Pages

Jumat, 29 April 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 1)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack : Safe Ride by Cute Is What We Aim For

Aku duduk di kursiku melihat orang-orang ngobrol dengan teman mereka. Aku pun akan melakukan hal yang sama jika aku punya teman disini. Suara bel memecah kesunyian, dan para murid mulai memenuhi kelas mereka masing-masing. Dengan hati-hati aku memasuki kelas 2B menunggu guru pelajaran jam pertama datang.

Guru sejarahku seorang pria yang terlihat agak aneh dengan rambut pirang keputihan. Dia memakai dasi berbentuk tuts piano dan memiliki kumis lebat. Dengan segera dia mulai membagikan kertas yang bertuliskan “SELAMAT DATANG DI KELAS SEJARAH” dalam huruf tebal. Disitu terdapat semua peraturan kelas seperti biasa dan peralatan apa saja yang perlu kita bawa.

“Oh ya! Ngomong-ngomong nama saya Mr. Ferry!”

Sisa waktu selanjutnya berlalu dengan tidak begitu jelas. Aku hanya menyadari kalau kelas sudah selesai ketika bel berbunyi. Dengan segera aku mengemasi barang-barangku dan meninggalkan ruangan yang sudah kosong kecuali oleh guru. Aku memiliki waktu sepuluh menit untuk istirahat jadi aku melihat-liat sambil mencari tempat untuk duduk. Kemudian aku melihatnya. Dia bersandar pada dinding,  jauh dari orang-orang. Sangat jauh sehingga aku hampir tidak bisa melihat sosoknya dengan jelas. Penasaran, aku berjalan mendekat dan memastikan agar tidak terlihat. Aku terkejut ketika melihat apa yang sedang dia lakukan. Ada sebuah pisau ditangannya dan dia terlihat ragu-ragu apakah ia akan menyayatkan pisau itu pada tangannya atau tidak.

“Apa yang sedang kamu lakukan?” aku keceplosan bicara sebelum aku dapat menahannya.

Dia menatapku dengan mata birunya yang berpiercing dan pandangan mata dingin yang membuatku terkesiap.

“Apa yang kamu lakukan disini?” tanyanya, matanya berkobar.

“Jangan menyayat tanganmu. Itu pasti akan sakit.” Aku menjawab dengan bodoh.

“Pergi!”

Sebenarnya aku ingin sekali pergi tapi aku tidak dapat beranjak. Aku menjangkau dirinya dengan tanganku tanpa sebab namun kemudian membatalkannya dengan cepat, merasa seperti orang bodoh.

“Tidakkah kamu mendengarku? Pergi, idiot!” katanya geram.
“Kumohon jangan lakukan itu.” Kataku, sedikit isakan tangis mulai tiba-tiba keluar tanpa sebab.

“Kenapa kamu harus perduli dengan apa yang terjadi padaku? Kamu bahkan tidak mengenalku!”

Hal itu membuatku marah dan aku balik berteriak,

“Kamu pikir aku bodoh sehingga aku mau begitu saja membiarkan seseorang menyayat dirinya sendiri!? Tak seorangpun ingin melihat kamu berdarah! Terutama aku, jadi singkirkan pisau mengerikan itu dari tanganmu!”

Dan sebelum aku dapat berpikir apa yang barusan aku lakukan, berteriak pada orang asing, aku pun menamparnya. Terlambat sedetik, aku menyadari apa yang baru saja telah aku lakukan.

“Maaf,” Aku berdecit dan lari menuju kelasku selanjutnya, tanpa menghiraukan tatapannya.

Selama pelajaran Bahasa Inggris, semua yang dapat kupikirkan hanya tentang dia. Apa yang telah aku lakukan? Aku mendamprat seorang cowok yang aku bahkan tidak kenal kemudian menamparnya. Selama pelajaran jam ketiga dan keempat berlangsung, dia menghantui pikiranku. Hal itu cukup membuatku gila! Aku memutuskan untuk melupakannya salama makan siang, yang sepertinya mudah, menyadari fakta kalau dia ke-emo-an. Hatiku berdebar saat aku berdiri menunggu diantrian. Aku harus extra berhati-hati agar tidak menumpahkan makan siangku, tanganku bergetar seperti orang marah. Kemudian aku duduk dibawah pohon yang terletak dilokasi yang sepi. Akhirnya, damai juga!

“Kamu suka mentega kacang?”

“Agh!” Dia disini, Bagaimana caranya dia melakukan itu? Aku harusnya tau kalau dia datang.

“Kamu suka mentega kacang?” dia mengulang perkataannya.

“Yeah, lumayan,” balasku, berusaha membuat suaraku sedatar mungkin.

“Apa kamu Emo?”

Dasar bodoh. Aku harus belajar berpikir sebelum bicara. Tapi dia malah tertawa. Atau mungkin dia sudah gila, pikirku dalam hati.

“Kamu pikir begitu ya?” tanyanya.

“Umm..”

Hal itu membuat dia tertawa lagi dan berkata,

“Well, kukira memegang pisau dan menaruhnya dipergelangan tangan membuatku terlihat seperti emo hah? Tapi sebenarnya aku bukan.”

“Siapa namamu?” tanyanya.

“Reyna Starr,” jawabku secara reflek.

“Benarkah?” katanya sambil tertawa. “Aneh sakali nama kamu!”

“Lalu nama kamu siapa?” tanyaku membela diri.

“Sam Roder.”

Sam mempunyai rambut hitam lurus, mengenakan pakaian serba gelap dan memiliki aura “bad boy” terpancar disekitarnya. Rambutnya menutupi hampir sebagian mata kanannya. Aku menyadari barusan aku menatapnya dan menundukkan wajahku untuk menutupi mukaku yang memerah.

Bell berakhirnya istirahat menyelamatkanku dari rasa canggung berkepanjangan dengan bunyinya yang nyaring. Aku berdiri untuk membuang bungkus makanan tapi dia mengambilnya terlebih dahulu dan melakukannya untukku.

“Sampai jumpa,” kataya, menjejalkan tangannya di kantong dan pergi menjauh.

Dalam kebungungan aku berjalan menuju kelasku selanjutnya. Jam pelajaran kelima yaitu olahraga. Aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Ruangan loker berbau deodorant, baunya sangat menyengat sehingga membuatku hampir muntah. Pada waktu registrasi, mereka memberikan nomer loker kami beserta kuncinya. Punyaku loker nomer 108-A, barisan paling atas. Aku membukannya dan mencopot bajuku. Kemudian dengan segera menggantinya dengan seragam olahraga dan menjejalkan bajuku kedalam loker yang terlihat tidak terlalu bersih.

Diluar, udara dingin dan angin sepoi-sepoi berhembus perlahan, tipikal musim gugur. Guru olahragaku seorang wanita yang terlihat galak dengan sunglasses. Aku benci guru yang mengenakan sunglasses, terutama untuk pelajaran olahraga. Kamu tidak akan pernah tau apa atau siapa yang mereka lihat.

“Okay, guys! Saya Mrs. Berle dan jika saya memanggil nama kalian, kalian harus duduk sesuai nomer absen. Jelas?” Mrs. Barle memberi tahu.
Dia terus memanggil mana hingga sampai pada namaku. Ketika murid-murid yang lain mendengarnya, mereka memandang ke arahku seakan-akan aku makhluk dari planet asing. Nomer absenku 42 dari 60 murid!? Wow

“Hari ini kalian akan lari dua lap mengelilingi lapangan kemudian bermain permainan olahraga. Berdiri saja bukan olahraga. Jika saya melihat ada yang melakukan itu, saya akan mencarikan hal lain untuk kalian lakukan dan itu tidak akan menyenangkan. Go!”

Karena ada tiga grup olahraga dari keseluruhan kelas saat itu, hanya berbeda guru, segerombolan orang banyak mulai berlari. Aku berlari dengan langkah sedang, tidak terlalu cepat, tidak terlalu pelan. Aku sebenarnya sangat benci berlari. Jadi aku pergi ketempat persembunyianku dan tidak memikirkan apa yang kulakukan.

Sisa waktu pelajaran selanjutnya kuhabiskan dengan bermain “basketball.” Well, sebenarnya lebih mirip berdiri diam sambil berpura-pura barmain basketball. Membosankan!

Jam palajaran keenam adalah aljabar dengan Mrs. Chang dengan aksen Koreanya yang sangat kental. Aku hampir tidak dapat menceritakan apa yang dia katakan. Aku pun menyerah setelah dia menjelaskan tentang x dan y.

Akhirnya bel berbunyi! Aku bergegas keluar kelas bersama-sama dengan yang lain. Biasanya aku berjalan pulang ke rumah sendiri, bahkan semenjak masih SD. Tapi tentu saja dia pasti akan hadir disana. Aku berusaha menghindarinya dengan berjalan melewatinya dengan memalingkan muka, tapi dia menepuk pundakku. Aku berpaling kearahnya dan memaksakan senyum.

“Hey Sam. Kamu mau apa?” tanyaku.

“Apa kamu akan pulang kerumah?”

“Ya, dan aku bener-benar harus pergi sekarang untuk menyelesaikan pekerjaan rumahku.”

“Boleh aku pergi denganmu?”

Tanpa menjawab, aku berjalan agak terburu. Tapi dia mengikutiku. Jaraknya dengaku membuatku tidak nyaman.

“Apa maumu?” tanyaku, kali ini suaraku agak mengeras.

“Aku tidak tahu…”

Wajahnya tampak muram dan berhasil membuatku sedikit bersimpati. Aku ingin tahu kenapa wajahnya terlihat sedih.

“Aku seorang emo.. jika menyayat dirisendiri berarti seperti itu. Tapi aku tidak melakukannya karna aku menyukainya atau apapun. Itu hanya terjadi begitu saja,” dia menjelaskan dengan tiba-tiba.

“Kamu tidak harus membiarkan itu terjadi. Kamu dapat menghentikannya. Kataku, menyentuh pundaknya.

“Aku tidak bisa. Aku hanya, tidak bisa!” katanya, terlihat seperti hampir menangis.

Kami berdua berdiri didepan rumahku dan aku hanya menatapnya.

“Thanks Rayna,” katanya.

Tiba-tiba dia mencondongkan tubuh kedepan dan mencium keningku. Setelah itu dia pergi menjauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar