar.” Kata gue sambil mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Apartemennya luas dengan beberapa ruangan yang cukup ditinggali satu keluarga dan prabotan mewah disemua sudut apartemen. Dinding ruang tamu di cat warna pastel dan marun dan terdapat sebuah gorden ungu dipojok ruangan.

“Untuk prabotan yang besar, iya. Selebihnya ingin kukerjakan sendiri karna tak ingin orang lain merusaknya.” Jawab Lloyd sembari membuka gorden ungu yang tadi gue lihat.  Terlihat pemandangan kota dari atas.

Lalu Lloyd membuka seluruh pintu ruangan yang ada kemudian berjalan kesudut ruang tamu tempat kami sekarang berdiri, mencari-cari sesuatu dalam salah satu box yang tertumpuk. Gue masih tetap mengedarkan pandangan keseluruh ruangan. Barang-barang yang ada terlihat manis dan elegan. Vas bunga dengan bermacam bunga warna-warni baik yang imitasi ataupun bunga segar terlihat menghiasi seluruh ruangan di Apartemen. Pandangan gue beralih pada sebuah sofa berwarna merah muda yang terlihat nyaman. Gue menghampiri sofa tersebut dan duduk sambil memeluk batal warna-warni yang ada di sofa. Apartemennya terlihat penuh warna dan terkesan girly.

“Dulu apartemen ini pernah ditinggali oleh sepupu perempuanku sebelum aku pindah ke sini.” Lagi-lagi Lloyd membaca pikiran gue.

“Apa lo tinggal sendirian disini atau bareng orang lain? Orang tua lo mungkin?” Tanya gue ke Lloyd tapi seketika muka gue berubah pucat pasi. KENAPA DIA HARUS BUKA BAJU DI DEPAN GUE????!!!!

Mata gue melotot karna kaget. Lloyd mengganti baju seragamnya dengan kaos yang baru ia temukan di box. Ya, tepat dihadapan gue! Dapat dengan jelas gue lihat punggungnya yang mulus dan putih bersih. Otot-otot punggung dan lengannya terlihat atletis dengan perut ramping dan postur tinggi besar ala bule-nya. Aduh apa nggak ada tempat lain apa kenapa musti didepan gue?? Dasar bule emang suka seenaknya sendiri. Untung dia nggak ganti celana juga di depan gue. Bisa kena serangan jantung mendadak kalo sampai beneran.

“Aku tinggal sendirian. Semuanya kuurus sendiri.” Jawab Lloyd menghampiri sofa tempat gue berada. LAGI-LAGI, KENAPA WAJAHNYA SEMAKIN MENDEKAT??? Gue menahan nafas beberapa detik saat wajah Lloyd tepat dihadapan gue dan pastinya nggak bisa mengelakkan rona merah di pipi. Beberapa saat ia memundurkan kembali tubuhnya dengan membawa dua pasang sarung tangan yang baru dipungutnya dari sebuah box dibalik sofa. OMG, gue bakal beneran kena serangan jantung.

“Pakai sarung tangan ini untuk memindahkan barang-barang keramik disana, nih!” ia menyodorkan sepasang sarung tangan ke gue dan memakai sepasang lagi untuknya sendiri. Dengan cekatan Lloyd memindahkan barang-barang pindahan ketempat semestinya. Gue yang masih sedikit shock dan  bingung mengikutinya memindahkan barang-barang.

Apaan nih? Bolos sekolah untuk kerja rodi?

“Bukannya kata lo tadi lo nggak mau dibantu orang lain karna takut orang lain ngerusak barang-barang lo?”

“Iya, tapi kurasa kamu berbeda.”

Ugh, pipi gue memerah lagi mendengar kata-kata Lloyd . Pura-pura tak merespon gue terusin lagi acara memindahkan barang.

Semua barang-barang keramik sudah tertata semua di almari hias. Kini giliran barang-barang di box satunya. Gue melihat box  satunya di dekat gue yang masih disegel tak seperti box-box yang lain yang sudah terbuka. Lloyd masih menata barang-barang di ruang sebelah. Karna penasaran gue  membuka box tersebut dan menemukan beberapa barang didalamnya. Sebuah boneka bebek berwarna kuning dan putih dengan perut besar menyembul pertama kali dari dalam box. Gue memungutnya dan mengamatinya dengan heran. Didalam box masih ada beberapa barang lagi. Seperti beberapa pigura yang tertelungkup dan foto album serta beberapa CD dalam CD box.

‘Aneh sekali, kenapa dia bawa-bawa boneka segala?’ pikir gue dalam hati.
‘Mungkin boneka pemberian dari seseorang atau boneka itu akan diberikan untuk orang lain?’ gue masih bertanya-tanya. Boneka itu terlihat usang entah mengapa.

Gue hendak memungut pigura dalam box ketika tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah tepukan pundak dari belakang. Kontan gue kaget dan langsung menolehkan tubuh kebelakang. Jarak muka gue hanya satu senti dari wajah Lyoid. Gue terdiam beberapa saat karena shock. Wajah tampan Lyoid dapat dengan jelas gue lihat bahkan hidung mancungnya sedikit lagi hampir menyentuh hidung gue. Nafas gue lagi-lagi tertahan beberapa saat, nggak tau apa yang harus gue lakukan saat ini. Rona merah kembali muncul di pipi.

“Sorry, gue cuma mau bantu pindahin barang-barang di box ini.”  Kata gue kikuk.

Wajah Lyoid nampak berbeda dari ekspresi biasanya. Ia memandang pada boneka bebek yang gue pegang. Beberapa detik tampak sunyi.

“Ini boneka elo?”

“Iya” jawab Lyod singkat sambil mengambil boneka itu dari tangan gue. “Barang-barang di box ini biar aku saja yang urus. Kamu bisa bantu pindahkan barang-barang di box lain.” Ucap Lyoid dengan ekspesi datar. Kini wajahnya sudah tidak lagi persis didepan gue. Akhirnya bisa menghembuskan nafas lega juga. Huufff, emang deh semakin lama bisa kena serangan jantung beneran kalo lama-lama berada disini.

Lyoid mengangkat box berisi barang-barang yang baru gue temukan ke sebuah ruangan. Sepertinya itu kamarnya. Gue hanya bisa mengamatinya berlalu begitu saja. Dengan wajah tanda tanya akhirnya gue putuskan untuk memindahkan barang-barang di box yang lain.

Jam menunjukkan pukul 9 petang ketika sampai di rumah. Untung ortu nggak marah saat gue pulang. Alesannya sih ngerjain tugas kelompok di rumah teman. Aduh dosa ya gue bo’ong sama ortu. Tapi kalo ngomong yang sejujurnya bisa kena marah abis-abisan ntar. Masa gue mau bilang bolos pelajaran sekolah karena ikut-ikutan temen cowok yang baru gue kenal tiga hari lalu datang kerumahnya dan disuruh kerja rodi? Nggak lucu banget kan?

Rheam berdiri di pojok ruangan mengamati gue dengan wajah curiga. Gue pura-pura nggak peduliin keberadaan Rheam saat akan kembali ke kamar. Sial, moga aja Rheam nggak tau tentang kejadian tadi siang. Sampai dikamar gue langsung ambruk di kasur dan tertidur pulas seketika. Benar-benar hari yang melelahkan.

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 2)

Soundtrack : Bang Bang Boom by The Moffats


Gue nggak tau apa yang membuat Rheam sangat membenci gue. Yang gue tau pasti gue benci Rheam karna Rheam benci gue. Semua dimulai baik-baik saja sebelum pertama kali gue menginjakkan kaki di kediaman keluarga Collins seminggu yang lalu saat mama sudah resmi menikah dengan Antony Gilbert Collins, papa baru gue sekaligus ayah kandung Rheam. Gila, keren banget ya namanya walau seratus persen pure Indonesia asli tapi namanya import abis boo.

Waktu itu gue masih baik-baik saja tanpa ada perasaan was was sedikitpun menginjakkan kaki dirumah itu. Gue sempat terkejut waktu pertama kali melihat Rheam berada di rumah itu dan ternyata dia adalah anak tunggal keluarga Collins. Memang sebelumnya gue sama sekali belum pernah berkenalan dengan Rheam secara langsung walau gue sudah tau Rheam semenjak awal mula masuk SMA bonafid tempat gue bersekolah saat ini, SMA Permata Bangsa. Gue nggak tau sebelumnya kalau Rheam bakal menjadi saudara tiri gue karna papa Rheam tidak menceritakan apa-apa soal putra tunggalnya kecuali cuma pernah berkata bahwa beliau memang memiliki seorang putra tunggal yang usianya kira-kira seumuran dengan gue. Pada waktu acara pernikahan mama dan papa tiri pun Rheam sama sekali tidak hadir dalam resepsi entah karna alasan apa. Jadi wajar dong kalau gue sempat terkejut mengetahui kehadiran Rheam saat itu.

Rheam memang sempat membuat gue sedikit berdebar dan salah tingkah untuk pertama kali saat bertemu karna dia merupakan cowok tertampan and the most wanted guy in school sebelum gue tau sifat aslinya seperti apa. MONSTER!!

Di hari pertama gue tinggal satu atap bersama Rheam, dia sudah mulai menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap gue. Mulanya gue tidak begitu curiga terhadap Rheam dan Rheam pun nampak bersikap biasa ketika dihadapan kedua ortu. Gue pun mengira semuanya akan lancar-lancar saja.

Hingga suatu ketika Rheam mendorong gue memasuk ke gudang ketika gue sedang membereskan barang-barang saat pindahan. Gue sangat terkejut hingga hampir berteriak saking kagetnya namun Rheam sudah lebih dulu membekap mulut gue dengan tangan kekarnya sehingga terikan gue sama sekali tidak terdengar. Gue panik setengah mati.

“Nama lo Luna kan? Lo yang jadi sodara tiri gue sekarang? Lo diem atau lo bakal gue kurung seharian di gudang dan nggak ada seorang pun yang tau lo disini!” ancam Rheam dan gue segera diam tak berkutik karna takut pada acamannya. Lagiankan mulut gue dibungkam mana bisa ngomong.

“Denger, gue nggak suka sama lo dan kehadiran lo di rumah gue. Gue pengen lo cepet-cepet pergi dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik atau lo bakal tanggung akibatnya.”

Rheam pun melepas bungkaman tangannya dari mulut gue dan pergi meninggalkan gue yang masih shock dan sedikit sesak nafas karna bungkamannya barusan.

Benarkah tadi itu Rheam? Ia berbeda sekali dengan sosok yang selama ini gue kenal di sekolah. Rheam sang pengeran yang dipuja-puja cewek satu sekolah?

Semenjak saat itu gue mulai berhati-hati dengan Rheam dan begitulah hari-hari malang gue pun dimulai. Mulai dari dimatikannya lampu saat pergi ke kamar mandi. Mengganti odol dengan shampoo, mencampur makanan gue dengan sambal super pedas hingga gue megap-megap kaya ikan mas koki, lalu menyembunyikan sepatu gue di atas lemari dan mencoret-coret buku pelajaran gue hingga pernah juga merobek-robeknya. Bahkan sempat gue dikunci di kamar mandi saat semua orang sedang pergi dan hanya ada gue dan Rheam di rumah. Waktu itu gue sampai nangis karna takut nggak dibukain pintu. Yang lebih parah lagi saat dia menaruh ulat bulu di seragam gue dan gue nggak tau hingga mengenakan seragam itu saat akan pergi ke sekolah. Kontan gue langsung teriak sekeras-kerasnya mengetahui ada benda hijau berbulu menggeliat-geliat di punggung. Asli gue paling alergi sama yang namanya ulat bulu. Dan sekarang gue mendapati makhluk imut itu nangkring di badan gue. Untung gue nggak sampai pingsan tapi hanya bentol-bentol sekujur tubuh. Itulah hari tersial gue berada di rumah ini semua karna ulah si cowok monster!

Tapi gue nggak sampai mengadukan itu ke ortu karna gue nggak mau mengacaukan hubungan pernikahan mereka yang baru saja terjalin beberapa waktu. Setidaknya gue harus mengesankan semuanya baik-baik saja dan berusaha menjalin hubungan harmonis sebagai satu keluarga. Yah itu pun jika mereka bakal percaya ke gue jika gue adukan masalah ini karna menurut gue ortu  nggak bakal percaya kalau Rheam itu jahat. Coz selama ini Rheam selalu terlihat baik didepan ortu.

“Lun, napa lo tadi telat masuk kelas?” tanya Marin sahabat baik gue ketika jam istirahat berlangsung. Gue sama kedua sahabat gue, Luca dan Marin lagi jajan di kantin sekolah.

“Iya, lo bikin khawatir kita-kita aja.” Luca menambahi.

“Gara-gara siapa lagi gue terlambat kalau bukan karna si cowok monster berwajah pangeran itu.” Jawab gue sewot karna masih kesal dengan ulah cowok sumber mala pataka hidup gue itu.

“Rheam maksud lo? Emang sampe sekarang lo masih terus dikerjain sama dia?”

“Dia nggak bakal berhenti ngerjain gue sampai gue pergi dari rumahnya.” Gue mencacah-cacah siomay yang baru saja gue pesan dengan garpu membayangkan seolah-olah itu Rheam yang sedang gue cacah-cacah.

“Gila ya tuh cowok. Masa sih dia sampai sebegitunya pengen ngusir lo. Gue sampai hampir nggak percaya waktu lo cerita tentang Rheam. Secara dia kan cowok super ramah dan santun di sekolah. Apalagi dia ganteng banget, populer, trus pinter lagi. Pokoknya perfect deh. Emang dia punya dendam apa sama lo, Lun?”

Gue cuma angkat pundak menanggapi komentar Marin sambil menyedot es jeruk dengan muka masam. Gue lagi sebel banget sampai-sampai males buat ngomong.

“Mana ada manusia yang perfect di dunia ini. Jangan menilai orang dari penampilan luarnya doang. Orang bisa saja baik di muka busuk di dalam.” Luca mengomentari.

“Jyaah Luca, napa lo ikutan sewot? Lo perhatian banget ya sama Luna. Jangan-jangan lo suka kan sama Luna, benar kan ayo ngaku??” goda Marin ke Luca yang kontan langsung membuat muka Luca bersemu merah.

“Apaan sih lo, kan wajar sebagai teman ikut khawatir. Emang salah ya kalo gue khawatir sama keadaan Luna. Lo juga sama kan?” balas Luca berusaha menyembunyikan rasa malunya dari gue dan Marin. Marin memang sudah biasa bercanda seperti ini pada Luca. Namun Luca tatap salah tingkah tiap kali Marin berkata kalau Luca suka sama gue. Kalau sudah begitu pasti wajah Luca bersemu merah bak kepiting rebus. Gue sih fine-fine aja menanggapi mereka. Gue malah ikutan cekikikan bareng Marin saat melihat muka Luca merah padam karna malu. Serius, lucu banget.

“Aduh, ngaku aja kali Luc. Luna juga nggak bakalan marah kok. Iya kan, Lun?”

“Hihihi..” gue cuma cekikikan aja.

“Apaan sih, nggak kok. Udah deh lo nggak usah ngebahas ini.” Luca melirik ke gue takut-takut sambil tetap salah tingkah.

“Ok deh ok, kan cuma bercanda doang dan seenggaknya kita udah berhasil buat Luna nggak ngambek lagi. Tuh buktinya sekarang dia udah bisa cengengesan.”

Marin tersenyum manis ke gue dan gue pun balas tersenyum manis ke dia dan Luca. Kami bertiga memang sudah bersahabat sejak SMP. Dari kelas satu sampai kelas tiga SMP kami selalu sekelas begitu pula ketika masuk SMA kami terus sekelas hingga saat ini. Sekarang kami duduk di kelas 1IPA5. Marin tipe cewek periang dan pandai bergaul dan Luca adalah tipe cowok pemalu tapi imut dan kadang suka grogi. Mereka senantiasa menjadi sahabat karib gue. Kami bertiga selalu melakukan hal apapun bersama. Gue udah anggap mereka seperti  saudara sendiri kecuali Rheam tidak termasuk dalam hitungan. Amit-amit deh gue juga nggak mau ngakuin Rheam sebagai saudara tiri ke temen-temen kecuali hanya pada Luca dan Marin. Gue nggak mau punya saudara sadis kayak dia.

“Gue nggak ngambek lagi karna gue nggak mau berlarut-larut mikirin Rheam. Soalnya selain ketimpa sial hari ini gue juga baru ketimpa mujur. Hehehe…”

“Eh ketimpa mujur apaan? Emang lo baru dapet apa, Lun?” tanya Marin penasaran.

“Beneran pengen tau?”

“Iya, kasih tau dong!” desak Luca. Gue sengaja memancing rasa penasaran mereka karna gue memang suka membikin orang lain penasaran. Hehe. Jahil juga ya gue.

“Udah, cepetan deh kasih tau!”

“Ok ok.. tadi pagi gue baru ketemu malaikat …”

“Lun, maksudnya lo baru saja mati suri gitu?” Marin tiba-tiba saja memotong kata-kata gue sambil terkejut.

“Bukaaan ..!! Makanya lo dengerin kata-kata gue dulu sampai selesai. Tadi pagi gue ketemu cowok super ganteng di halaman belakang sekolah pas telat masuk kelas. Mukanya cakep banget mirip malaikat gitu deh.” Cerita gue dengan antusias ke kedua sohib gue. Tentu saja gue nggak bakal ceritain kejadian memalukan saat muka gue nyrungsep ke tanah pas ketemu dia. Bisa tengsin dua kali ntar.

“Trus..trus..??” tanya Marin penasara.

“Dia tinggi, cakep, putih, keren dan… bule!”

“Lho, itu bukannya ciri-ciri Rheam?”

“Gue nggak lagi ngomongin Rheam!!!” bentak gue sewot.

Ugh, kenapa juga harus Rheam lagi Rheam lagi. Emang di dunia ini cuma Rheam doang yang punya ciri-ciri kaya gitu. Ih, gue jadi illfeel lagi kan.

“Iya deh non, sorry lanjutin.”

“Menurut gue dia tuh cowok paling cakep yang pernah gue liat seumur idup.”

“HAH YANG BENER??”

“Emang secakep apa sih cowok yang lo lihat?” tanya Luca bernada kesal.

“Cakep banget. Lo berdua harus liat sendiri tampangnya biar pada tau.”

“Gue pengen liat, gue jadi penasaran.” Kata Marin.

“Gue liat pun juga nggak bakalan tertarik. Gue kan nggak homo.” Timpal Luca.

“Iya ya, Luca kan tertariknya cuma sama Luna doang.”

 “Hahahaha…”  Marin dan gue tertawa serempak. Luca akhirnya mingkem tak berkutik hanya wajahnya saja yang berubah merah lagi seperti kepiting rebus.

“Eh, dia anak sekolah ini juga lho!” sambung gue.

“Cowok ganteng yang lo temui itu? Yang bener?”

“Ya iya lah..emang lo kira tukang kebun apa mentang-mentang gue ketemunya di pekarangan? Trus ngapain juga ada orang luar iseng masuk area sekolah apalagi cowok secakep dia kalau bukan murid sini.” jawab gue sewot.

“Tapi gue kok gue nggak pernah liat cowok yang lo sebutin ciri-cirinya itu sebelumnya ya?”

“Dia anak baru.” Jawab gue singkat.

“Serius lo?”

“Dua rius malah.”

“Yeeee asik dong.” Teriak Marin girang.

“Nggak asik!!” seru Luca

“Kenapa? Pasti cemburu ya?”

“Nggak kok.” Luca coba mengelak dengan muka memerah (lagi-lagi!). Tawa gue dan Marin pun membahana.

Pas gue lagi asik bercanda dengan Marin dan Luca. Gue lihat Rheam lagi ngelihatin gue di depan kantin dengan wajah nyeremin. Gue langsung merinding.

“Eh, gue ke toilet bentar ya.” Kata gue langsung cabut begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Marin ataupun Luca.

“Ok, ati-ati ya!” teriak Marin dari jauh.

Gue emang sengaja menghindari Rheam jika di sekolah karna gue benci banget sama Rheam. Lihat mukanya saja udah bikin sebel. Apa lagi kalau deket-deket bisa epilepsi ntar. Jadi sebisa mungkin gue harus jaga jarak sama dia. Kecuali disaat-saat tak terduga kaya tadi pagi ya itu sih gue nggep musibah.

Gue nggak jadi ke toilet karna emang nggak lagi kebelet sih. Tadi cuma pura-pura doang. Sekarang gue lagi jalan-jalan di sekitar taman tanpa arah tujuan. Tiba-tiba mata gue menangkap sosok Lloyd yang sedang berada di lantai dua. Tampaknya dia sedang mengecek ruang kelas. Gue mengamati dia sejenak. Lalu tanpa sengaja cowok cakep itu melihat ke bawah dan dia melihat gue. Langsung saja gue lambein tangan.

“Hey!” sapa gue. Tapi kok dia nggak ngerespon ya? Ih masa si dia nggak nyadar ada gue. Tapi gue yakin kok kalo tadi dia liat gue. Dia lalu alihin pandangannya lagi ke lain tempat. Sialan masa gue dicuekin sih. Akhirnya dengan muka jutek gue balik lagi ke kantin.

Esok paginya gue udah stay pagi-pagi dikelas bareng Marin dan Luca. Gue sengaja berangkat pagi sehabis sarapan dengan terburu-buru jadi ortu nggak sempat nyaranin gue berangkat bareng Rheam. YESS!!

Gue lagi asik ngobrol ngalor ngidul bertiga tiba-tiba wali kelas datang bareng seorang cowok yang nggak asing lagi dimata gue. Lloyd!

“Semuanya duduk tenang, hari ini kita kedatangan murid baru.” Kata wali kelas coba menenangkan kegaduhan yang terjadi dalam kelas karena sudah bisa ditebak cewek mana sih yang nggak bakal histeris melihat ada makhluk super tampan dihadapan mata mereka. Lain lagi dengan para cowok di kelas yang turut ribut karena penasaran dengan apa yang sedang diributkan para cewek. Yee sama aja dong!

Setelah suasana cukup kondusif, Lloyd mulai angkat bicara.

“Selamat pagi, Saya Lloyd Ashton, murid pindahan baru di sekolah ini. Salam kenal.” Kata Lloyd memperkenalkan diri dengan singkat tapi membuat penasaran. Cewek-cewek penghuni kelas mulai ribut lagi sambil bisik-bisik setelah mendengar suara merdu milik Lloyd. Bahkan ada yang sampai histeris. Set dah lebay.
Gue dengan tenang mengamati dari jauh karna tempat duduk gue emang kebetulan rada belakang.

“Tenang, semuanya tenang. Kembali ke tempat duduk masing-masing!” bentak wali kelas.

‘Sukurin lo pada, suka sok kecentilan sih!’ lho kok malah gue yang jadi sewot? Untung gue cuma ngomong dalam hati doang.

“Lloyd, silakan duduk di tempat duduk yang masih kosong di sebelah sana.”

DEG!

Dia pasti lihat gue. Coz tempat duduk masih kosong yang dimaksud berada di sebelah Luca dan berseberangan dengan tempat duduk gue. Gue duduk semeja bareng Marin.

Aduh, jantung gue kenapa kok lonjak-lonjak gini sih. Entar kalo copot gimana?

Lloyd pun dengan pasti melangkah semakin mendekat dan gue semakin salah tingkah. Aneh banget kenapa gue ngerasa nervous begini. Ketemu juga baru dua kali termasuk hari ini. Ok, tiga kali kalo pas waktu istirahat kemaren dihitung. Tapi harusnya gue nggak perlu segrogi ini kan. Walau gue patut malu kalo mengingat-ingat kejadian kemarin. Ampun deh nggak mau ingat-ingat lagi. Malu-maluin.

Lloyd sekarang udah duduk di seberang gue. Gue nggak tau kapan dia udah ada disana karna gue barusan tutup mata. Gue intip ke seberang hati-hati dan melihat Lloyd duduk tenang menghadap depan. Aslinya pengen gue sapa, tapi guru matematika udah terlanjur datang. Gue urungkan niat untuk sementara.

Dua jam pelajaran akhirnya kelar juga. Saatnya ganti pelajaran olahraga. Yes, gue bersorak gembira karna sudah lepas dari pelajaran yang paling gue benci itu. Anak cewek berganti pakaian di ruang ganti khusus cewek. Sedangkan anak cowok biasanya cukup berganti pakaian di kelas walau sebenarnya sudah ada juga ruang ganti khusus bagi cowok.

Gue lari mengitari lapangan penuh semangat beriringan dengan Marin disebelah gue disusul dengan Luca yang masih tertinggal agak jauh di belakang. Kasihan sekali Luca. Kayanya dia nggak bakat olahraga deh.

Selama pelajaran olahraga berlangsung mata gue mencari-cari sosok Lloyd tapi nggak ketemu-temu. Kemana sih tu anak? Heran deh. Pandangan gue bereadar ke seluruh penjuru lapangan. Akhirnya gue temukan sosok yang gue cari-cari di bawah pohon rindang di pinggir lapangan. Lagi-lagi dia tertidur saat jam pelajaran.

Gue berlari menghampirinya kemudian berdiri tepat di depannya. Dia masih saja tertidur dengan pulas bagai malaikat yang sedang kelelahan. Tapi walau sedang tertidur begitu wajahnya tetap kelihatan tampan. Memang dasar cowok cakep lagi apapun tetep aja cakep.

“Hey, ayo bangun! Kenapa malah tidur saat jam pelajaran mentang-mentang guru olah raga nggak datang?” kata gue sambil berkacak pinggang.

Dia mengerjapkan matanya terbangun dari mimpi seperti orang yang sedang terganggu. Gue tetap berdiri dihadapannya dan menanti reaksi dia selanjutnya. Dia akhirnya membuka mata dengan sempurna dan menatap gue dengan kedua bola mata indah itu.

“Kamu siapa?” tanya dia.

“Hah?” gue kaget mendengar pertanyaannya.

“Lo nggak inget sama gue?” gue balik nanya.

“Maaf aku lupa.” Jawab dia datar.

WHAT THE F**K?? Kenapa dia bisa lupa? Padahal kemarin jelas-jelas kita ngobrol cukup lama waktu gue anterin dia ke ruang kepala sekolah. Masa si sekarang dia sudah lupa sama gue? Apa barusan dia gagar otak abis ketimpa batang pohon jatuh gara-gara tidur dibawah pohon? Tapi gue lihat disekeliling nggak ada batang pohon jatuh tuh. Kok dia bisa lupa ya?

“Kita kemarin sudah pernah ketemu.” Gue coba mengingatkan.

“Oh, kamu cewek yang waktu itu?”

Hah, ternyata dari tadi dia nggak ingat tampang gue. Percuma dong gue dag-dig –dug dor. Pantesan juga kemarin dia nggak ngerespon waktu gue panggil dari lantai bawah. DIA LUPA SAMA GUE!!

“Iya, itu gue.” Kata gue setenang mungkin berusaha bersikap biasa walau sebenarnya sangat kaget dan kesal. “Gue cuma mau ngembaliin ini ke elo.”

Gue sodorin saputangan dia kemarin yang sudah gue cuci bersih di rumah. Lloyd menerima saputangan tersebut.

“Thanks … hmm …” Llyod mencoba menyebutkan nama gue namun ia masih belum bisa mengingat-ingatnya.

“Lo pasti lupa juga nama gue kan?”

“DENGAR!”

Gue berdiri memperbaiki posisi sambil mengacungkan jari telunjuk tepat dihadapannya.

“Ingat ini baik-baik. Nama gue Luna Kataluna. Dan gue pasti akan buat elo nggak akan pernah lagi melupakan nama gue setelah ini.”

WUUUUUUSSSSSS.. Semilir angin menerbangkan dedaunan kering disekitar dan menerpa tubuh kami berdua. Gue tersenyum percaya diri pada Lloyd kemudian membalikkan badan dan berlari lagi ke tengah lapangan. Gue pasti bakal buat Lloyd ingat nama gue untuk seterusnya. Ya, gue yakin itu.

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 1)

Soundtrack : Electronic Lover by Breathe Electric

Mungkin bisa dibilang gue adalah cewek paling malang sedunia, setidaknya itu menurut versi gue sendiri karena gue baru saja mengalami peristiwa malang yang total merubah hidup gue. Semenjak kepergian papa karena sakit keres, mama memutuskan menikah lagi dengan seorang duda kaya raya teman mama semasa kuliah dulu. Terang saja gue sempat menentang perihal pernikahan tersebut. Tapi karena nggak tega melihat mama terus menerus bersedih akhirnya gue harus merelakan mama bersanding dengan laki-laki lain yang sempat menjadi cinta pertamanya dulu ketika masih muda.

Hey, sebelumnya perkenalkan nama gue Luna Kataluna. Anak tunggal dari papa mama gue yang baru menginjak SMA. Umur gue 16 tahun. Memang bukan masalah besar bila mama menikah lagi dengan laki-laki lain pilihannya. Tapi yang jadi sumber penderitaan gue yaitu saudara tiri gue alias anak semata wayang dari papa tiri gue yang baru dan sukses bikin gue illfeel setengah idup.

Namanya Rheam Gilbert Collins yang seumur-umur nggak pernah gue sangka bakal jadi sodara tiri gue. Dari namanya memeng terdengar rada-rada bule gitu sih. Yup, Rheam memang memiliki darah campuran Indo-Amrik dari  papanya orang Indonesia asli dan mamanya yang keturunan Amerika, tapi tampang Rheam lebih kental nuansa bule-nya. Jadilah dia seorang cowok tertampan dan terpopuler di sekolah. Well, I hate to say that tapi memang begitulah kenyataannya. Kenyataan yang tidak sesuai dengan apa yang nampak dari luar, Rheam, cowok tersadis dan terkejam yang pernah gue kenal. Kini dia jadi sodara gue. Oh my!

Gara-gara Rheam jugalah hari ini gue terlambat berangkat sekolah. Padalah pagi-pagi sekali gue sudah mempersiapkan diri untuk berangkat awal. Gue sengaja berangakat awal karena tau jarak dari rumah baru ke sekolah cukup makan waktu lama bila dibandingkan ketika dulu masih tinggal di rumah lama. Semenjak mama menikah lagi, gue dan mama tinggal dirumah papa tiri. Itu artinya gue tinggal satu atap dengan cowok paling menyebalkan dan paling gue benci sedunia, Rheam.

Seusai sarapan bersama, ‘papa’ menyuruh untuk berangkat naik mobil bersama Rheam ke sekolah. Ya, gue satu sekolah dengan Rheam. Awalnya sudah pasti gue menolak ide tersebut, tapi karena bujukan mama dan demi menghormati papa baru, gue menurut juga berangkat bareng dia. Rheam sudah tentu tidak senang akan hal tersebut. Semasa bodo, gue juga ogah-ogahan berangkat ke sekolah bareng dia kalau nggak terpaksa. Akhirnya jadilah kami berangkat berdua ke sekolah sama-sama. Gue duduk di kursi depan disebelah Rheam yang menyetir mobil. Tampang Rheam terlihat dingin tanpa ekspresi. Sepanjang perjalanan kami hanya diam saja dan sumpah itu bikin gue ngerasa nggak nyaman banget. Tiba-tiba di tengah jalan Rheam menghentikan laju mobilnya.

“Cepetan turun gih!”

“Apa? Lo minta gue turun di tengah jalan? Sadis amat sih lo! ”

“Udah, nggak usah pakai protes. Lo turun apa gue tendang supaya lo bisa turun dari mobil gue?” ucap Rheam jutek.

“Gue juga nggak mau berangkat naik mobil lo kalo nggak kepaksa.” Ucap gue membela diri.

“Ya udah, kalo gitu cepatan turun. Gue juga nggak mau terlihat barengan sama cewek jelek kaya lo ke sekolah, ntar bikin pamor gue turun.”

WHAT THE HELL DID HE SAY?? DIA NGATAIN GUE CEWEK JELEK?? JELEEKK??? Anjrit nih cowok asli sombongnya minta ampun. Gue dengan ati dongkol turun dari mobil dan Rheam beserta mobil sport Mercedes-Benz-nya segera berlalu cepat dari hadapan gue. Ninggalin gue sendirian yang sedang kesal bercampur amarah. Tapi percuma ngambek berlarut-larut karena sebentar lagi bel masuk sekolah akan berbunyi. Gue pun dengan berat hati meneruskan perjalanan sambil jalan kaki. Tanggung mau naik angkot karena jarak sekolah sudah hampir dekat walau tetap saja berjalan kaki sepertinya akan terlambat.

Sampai depan sekolah pintu gerbang sudah ditutup rapat. Tuh kan betul apa kata gue. Untung gue tau jalan pintas menuju gedung sekolah lewat pekarangan belakang. Gue bergegas menyelinap melewati pagar tumbuh-tumbuhan yang menjulang tidak terlalu tinggi di pekarangan belakang sekolah. Letaknya pun cukup tersembunyi dari pengelihatan orang awam. Tseeett.. jalan pintas ini sebenernya cuma gue aja yang tau dan dua orang lagi yaitu sahabat gue. Sambil berucap sumpah serapah ke Rheam gue berjalan terburu-buru sampai-sampai tidak melihat ada sesuatu yang menghadang di jalan dan dengan sukses membuat muka gue nyrungsep ke tanah.

“Gila, siapa sih yang usil ngerjain gini …awas aja lo bakal gue…” gue terdiam nggak nerusin kata-kata. Karna tiba-tiba mata gue menangkap sosok malaikat yang sedang tertidur pulas di bawah pohon rindang. Malaikat itu mengenakan seragam sekolah SMA gue. Wait! Dia pakai seragam sekolah SMA gue? Berarti dia murid sekolah sini juga dong? Dan ternyata kaki malaikat itu lah yang tadi nyandung kaki gue.

Oh my god, baru kali ini gue liat cowok super tampan mirip malaikat yang sedang tertidur di bawah pohon. Eh, emangnya gue pernah liat malaikat ya? Enggak kali! Hehe.. tapi beneran gue belum pernah liat cowok seganteng ini sebelumnya kecuali si Rheam. Lho kok gue bawa-bawa nama Rheam segala. Dia kan musuh gue? Ih, amit-amit deh.

Lagi asik-asiknya berkutat dengan pikiran gue sendiri tiba-tiba si malaikat terbangun dari tidurnya sambil mengerjapkan mata. Dia memandang gue dengan mata bening abu-abunya.

“Baju kamu kotor.”

“Eh?”

Cepet-cepet gue memeriksa baju seragam yang gue kenakan ternyata emang kotor kena tanah abis nyrungsep tadi. Sial! Gue kibas-kibasin tuh baju pakai tangan biar ilang kotorannya.

“Ini. Buat ngelap muka kamu” cowok itu menyodorkan sapu tangannya. Ya ampun pasti muka gue jelek banget belepotan tanah. Tengsin abis deh gue. First impression kok malah buruk banget gini jadinya. Malang banget nih nasib.

“Thanks” ucap gue malu-malu.

 “Nih” gue sodorin lagi sapu tangan abis buat ngelap muka ke dia.

“Kamu simpan saja dulu.”

Ah bego, mana dia mau nerima sapu tangan bekas kena kotor. Bego banget lo Lun. Gue masukkan sapu tangan itu kedalam tas.

“Lo kok nggak ke kelas?” tanya gue sok mengalihkan suasana biar nggak terlihat grogi.

“Hari ini hari pertama aku masuk sekolah.” Katanya dengan logat sedikit aneh.

“Ah, lo anak baru ya? Kenapa pagi-pagi malah tiduran disini?”

“Karna baru pindah kemarin jadi aku sengaja berangkat pagi untuk melihat-lihat keadaan sekolah. Lalu nggak sengaja tertidur..”

Hihihi…lucu juga nih cowok. Masa bisa tertidur di halaman belakang sekolah waktu pertama masuk sekolah?

“Oya, kenalin gue Luna. Lengkapnya Luna Kataluna, kelas 1IPA5. Nama lo siapa?”

“Lloyd Ashton” dia menyebutkan namanya.

“Nama lo unik banget. Lo bukan orang asli sini ya?” Kayaknya sih udah bisa gue tebak. Coz tampang dia nggak ada mirip-miripnya sedikitpun sama cowok lokal a.k.a cowok Indo. Ditambah logat dia yang emang rada-rada cadel.

“Aku baru pindah dari Amerika”

‘Oh pantesan’ batin gue.

“Bisa tolong tunjukan ruang kepala sekolah nggak?” tanya Lloyd

“Ok, bisa kok. Tapi bukannya tadi lo udah keliling-keliling sekolah kan?”

“Iya, tapi belum ketemu ruang kepala sekolah.”

“Oke deh, ayuk gue antar.”

Gue bergegas mengantar Lloyd ke ruang kepala sekolah menaiki tangga hingga tiga lantai ke gedung utama sekolah. Sebenarnya masih ada tiga lantai lagi diatas. Sekolah gue memang terkenal cukup elite dan tersohor di kota gue tinggal. Karna itu banyak anak pejabat dan anak orang kaya yang bersekolah disini. Gue sih bukan salah satu diantaranya tapi gue cukup beruntung bisa bersekolah di sekolah elite ini walau gue bukan termasuk golongan orang kaya. Makanya dulu gue seneng banget waktu bisa keterima masuk di SMA Permata Bangsa. Tapi sekarang gue benci banget berada di sekolah ini karna ada Rheam. Ya dia sumber penderitaan gue saat ini. Untungnya gue masih punya dua sahabat baik semenjak SMP yang satu sekolah sama gue sampai sekarang. Mereka berdua ialah Luca dan Marin.

Setelah mengantar Lloyd sampai kedepan ruang kepala sekolah gue bergegas kembali ke kelas karena jam pelajaran pertama hampir selesai. ‘Sial, gue pasti bakal kena marah.’ batin gue. Karena di sepanjang koridor kelas sudah sangat sepi gue mempercepat langkah kaki menuju kelas. Ketika sampai diujung koridor lantai tiga gue nggak sengaja melewati kelas Rheam. Gue pun sempat mengamati beberapa saat kedalam kelas yang sedang lengang karna pelajaran sedang berlangsung. Tiba-tiba mata gue menangkap sosok Rheam yang sedang serius mencermati pelajaran dan mengenakan kacamata. Tanpa terduga ia menengok ke arah gue. Gue yang sedang terpaku di luar jendela kontan kaget. Rheam memberikan tatapan mata tajam seolah-olah hendak mengusir gue. Gue pun bergegas cabut dari tempat itu dan kembali ke kelas. Alhasil gue beneran kena marah guru matematika yang super galak karena terlambat masuk kelas hingga pelajaran jam ke dua. Siaaallll!!!!