Pages

Jumat, 29 April 2011

Sam Roder, I think I love you... (Chapter 3)

Story by Ohanashio from Storywrite
Translated by Sierra

Soundtrack : This Love by Maroon 5

Rasanya menyenangkan sekali hari ini aku tidak ada sekolah. Aku melompat dari atas tempat tidur dan pergi keluar mengambil koran untuk mom ketika kusadari ada sebuah amplop terselip di kotak surat. Sesaat setelah aku melihat nama yang tertera di amplop aku melupakan koran yang hendak kuambil. Kenapa? Kenapa ini harus dari dia? Kuputuskan untuk tidak membukannya dan kembali ke kamar untuk menyimpan amplop itu di laci. Untuk mengalihkan pikiranku aku segera mengeledah tas dan mengeluarkan buku matematika.



Walaupun begitu, lama-lama aku menjadi bosan dan kembali memikirkan apa yang ada didalam amplop tersebut. Kira-kira apa yang dia mau? Rasa penasaran mengalahkanku, aku pun segera membuka laci dan mengeluarkan isi surat dalam amplop. Sebuah catatan tertera di kertas.

Datang ke taman jam 10. –S.R.

Aku menyesal setelah membaca surat itu. Bisa saja itu dari orang lain, pikirku. Aku mencoba memikirkan seseorang yang kukenal dengan inisial S.R tapi tak satupun yang terlintas. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 8:30. Well, ini bukan semacam kencan atau apapun. Aku mencoba menyakinkan diriku namun sayang tidak berhasil.

“Sayang, apa kamu sudah bangun?” mom memanggil dari dapur.

“Yeah! Oh, aku akan pergi mengunjungi teman pukul 10.” Kataku, tersenyum canggung ketika menyebut kata “teman.”

“Okay, sayang.”

Lebih baik aku menganggap ini bukan sebagai kencan. Di lemari bajuku terdapat banyak sekali baju, tapi tak satupun yang ingin kukenakan. Huh, aku membuang sepasang baju yang baru kupilih. Akhirnya ketetapkan memakai kaos warna kuning pudar dari Abercrombie dengan paduan celana jeans biru laut dan jaket berwarna biru. Bagus, aku kelihatan ok.

Pukul 9. Aku mulai panic, tapi aku berusaha menyembunyikannya agar mom tidak curiga. Kenapa waktu cepat sekali berjalan? Tic tic tic. Jam menyiksaku sehingga kuputuskan untuk duduk saja sambil menonton TV. Aku sama sekali tidak memperhatikan Spongebob di layar TV, yang kulakukan hanya menatap kosong ke jam digital di DVD player.

“Reyna, aku akan pergi ke supermarket lalu mengunjungi nenek. Kamu lebih baik pulang sebelum jam 9.” Mom berkata sambil berjalan ke ruang tamu.
“Tentu mom.”

Mom pun pergi, tepat pukul 10:00. Tunggu, pukul 10:00? Astaga sudah jam 10! Kuraih handphone ku dan mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah. Segarnya udara pagi membelai wajakku. Mengejutkan sekali tidak melihatnya keluar dari samping rumah. Kulihat taman masih sepi, bahkan oleh kicau burung sekalipin. Aku mulai tak yakin kalau dia datang. Maksudku, di catatan tidak tertulis hari Sabtu. Mungkin maksudnya bisa saja hari Minggu atau hari yang lain. Ketika aku masih merenungkan hal tersebut, apa yang paling kuduga-duga selama ini terjadi dan aku masih saja kaget setengah mati.    

“Boo!” dia berseru melompat dari samping pohon dan membuatkku terperanga.

Aku hampir saja pingsan. Jantungku berdegup kencang seperti seperti hampir copot. Dia menggandeng tanganku dan mulai berjalan, mengayunkan tanganku. Tanganku mulai berkeringat. Kuharap dia tidak mengetahuinya.

“Jadi, kau mengundangku di hari Sabtu. Apa maumu?” tanyaku.

“Aku tak tahu. Kurasa aku hanya mau jalan-jalan saja dengan seseorang.” Dia menjawab asal-asalan.

“Yeah, seseorang. Kenapa harus aku?”

Kali ini wajahnya memerah. Whoa, aneh sekali melihat cowok sepertinya malu-malu seperti itu. Menggemaskan. Tunggu. Aku tidak barusan berpikir seperti itu. Ah ha. Aku hanya…berpikir sesaat.

“Kukira… Aku ingin jalan-jalan denganmu…”

Rasanya sangat canggung sekali berada disampingnya saat ini. Kami berdua terdiam dan aku hanya memandangnya.

“Karena kamu itu cewek aneh!” katanya berusaha menghilangkan kecanggungan.

“Aku, aneh? Kamu lebih aneh!”

Dia tertawa dan tiba-tiba bertanya apakah aku mau melihat rumahnya. Padahal baru tiga hari ini aku berjumpa dengannya dan dia sudah berani mengajakku berkunjung ke rumahnya. Well, ini tidak akan menyakitkan, kan? Sebenarnya ini bisa saja menyakitkan. Tapi sesuatu dalam diri cowok ini membuatku ingin tahu lebih banyak.

“Boleh,” kata ku, berusaha bersikap tenang.

Seutas senyum terpancar diwajahnya dan dia segera menyeretku sepanjang jalan.

“Ini dia”

Rumahnya cukup besar. Lebih besar dari rumahku. Rumput dihalaman rumahnya digunting dengan rapi dan pintu rumahnya yang besar terbuat dari kayu. Rumahnya dicat dengan warna yang bagus yang mengingatkanku akan warna gurun.

“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kamu akan masuk kan?” Tanyanya

Masuk? Aku tidak berpikir seperti itu. Tapi rasanya tidak sopan untuk berkata tidak jadi aku mengikitinya masuk kedalam rumah. Ruang tamunya besar dengan ubin yang cukup simple namun memiliki perabotan yang unik seperti sofa yang terlihat tidak biasa, dua kursi dengan sandaran tangan yang lembut, sebuah tungku api antik, dan lemari kaca yang berseni. Aku tidak menyangka rumahnya akan sangat menakjubkan seperti ini.

“Wow,”

Kamu tahu huh? Ibu ku suka barang-barang seperti ini. Kamu mau sesuatu?”

Dia membuatku super nervous. Ini aneh sekali. Rasanya aku tidak pantas berada disini. Maksudku, kami bukan… sepasang kekasih. Kamu tidak bisa begitu saja jatuh cinta setelah dua setengah hari. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Terutama pada kasus ini. Aku baru menyadari Sam sedang memandangku dengan tatapan bingung diwajahnya.

“Oh, Um. Yeah, maksudku.. uh. Aku tidak butuh apa-apa.” Aku tergagap. “Well, uh, rumah yang bagus. Aku harus menyelesaikan PR ku jadi yeah. Bye.”

Lebih baik pulang kerumah dan berpikir. Rasa nervous ini baru bagiku. Aku sama sekali belum pernah memiliki pacar atau teman cowok.

“Kamu bisa menyelesaikan PR mu di hari Sabtu,” katanya. Kerlipan misterius lagi-lagi terpancar dari matanya.

Sialan, apa yang akan dia lakukan kepadaku? Tidak, tidak, aku coba meyakinkan diriku. Aku menghembuskan nafas lega ketika dia menyarankan,

“Ayo pergi keluar.”

“Yeah, tentu.”

Aku menjejalkan tanganku kedalam kantong baju sehingga dia tidak akan dapat menggandeng tanganku lagi. Tanganku berkeringat dengan deras.

“Hey, Sam.” Sebuah suara tak dikenal menyapa dari belakang. Kepala Sam menoleh bersamaan denganku. Seorang cowok seumuran dengan kami berjalan menghampiri. Kupikir aku mendengar Sam mengumpat perlahan.
“Aku bilang hey, Sam. Dan kulihat kamu bersama seorang cewek.”  kata cowok itu, berdiri didepanku.

“Pergi, mark!”  kata Sam menggertakkan giginya.

Apa yang terjadi? Siapa cowok ini? Terlalu banyak pertanyaan!

“Kulihat kamu masih memiliki sifat yang sama seperti dulu, Sammy. Dan siapa cewek ini?”

“Diam, Mark. Dan jangan panggil aku Sammy.”

Cowok itu berusaha meraihku dan aku reflek menghindar. Ew

“Siapa namamu?” tanyanya. Mengalihkan perhatiannya padaku sekarang.

“Diam dan pergi saja atau kubuat kau mencolokkan tanganmu sendiri ke hidungmu.” gertak Sam.

“Siapa namamu?” Mark mengulang lagi pertanyaannya, mengabaikan Sam yang sedang marah.

“Reyna.”

Mark berusaha menyentuhku tapi kali ini Sam menghentikannya. Please jangan terjadi pertumpahan darah. Aku sedikit memundurkan langkah.

“Kamu mau datang kerumah bersamaku, Reyna?” ejek Mark.

Tiba-tiba tangan Sam sudah meninju hidung Mark dan hidungnya mulai mengeluarkan darah. Bagus sekali Sam!

“Geez, Sammy. Aku hanya bercanda.” Mark berkata sambil mengelap hidungnya.

“Pergi!”

“Baiklah, Sam.”

Mark berjalan pergi dan meninggalkan kami dibalik punggungnya. Dumbo! Aku memandang wajah Sam. Matanya berkobar api kemarahan dan membuatku ketakutan.

“Siapa dia, Sam?”

“Sampai jumpa di sekolah, Reyna.” Sam menjawab, berjalan kembali kerumahnya.

Aku tidak susah-susah menghentikannya. Kepalaku pusing oleh pertanyaan tentang Sam dan apakah dia baik-baik saja. Tapi pertanyaan yang paling besar ialah : Kenapa aku perduli sekali akan hal itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar