Pages

Jumat, 29 April 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 2)

Soundtrack : Bang Bang Boom by The Moffats


Gue nggak tau apa yang membuat Rheam sangat membenci gue. Yang gue tau pasti gue benci Rheam karna Rheam benci gue. Semua dimulai baik-baik saja sebelum pertama kali gue menginjakkan kaki di kediaman keluarga Collins seminggu yang lalu saat mama sudah resmi menikah dengan Antony Gilbert Collins, papa baru gue sekaligus ayah kandung Rheam. Gila, keren banget ya namanya walau seratus persen pure Indonesia asli tapi namanya import abis boo.

Waktu itu gue masih baik-baik saja tanpa ada perasaan was was sedikitpun menginjakkan kaki dirumah itu. Gue sempat terkejut waktu pertama kali melihat Rheam berada di rumah itu dan ternyata dia adalah anak tunggal keluarga Collins. Memang sebelumnya gue sama sekali belum pernah berkenalan dengan Rheam secara langsung walau gue sudah tau Rheam semenjak awal mula masuk SMA bonafid tempat gue bersekolah saat ini, SMA Permata Bangsa. Gue nggak tau sebelumnya kalau Rheam bakal menjadi saudara tiri gue karna papa Rheam tidak menceritakan apa-apa soal putra tunggalnya kecuali cuma pernah berkata bahwa beliau memang memiliki seorang putra tunggal yang usianya kira-kira seumuran dengan gue. Pada waktu acara pernikahan mama dan papa tiri pun Rheam sama sekali tidak hadir dalam resepsi entah karna alasan apa. Jadi wajar dong kalau gue sempat terkejut mengetahui kehadiran Rheam saat itu.

Rheam memang sempat membuat gue sedikit berdebar dan salah tingkah untuk pertama kali saat bertemu karna dia merupakan cowok tertampan and the most wanted guy in school sebelum gue tau sifat aslinya seperti apa. MONSTER!!

Di hari pertama gue tinggal satu atap bersama Rheam, dia sudah mulai menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap gue. Mulanya gue tidak begitu curiga terhadap Rheam dan Rheam pun nampak bersikap biasa ketika dihadapan kedua ortu. Gue pun mengira semuanya akan lancar-lancar saja.

Hingga suatu ketika Rheam mendorong gue memasuk ke gudang ketika gue sedang membereskan barang-barang saat pindahan. Gue sangat terkejut hingga hampir berteriak saking kagetnya namun Rheam sudah lebih dulu membekap mulut gue dengan tangan kekarnya sehingga terikan gue sama sekali tidak terdengar. Gue panik setengah mati.

“Nama lo Luna kan? Lo yang jadi sodara tiri gue sekarang? Lo diem atau lo bakal gue kurung seharian di gudang dan nggak ada seorang pun yang tau lo disini!” ancam Rheam dan gue segera diam tak berkutik karna takut pada acamannya. Lagiankan mulut gue dibungkam mana bisa ngomong.

“Denger, gue nggak suka sama lo dan kehadiran lo di rumah gue. Gue pengen lo cepet-cepet pergi dari rumah ini. Lebih cepat lebih baik atau lo bakal tanggung akibatnya.”

Rheam pun melepas bungkaman tangannya dari mulut gue dan pergi meninggalkan gue yang masih shock dan sedikit sesak nafas karna bungkamannya barusan.

Benarkah tadi itu Rheam? Ia berbeda sekali dengan sosok yang selama ini gue kenal di sekolah. Rheam sang pengeran yang dipuja-puja cewek satu sekolah?

Semenjak saat itu gue mulai berhati-hati dengan Rheam dan begitulah hari-hari malang gue pun dimulai. Mulai dari dimatikannya lampu saat pergi ke kamar mandi. Mengganti odol dengan shampoo, mencampur makanan gue dengan sambal super pedas hingga gue megap-megap kaya ikan mas koki, lalu menyembunyikan sepatu gue di atas lemari dan mencoret-coret buku pelajaran gue hingga pernah juga merobek-robeknya. Bahkan sempat gue dikunci di kamar mandi saat semua orang sedang pergi dan hanya ada gue dan Rheam di rumah. Waktu itu gue sampai nangis karna takut nggak dibukain pintu. Yang lebih parah lagi saat dia menaruh ulat bulu di seragam gue dan gue nggak tau hingga mengenakan seragam itu saat akan pergi ke sekolah. Kontan gue langsung teriak sekeras-kerasnya mengetahui ada benda hijau berbulu menggeliat-geliat di punggung. Asli gue paling alergi sama yang namanya ulat bulu. Dan sekarang gue mendapati makhluk imut itu nangkring di badan gue. Untung gue nggak sampai pingsan tapi hanya bentol-bentol sekujur tubuh. Itulah hari tersial gue berada di rumah ini semua karna ulah si cowok monster!

Tapi gue nggak sampai mengadukan itu ke ortu karna gue nggak mau mengacaukan hubungan pernikahan mereka yang baru saja terjalin beberapa waktu. Setidaknya gue harus mengesankan semuanya baik-baik saja dan berusaha menjalin hubungan harmonis sebagai satu keluarga. Yah itu pun jika mereka bakal percaya ke gue jika gue adukan masalah ini karna menurut gue ortu  nggak bakal percaya kalau Rheam itu jahat. Coz selama ini Rheam selalu terlihat baik didepan ortu.

“Lun, napa lo tadi telat masuk kelas?” tanya Marin sahabat baik gue ketika jam istirahat berlangsung. Gue sama kedua sahabat gue, Luca dan Marin lagi jajan di kantin sekolah.

“Iya, lo bikin khawatir kita-kita aja.” Luca menambahi.

“Gara-gara siapa lagi gue terlambat kalau bukan karna si cowok monster berwajah pangeran itu.” Jawab gue sewot karna masih kesal dengan ulah cowok sumber mala pataka hidup gue itu.

“Rheam maksud lo? Emang sampe sekarang lo masih terus dikerjain sama dia?”

“Dia nggak bakal berhenti ngerjain gue sampai gue pergi dari rumahnya.” Gue mencacah-cacah siomay yang baru saja gue pesan dengan garpu membayangkan seolah-olah itu Rheam yang sedang gue cacah-cacah.

“Gila ya tuh cowok. Masa sih dia sampai sebegitunya pengen ngusir lo. Gue sampai hampir nggak percaya waktu lo cerita tentang Rheam. Secara dia kan cowok super ramah dan santun di sekolah. Apalagi dia ganteng banget, populer, trus pinter lagi. Pokoknya perfect deh. Emang dia punya dendam apa sama lo, Lun?”

Gue cuma angkat pundak menanggapi komentar Marin sambil menyedot es jeruk dengan muka masam. Gue lagi sebel banget sampai-sampai males buat ngomong.

“Mana ada manusia yang perfect di dunia ini. Jangan menilai orang dari penampilan luarnya doang. Orang bisa saja baik di muka busuk di dalam.” Luca mengomentari.

“Jyaah Luca, napa lo ikutan sewot? Lo perhatian banget ya sama Luna. Jangan-jangan lo suka kan sama Luna, benar kan ayo ngaku??” goda Marin ke Luca yang kontan langsung membuat muka Luca bersemu merah.

“Apaan sih lo, kan wajar sebagai teman ikut khawatir. Emang salah ya kalo gue khawatir sama keadaan Luna. Lo juga sama kan?” balas Luca berusaha menyembunyikan rasa malunya dari gue dan Marin. Marin memang sudah biasa bercanda seperti ini pada Luca. Namun Luca tatap salah tingkah tiap kali Marin berkata kalau Luca suka sama gue. Kalau sudah begitu pasti wajah Luca bersemu merah bak kepiting rebus. Gue sih fine-fine aja menanggapi mereka. Gue malah ikutan cekikikan bareng Marin saat melihat muka Luca merah padam karna malu. Serius, lucu banget.

“Aduh, ngaku aja kali Luc. Luna juga nggak bakalan marah kok. Iya kan, Lun?”

“Hihihi..” gue cuma cekikikan aja.

“Apaan sih, nggak kok. Udah deh lo nggak usah ngebahas ini.” Luca melirik ke gue takut-takut sambil tetap salah tingkah.

“Ok deh ok, kan cuma bercanda doang dan seenggaknya kita udah berhasil buat Luna nggak ngambek lagi. Tuh buktinya sekarang dia udah bisa cengengesan.”

Marin tersenyum manis ke gue dan gue pun balas tersenyum manis ke dia dan Luca. Kami bertiga memang sudah bersahabat sejak SMP. Dari kelas satu sampai kelas tiga SMP kami selalu sekelas begitu pula ketika masuk SMA kami terus sekelas hingga saat ini. Sekarang kami duduk di kelas 1IPA5. Marin tipe cewek periang dan pandai bergaul dan Luca adalah tipe cowok pemalu tapi imut dan kadang suka grogi. Mereka senantiasa menjadi sahabat karib gue. Kami bertiga selalu melakukan hal apapun bersama. Gue udah anggap mereka seperti  saudara sendiri kecuali Rheam tidak termasuk dalam hitungan. Amit-amit deh gue juga nggak mau ngakuin Rheam sebagai saudara tiri ke temen-temen kecuali hanya pada Luca dan Marin. Gue nggak mau punya saudara sadis kayak dia.

“Gue nggak ngambek lagi karna gue nggak mau berlarut-larut mikirin Rheam. Soalnya selain ketimpa sial hari ini gue juga baru ketimpa mujur. Hehehe…”

“Eh ketimpa mujur apaan? Emang lo baru dapet apa, Lun?” tanya Marin penasaran.

“Beneran pengen tau?”

“Iya, kasih tau dong!” desak Luca. Gue sengaja memancing rasa penasaran mereka karna gue memang suka membikin orang lain penasaran. Hehe. Jahil juga ya gue.

“Udah, cepetan deh kasih tau!”

“Ok ok.. tadi pagi gue baru ketemu malaikat …”

“Lun, maksudnya lo baru saja mati suri gitu?” Marin tiba-tiba saja memotong kata-kata gue sambil terkejut.

“Bukaaan ..!! Makanya lo dengerin kata-kata gue dulu sampai selesai. Tadi pagi gue ketemu cowok super ganteng di halaman belakang sekolah pas telat masuk kelas. Mukanya cakep banget mirip malaikat gitu deh.” Cerita gue dengan antusias ke kedua sohib gue. Tentu saja gue nggak bakal ceritain kejadian memalukan saat muka gue nyrungsep ke tanah pas ketemu dia. Bisa tengsin dua kali ntar.

“Trus..trus..??” tanya Marin penasara.

“Dia tinggi, cakep, putih, keren dan… bule!”

“Lho, itu bukannya ciri-ciri Rheam?”

“Gue nggak lagi ngomongin Rheam!!!” bentak gue sewot.

Ugh, kenapa juga harus Rheam lagi Rheam lagi. Emang di dunia ini cuma Rheam doang yang punya ciri-ciri kaya gitu. Ih, gue jadi illfeel lagi kan.

“Iya deh non, sorry lanjutin.”

“Menurut gue dia tuh cowok paling cakep yang pernah gue liat seumur idup.”

“HAH YANG BENER??”

“Emang secakep apa sih cowok yang lo lihat?” tanya Luca bernada kesal.

“Cakep banget. Lo berdua harus liat sendiri tampangnya biar pada tau.”

“Gue pengen liat, gue jadi penasaran.” Kata Marin.

“Gue liat pun juga nggak bakalan tertarik. Gue kan nggak homo.” Timpal Luca.

“Iya ya, Luca kan tertariknya cuma sama Luna doang.”

 “Hahahaha…”  Marin dan gue tertawa serempak. Luca akhirnya mingkem tak berkutik hanya wajahnya saja yang berubah merah lagi seperti kepiting rebus.

“Eh, dia anak sekolah ini juga lho!” sambung gue.

“Cowok ganteng yang lo temui itu? Yang bener?”

“Ya iya lah..emang lo kira tukang kebun apa mentang-mentang gue ketemunya di pekarangan? Trus ngapain juga ada orang luar iseng masuk area sekolah apalagi cowok secakep dia kalau bukan murid sini.” jawab gue sewot.

“Tapi gue kok gue nggak pernah liat cowok yang lo sebutin ciri-cirinya itu sebelumnya ya?”

“Dia anak baru.” Jawab gue singkat.

“Serius lo?”

“Dua rius malah.”

“Yeeee asik dong.” Teriak Marin girang.

“Nggak asik!!” seru Luca

“Kenapa? Pasti cemburu ya?”

“Nggak kok.” Luca coba mengelak dengan muka memerah (lagi-lagi!). Tawa gue dan Marin pun membahana.

Pas gue lagi asik bercanda dengan Marin dan Luca. Gue lihat Rheam lagi ngelihatin gue di depan kantin dengan wajah nyeremin. Gue langsung merinding.

“Eh, gue ke toilet bentar ya.” Kata gue langsung cabut begitu saja tanpa menunggu jawaban dari Marin ataupun Luca.

“Ok, ati-ati ya!” teriak Marin dari jauh.

Gue emang sengaja menghindari Rheam jika di sekolah karna gue benci banget sama Rheam. Lihat mukanya saja udah bikin sebel. Apa lagi kalau deket-deket bisa epilepsi ntar. Jadi sebisa mungkin gue harus jaga jarak sama dia. Kecuali disaat-saat tak terduga kaya tadi pagi ya itu sih gue nggep musibah.

Gue nggak jadi ke toilet karna emang nggak lagi kebelet sih. Tadi cuma pura-pura doang. Sekarang gue lagi jalan-jalan di sekitar taman tanpa arah tujuan. Tiba-tiba mata gue menangkap sosok Lloyd yang sedang berada di lantai dua. Tampaknya dia sedang mengecek ruang kelas. Gue mengamati dia sejenak. Lalu tanpa sengaja cowok cakep itu melihat ke bawah dan dia melihat gue. Langsung saja gue lambein tangan.

“Hey!” sapa gue. Tapi kok dia nggak ngerespon ya? Ih masa si dia nggak nyadar ada gue. Tapi gue yakin kok kalo tadi dia liat gue. Dia lalu alihin pandangannya lagi ke lain tempat. Sialan masa gue dicuekin sih. Akhirnya dengan muka jutek gue balik lagi ke kantin.

Esok paginya gue udah stay pagi-pagi dikelas bareng Marin dan Luca. Gue sengaja berangkat pagi sehabis sarapan dengan terburu-buru jadi ortu nggak sempat nyaranin gue berangkat bareng Rheam. YESS!!

Gue lagi asik ngobrol ngalor ngidul bertiga tiba-tiba wali kelas datang bareng seorang cowok yang nggak asing lagi dimata gue. Lloyd!

“Semuanya duduk tenang, hari ini kita kedatangan murid baru.” Kata wali kelas coba menenangkan kegaduhan yang terjadi dalam kelas karena sudah bisa ditebak cewek mana sih yang nggak bakal histeris melihat ada makhluk super tampan dihadapan mata mereka. Lain lagi dengan para cowok di kelas yang turut ribut karena penasaran dengan apa yang sedang diributkan para cewek. Yee sama aja dong!

Setelah suasana cukup kondusif, Lloyd mulai angkat bicara.

“Selamat pagi, Saya Lloyd Ashton, murid pindahan baru di sekolah ini. Salam kenal.” Kata Lloyd memperkenalkan diri dengan singkat tapi membuat penasaran. Cewek-cewek penghuni kelas mulai ribut lagi sambil bisik-bisik setelah mendengar suara merdu milik Lloyd. Bahkan ada yang sampai histeris. Set dah lebay.
Gue dengan tenang mengamati dari jauh karna tempat duduk gue emang kebetulan rada belakang.

“Tenang, semuanya tenang. Kembali ke tempat duduk masing-masing!” bentak wali kelas.

‘Sukurin lo pada, suka sok kecentilan sih!’ lho kok malah gue yang jadi sewot? Untung gue cuma ngomong dalam hati doang.

“Lloyd, silakan duduk di tempat duduk yang masih kosong di sebelah sana.”

DEG!

Dia pasti lihat gue. Coz tempat duduk masih kosong yang dimaksud berada di sebelah Luca dan berseberangan dengan tempat duduk gue. Gue duduk semeja bareng Marin.

Aduh, jantung gue kenapa kok lonjak-lonjak gini sih. Entar kalo copot gimana?

Lloyd pun dengan pasti melangkah semakin mendekat dan gue semakin salah tingkah. Aneh banget kenapa gue ngerasa nervous begini. Ketemu juga baru dua kali termasuk hari ini. Ok, tiga kali kalo pas waktu istirahat kemaren dihitung. Tapi harusnya gue nggak perlu segrogi ini kan. Walau gue patut malu kalo mengingat-ingat kejadian kemarin. Ampun deh nggak mau ingat-ingat lagi. Malu-maluin.

Lloyd sekarang udah duduk di seberang gue. Gue nggak tau kapan dia udah ada disana karna gue barusan tutup mata. Gue intip ke seberang hati-hati dan melihat Lloyd duduk tenang menghadap depan. Aslinya pengen gue sapa, tapi guru matematika udah terlanjur datang. Gue urungkan niat untuk sementara.

Dua jam pelajaran akhirnya kelar juga. Saatnya ganti pelajaran olahraga. Yes, gue bersorak gembira karna sudah lepas dari pelajaran yang paling gue benci itu. Anak cewek berganti pakaian di ruang ganti khusus cewek. Sedangkan anak cowok biasanya cukup berganti pakaian di kelas walau sebenarnya sudah ada juga ruang ganti khusus bagi cowok.

Gue lari mengitari lapangan penuh semangat beriringan dengan Marin disebelah gue disusul dengan Luca yang masih tertinggal agak jauh di belakang. Kasihan sekali Luca. Kayanya dia nggak bakat olahraga deh.

Selama pelajaran olahraga berlangsung mata gue mencari-cari sosok Lloyd tapi nggak ketemu-temu. Kemana sih tu anak? Heran deh. Pandangan gue bereadar ke seluruh penjuru lapangan. Akhirnya gue temukan sosok yang gue cari-cari di bawah pohon rindang di pinggir lapangan. Lagi-lagi dia tertidur saat jam pelajaran.

Gue berlari menghampirinya kemudian berdiri tepat di depannya. Dia masih saja tertidur dengan pulas bagai malaikat yang sedang kelelahan. Tapi walau sedang tertidur begitu wajahnya tetap kelihatan tampan. Memang dasar cowok cakep lagi apapun tetep aja cakep.

“Hey, ayo bangun! Kenapa malah tidur saat jam pelajaran mentang-mentang guru olah raga nggak datang?” kata gue sambil berkacak pinggang.

Dia mengerjapkan matanya terbangun dari mimpi seperti orang yang sedang terganggu. Gue tetap berdiri dihadapannya dan menanti reaksi dia selanjutnya. Dia akhirnya membuka mata dengan sempurna dan menatap gue dengan kedua bola mata indah itu.

“Kamu siapa?” tanya dia.

“Hah?” gue kaget mendengar pertanyaannya.

“Lo nggak inget sama gue?” gue balik nanya.

“Maaf aku lupa.” Jawab dia datar.

WHAT THE F**K?? Kenapa dia bisa lupa? Padahal kemarin jelas-jelas kita ngobrol cukup lama waktu gue anterin dia ke ruang kepala sekolah. Masa si sekarang dia sudah lupa sama gue? Apa barusan dia gagar otak abis ketimpa batang pohon jatuh gara-gara tidur dibawah pohon? Tapi gue lihat disekeliling nggak ada batang pohon jatuh tuh. Kok dia bisa lupa ya?

“Kita kemarin sudah pernah ketemu.” Gue coba mengingatkan.

“Oh, kamu cewek yang waktu itu?”

Hah, ternyata dari tadi dia nggak ingat tampang gue. Percuma dong gue dag-dig –dug dor. Pantesan juga kemarin dia nggak ngerespon waktu gue panggil dari lantai bawah. DIA LUPA SAMA GUE!!

“Iya, itu gue.” Kata gue setenang mungkin berusaha bersikap biasa walau sebenarnya sangat kaget dan kesal. “Gue cuma mau ngembaliin ini ke elo.”

Gue sodorin saputangan dia kemarin yang sudah gue cuci bersih di rumah. Lloyd menerima saputangan tersebut.

“Thanks … hmm …” Llyod mencoba menyebutkan nama gue namun ia masih belum bisa mengingat-ingatnya.

“Lo pasti lupa juga nama gue kan?”

“DENGAR!”

Gue berdiri memperbaiki posisi sambil mengacungkan jari telunjuk tepat dihadapannya.

“Ingat ini baik-baik. Nama gue Luna Kataluna. Dan gue pasti akan buat elo nggak akan pernah lagi melupakan nama gue setelah ini.”

WUUUUUUSSSSSS.. Semilir angin menerbangkan dedaunan kering disekitar dan menerpa tubuh kami berdua. Gue tersenyum percaya diri pada Lloyd kemudian membalikkan badan dan berlari lagi ke tengah lapangan. Gue pasti bakal buat Lloyd ingat nama gue untuk seterusnya. Ya, gue yakin itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar