Pages

Jumat, 29 April 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 2)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack :  Shake It by Rediscover

Hari berikutnya ialah hari Jum’at. Aku tak tahu kenapa, tapi sekolah-sekolah disekitar sini tak pernah mulai pada hari Senin. Aku membungkus badanku dengan pakaianku yang paling nyaman, mencomot beberapa kue muffin dan berlari menuju udara musim gugur yang sejuk. Aku melihat banyak teman sekelasku berjalan di jalan yang sama denganku. Aku menghembuskan nafas lega ketika aku tidak melihatnya dimanapun.

Rumahku hanya berjarak lima menit dari sekolah jadi aku sudah sampai disana sebelum aku menyadarinya. Dan begitupun dengan dia. Dia sedang menanti di depan pintu masuk sekolah. Aku punya dorongan kuat untuk berlari pulang dan berpura-pura sedang sekit.

“Hey, Reyna.”

Aku mencoba berjalan melewatinya tapi dia menghentikanku.

“Apa yang kamu mau dariku , Sam?” tanyaku merasa terganggu. Karna suatu alasan, namanya menggelitik lidahku. Aneh!

“Dapatkah aku setidaknya mendapat salam? Persetan, apa aku melakukan kesalahan?” balas Sam dengan marah.

Kamu mencoba menyayat dirimu didepanku, aku ingin balas berkata seperti itu, tapi yang keluar malah,

“Jaga ucapanmu!”

Dan dia pun menertawakanku. Balasan yang bagus, Reyna. Wajahku berubah sangat merah dan aku berusahauntuk kabur. Lagi-lagi dia menertawakanku, pandangan matanya masih menunjukkan kalau dia sedang tertawa.

“Kamu nampak seperti gadis baik-baik.”

“Lalu kenapa? Jika kamu tidak suka mungkin seharusnya kamu tidak berbicara denganku!” kataku sambil berpaling sekali lagi walau aku tahu itu percuma.

“Aku tak bilang kalau aku tidak suka.”

Bel pun berbunyi. Yes! Aku tidak tahu bagaimana membalas komentarnya, jadi aku gunakan kesempatan ini untuk lari. Sementara ini aku aman selama pelajaran sejarah.

“Hey guys! Siap untuk hari kedua kalian di sekolah?” tanya Mr. Ferry dengan bersemangat.

“Have a nice weekend!”

Woah. Palajaran sejarah sudah selesai? Untunglah aku sudah mengatur rencana untuk menghindarinya dengan menunggu selama jam pergantian pelajaran di kelasku selanjutnya. Tapi ditiga kelas selanjutnya kulewati dengan hanya melamun tanpa henti. Dengan cepat-cepat aku mencatat PR-ku dan berlari keluar kelas. Hari ini aku membawa makan siang dan memutuskan untuk pergi ke tempat yang sama seperti kemarin.

Kontras dengan pagi ini, siang ini sangat panas. Aku mengikatkan jaketku di pinggang kemudian duduk. Aku membuat sendiri makan siangku dan itu biasanya terdiri dari sandwich, jus, dan makanan ringan. Hari ini aku membawa sekantong kecil cheetos, ham, dan cheese sandwich, dan juga Sunkist.

“Ketemu kau!”

“Oh astaga!”

Wajahnya berada satu inci dariku dan dia menepuk hidungku dengan ringan.

“Apa aku menakutimu?”

“Tidak,” kataku bohong.

Apa dia harus melakukan itu setiap waktu? Aku memang tipe orang yang selalu jatuh pada lelucon yang sama berkali-kali. Aku mengigit sandwichku dengan diam dan mengunyahnya perlahan.

“Apa kamu keberatan jika aku menyayat diriku disini?”

“Jangan!” aku berteriak.

“Aku hanya bercanda,” katanya sambil tertawa.

“Sebagai seorang emo, kamu terlalu… ceria,” komentarku.

Dia melihat kearahku, mata birunya membuatku membeku seketika.

“Jadi kamu masih berpikir aku ini emo, ya?”

Aku merenungkan penampilannya yang serba hitam dan tentang “kejadian” dari hari kemarin.

“Yeah, sepertinya. Kamu mencoba menyayat tanganmu, ingat?”

“Apa itu mengganggumu? Tanyanya.

Well, mungkin aku akan dihantui selama satu atau dua bulan dengan kekhawatiran kalau-kalau dia akan bunuh diri. Tapi, kenapa dia harus perduli kalau aku memperdulikan hal itu?

“Mungkin,” adalah jawabanku yang sangat cemerlang.

Dia nampak memikirkan tentang jawabanku. Apa yang perlu dipikirkan tentang hal itu?

“Apakah pernah terlintas dipikiranmu kalau aku tidak melakukan hal itu karna aku mau? Itu semacam… Aku harus melakukannya…”

“Kamu harus bunuh diri? Tidak, itu sama sekali tidak benar. Tidak mungkin, memangnya ada alasan bagimu untuk bunuh diri kecuali kamu telah membunuh orang lain? Ada orang-orang yang menyayangimu dan kamu akan membuat mereka terluka. Apa hal itu pernah terpikir olehmu?”

“Akankah kamu menjadi salah satunya?”

“Hah?”

“Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri?”

Sama sekali tidak terduga. Tepat saat bel berbunyi aku menjawab dengan bergurau,

“Yeah, mungkin. Tapi aku tidak mau melihatnya.

Aku menepuk hidungnya dan berjalan pergi sambil menggenggam erat tempat makanku, rasannya sakit. Aku mencoba tidak memikirkan apa yang barusan aku katakan dan aku lakukan serta perasaan tidak biasa yang menjalar di dadaku.

Aku merasa kurang enak badan selama pelajaran olahraga. Perutku rasanya seperti diaduk karna rasa cemas. Well, mungkin ini masuk akal karena pertanyaannya masih mengusik pikiranku. Apakah kamu akan merasa sakit jika aku bunuh diri? Apakah aku akan sakit?

Berpikir terlalu dalam tentang pertanyaan itu membuatku gila. Aku tidak bisa memikirkan tentang jawabannya sehingga itu hanya berakhir menjadi PR untukku yang bahkan tak pernah bisa kumengerti. PR selama akhir pekan!? Astaga, aku benci kelas yang satu ini.

Kali ini aku tidak terlalu terkejut mengetahui Sam sedang membuntutiku pulang ke rumah. Mengikutiku tanpa bicaradan hanya pura-pura bersenandung.

“Okay,” aku memecah kesunyian, “Kenapa kamu membuntutiku?”

Matanya nampak pura-pura tak berdosa ketika ia menjawab,

“Memangnya aku terlihat sedang membuntutimu?”

“Well, kamu berjalan disebelahku tanpa berkata apapun!”

“Itu yang namanya membuntuti?”

“Ugh!”

Secara dramatis aku memalingkan muka darinya dan mulai mempercepat langkah atau lebih tepatnya setengah berlari tapi kakinya yang panjang tak membiarkannya jauh lebih dari satu langkah dariku. Dan kemudian aku mulai berlari kencang. Syukurlah rumahku sudah dekat.

“Bye”

Dia menggenggam tanganku, erat.

“Kamu pikir kamu mau kemana?”

 “Uhh, ke rumah.”

“Tidak, kamu tidak akan.”

Dia pun mulai menarikku menjauh dari rumah. No, no, NO. Rumahku! Aku mencoba berontak dari cengkramannya, tapi seperti yang kukatakan aku bukanlah tipe orang yang sangat atletik. Dia menyeretku sepanjang jalan menuju taman tua, didepan sebuah pohon besar. Ketika aku masih kecil aku pernah jatuh dari pohon itu dan sekarang aku takut akan ketinggian dan juga memanjat pohon.

Sam duduk bersandar pada pohon dan memandangku lekat.

“Duduk!”

“Aku bukan anjing.”

Dia merenggut tanganku sehingga aku duduk dengan wajah kesal.

Dia menyentuh pipiku yang dengan segera berubah merah seakan-akan tangannya adalah besi yang panas.

Kemudian dia  mulai mendekatkan wajahnya kearahku sambil menutup mata. Astaga! Apa yang dia lakukan!? Aku harus pergi! Aku berdiri dan berlari menjauh dan baru menengok kearahnya ketika sudah dalam jarak aman.

Sam duduk disana, tersenyum nakal sambil mengedipkan matanya yang terlihat misterius.

Kenapa? Apa yang salah dengan cowok itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar