Pages

Rabu, 07 September 2011

Dangerous Lover (Chapter 2)

2Soundtrack : Young (Original and Acoustic Version) by The Summer Set

Apa kau percaya vampire itu nyata? Kalau pertanyaan itu ditujukan padaku, jawabannya ya. Aku tak pernah mempercayai vampire itu nyata sebelum aku bertemu salah satunya. Ok, tepatnya dua diantaranya. Dan aku hampir saja menjadi korban gigitannya kalau tidak ada yang datang menyelamatkanku. Nathanael. Dialah orang itu. Dan orang yang kupikir paling kupercaiyai ternyata dialah yang paling menginginkan darahku.

Aku tak pernah menduga Terrence adalah seorang vampire yang begitu haus darah. Maksudku, lihat dia. Dia begitu baik pada siapa saja dan kelihatannya semua orang menyukainya, tak termasuk hubungannya dengan Nathan. Lepas dari itu Terrence adalah orang terakhir yang akan kau curigai sebagai penjahat. Ternyata itu salah besar. Dan yang membuatku sangat sedih, ternyata selama ini dia mendekatiku hanya untuk memiliki kesempatan menghisap habis darahku.

Aku berjalan gontai ke kelas tanpa ada semangat mengikuti pelajaran pertama di kelas fisika. Semalam, Nathan lah yang mengantarku pulang. Kami tak banyak bicara. Hanya ada kelengaan selama perjalanan. Sebenarnya ada banyak pertanyaan di kepalaku, tapi rasa syok lebih besar menguasaiku sehingga mulutku seperti terkunci. Kejadian semalam begitu cepat. Aku masih menganggapnya hanya sebagai mimpi. Tapi mimpi itu terlalu nyata jika hanya kuanggap sebagai bunga tidur. Atau mungkin lebih tepatnya nightmare.

Debs menghampiriku dan tak butuh waktu lama untuknya menyadari ada yang berbeda denganku.

“Hey Kelsey, apa kau baik-baik saja? Kau nggak keliatan ceria hari ini.”

“Yah, aku hanya punya masalah kecil.” Jawabku bohong. Sebenarnya ini adalah masalah yang besar kalau menyangkut nyawamu.

“Awh, tunggu tunggu.. Jangan bilang Terrence mendepakmu. Kau nggak sungguh-sungguh kan? Apa kalian sudah pacaran lalu tiba-tiba dia naksir cewek lain? Jika iya, itu menyedihkan sekali. Tapi jangan terlalu bersedih my dear. Kau tahu Terrence sejak awal memeng sulit dijangkau. Maksudku itu hal wajar jika Terrence menggoda cewek-cewek yang lebih keren..err.. jangan marah aku mengatakannya.” Kata Debs setengah canggung.  

“Tidak Debs, ini masalah lain.. hmm..” Aku tak yakin akan menceritakan kejadian sebenarnya pada Debs. Tapi untungnya dia menyelaku.

“Hey lihat apa yang ada di lehermu.. Itu seperti..”

“Hanya luka gores kecil.” Aku segera menutupi leherku dengan baju. Terrence memang belum sempat menggigitku tapi taringnya sudah sedikit menggores leherku.

“Terkena cabang pohon saat bermain di kebun saudaraku.” Kataku bohong, lagi-lagi.

“Kau punya saudara disini?” tanya Debs ragu.

“Yah, bibiku tinggal disini. Kami jarang mengunjunginya sebelum pindah kemari.”

“Oh, kau harus hati-hati lain kali.”

Untungnya percakapan ini segera berakhir saat Mrs. Jakie masuk keruangan dengan membawa beberapa alat peraga. Aku sedikit berterima kasih padanya. Walau ini kali pertama aku mengikuti kelasnya. Aku sempat salah kira ketika melihat nama di kertas jadwal. Kupikir mereka salah mengetikkan kata Mr menjadi Mrs. Tapi wanita muda yang berdiri di depan kelas ini kelihatannya cukup menyengkan. Kita lihat saja nanti.

Pelajaran fisika berakhir dan pelajaran selanjutnya berlangsung cukup membosankan dibanding pelajaran di kelas pertama.

Saat istirahat aku pergi ke kantin sendirian karna Debs bilang ada urusan. Aku mengambil makananku dan duduk disalah satu meja yang tak terlalu ramai. Menikmati makan siangku dalam kesendirian sebelum aku melihatnya datang menghampiriku.

Nathan duduk dihadapanku. Aku tak bergeming sedikitpun. Kemudian ia mulai membuka mulut untuk bicara.

“Apa kau baik-baik saja?” itu kata-kata pertama yang diucapkannya. Yah, aku tahu itu hanya sebagai sapaan formal yang umum dikatakan. Aku juga mendengar Debs mengatakannya. Tapi kalau kau minta jawabanku secara jujur, jawabannya tidak.

“Kau tahu aku tidak baik-baik saja.” Kataku, berusaha bersikap untuk tidak terlihat terlalu menyebalkan dihadapannya. Bagaimanapun dia sudah menyelamatkan nyawaku.

“Yeah, aku tahu.” Ekspresinya berubah sedikit kecewa. Ternyata aku gagal menyembunyikan sikapku.

“Itu bukan salah mu,” kataku cepat. “Itu salahku karna tak mendengarkan ucapanmu..hmm.. maaf..”

“Tak perlu minta maaf. Harusnya aku tak meninggalkan Terrence sendirian malam itu. Aku sedikit ceroboh.” Katanya pelan.

“Kemana kau?” aku keceplosan bertanya yang seharusnya tak perlu kutanyakan padanya.

“Hanya ke sesuatu tempat..” dia nampak urung mengatakannya.

“Tak perlu mengatakannya kalau tak mau, yeah setidaknya kau datang tepat waktu,” kataku.

“Yeah, kau benar. Aku punya banyak hal untuk dilakukan,” katanya bercanda.

Aku menimang-nimang apa yang harus kukatakan. Kemudian kata-kata itu terucap dari mulutku begitu saja,

“Jadi, kau juga..” aku memutus kata-kataku.

“Seperti Terrence.. Yeah cuma ada sedikit bedanya. Kau tak mengharapkanku bercerita di sini kan?” katanya sambil memberi isyarat, mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Aku tahu,”

“Mau kesuatu tempat?” tawarnya. Dia berdiri dan aku mengikutinya. Aku tak tahu kenapa aku mengikutinya. Yang ku tahu sesuatu dalam diriku menghendakinya. Mungkin karna rasa penasaran ingin tahu tentang hal yang sudah melibatkanku didalamnya.

Dia membawaku ke taman tak jauh dari gedung SMA. Disini suasanya lumayan lengang dibanding tempat ramai manapun di lingkungan sekolah.

“Kau akan mulai menceritakannya?” tanyaku. Entah mengapa perasaanku sedikit berbeda saat hanya berdua dengannya. Ada sedikit rasa cemas menghinggapiku. Bagaimanapun dia juga seorang penghisap darah sama seperti Terrence.

“Apa yang ingin kau tahu?” tanyanya.

“Ceritakan padaku semuanya. Ceritakan tentang kau dan Terrence. Kenapa Terrence mau menghisap darahku..” suaraku tercekat di tenggorokan.

“Terrence tidak hanya mengincarmu. Dia sudah sering memangsa cewek-cewek malang lain sepertimu.”

Aku tidak terima disebut malang tapi karna masih ingin mendengarkan ceritanya jadi aku tak menyelanya.

“Dia terlalu haus akan darah.. memang tak bisa dipungkiri, kami bertahan hidup dengan menghisap darah.” Jelas Nathan. Mukanya berubah serius.

“Jadi kamu.. kamu pun demikian.. karna kamu juga..”

“Ya,” jawabnya.

Aku tak tahu apa yang harus kukatakan selanjutnya. Disatu sisi aku berusaha mempercayainya karna tindakannya menolongku disisi lain aku juga merasa takut berada di dekatnya. Aku sudah satu kali melihat wajah menyeramkan sang penghisap darah ketika taring-taring itu muncul dan mata merahnya yang menatapku penuh aura membunuh. Sangat mengerikan. Apa Nathan juga begitu saat ia memangsa buruannya? Tapi dia bilang dia berbeda..apa maksudnya?

“Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku tak memangsamu seperti Terrence, bukan?”

“Ya,” jawabku.

“Sebenarnya aku juga punya dorongan kuat melakukan hal itu. Tapi aku berusaha keras menahannya.”

Aku tertegun.

“Aku tak mau jadi seperti Terrence. Hidup menjadi seorang penghisap darah sudah cukup membuatku menderita. Aku tak mau semakin terbebani oleh rasa bersalah karna telah membunuh orang-orang tak berdosa.” Katanya penuh kepedihan. Suatu perasaan iba tumbuh dalam diriku. Aku seperti ingin memeluknya. Mencoba meringankan sedikit penderitaannya tapi tak tahu bagaimana harus melakukannya.

“Kau tak membunuh makhuk hidup? Lalu bagai mana caramu bertahan hidup?” tanyaku.

“Bukan manusia. Aku tak memangsa manusia. Aku memangsa hewan-hewan yang bisa kutemui seperti burung dan lainnya. Aku bisa berburu rusa di hutan jika tidak sedang di kota. Sayangnya di kota sudah jarang binatang liar dan burung pun sudah semakin sedikit. Tapi Terrence berbeda, dia lebih memilih menuruti dorongan alaminya sebagai vampire untuk menghisap darah manusia. Semua klan vampire menghisap darah manusia. Hanya sedikit yang memilih memangsa hewan-hewan sepertiku. Darah manusia lebih menyegarkan ketimbang darah hewan bagi vampire. Itu lah sebabnya aku berusaha keras tidak bergaul dengan manusia sepertimu.”

Ah, sekarang aku tahu sebabnya dia selalu bersikap ketus padaku. Dia berusaha keras menahan dorongan nafsunya untuk memangsa mangsa utamanya. Manusia.

“Kenapa kalian bisa ada disini?” aku bertanya kembali.

“Dulu kami tinggal di Skotlandia di sebuah desa terpencil yang ada di sana. Keadaan cukup damai selama beberapa waktu. Aku bisa menemukan banyak hewan di hutuan untuk kumangsa tapi lain halnya dengan keluargaku. Penduduk desa semakin hari semakin berkurang karna banyak yang mati dimangsa vampire. Lalu mereka mulai mencurigai kami. Bukan salah mereka. Memang keluarga kami lah yang melakukannya. Kami mengalami situsi yang buruk untuk beberapa saat. Lalu orangtua ku memutuskan mengirimku dan Terrence ke sini. Sebelumnya bukan disini. Kami selalu berpindah-pindah dari kota ke kota lain. Di kota besar, penduduknya lebih plural jadi kami tak gampang dicurigai. Kemudian untuk seterusnya kami menjalani kehidupan seperti ini.” Dia terlihat begitu resah menceritakan masa lalunya. Cowok yang sebelumnya kuanggap sebagai orang menyebalkan ternyata jauh di dalam menyimpan beban yang lebih berat dari yang mungkin orang lain pernah rasakan. Hidup sebagai vampire yang harus menahan diri dan terus diburu jika orang lain mengetahui identitasnya pastilah sangat berat. Apalagi dia harus selalu berpindah tempat. Sampai kapan akan terus begitu..Tiba-tiba pertanyaan itu muncul di otakku.

“Kau bilang..orang tuamu mengirimkanmu kemari. Apa mereka juga tinggal disini?”

“Tidak, hanya kami berdua yang pergi. Mereka bilang lebih aman jika kami sendiri. Mereka sekarang ada disuatu tempat yang tak pernah diberitahukannya pada kami. Aku yakin mereka memiliki alasan tepat untuk tidak tinggal bersama kami.”

“Apa kau menderita..?” pertanyaan bodoh. Harusnya aku tak menanyakannya melihat ekspresi penuh rasa sakit yang terpancar di wajahnya.

“Apa aku perlu menjawabnya?” tanyanya.

“Sorry,” kataku, tahu persis jawabannya.

Kami terdiam sesaat. Lalu aku mulai bertanya lagi,

“Kenapa kau bisa jadi vampire? Apa memang sudah begitu sejak lahir?” Aku penasaran. Aku melihat ekspresi segan di wajahnya “Hmm.. apa kau akan menjawabnya?”

“Tidak, mungkin lain waktu.”

Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya.

“Ok, karna kupikir kau sudah cukup puas tau tentang kami sebaiknya kita kembali.” Katanya mengalihkan perhatianku. Aku mengikutinya berjalan menuju ke gedung SMA. Rasanya canggung berjalan di sebelahnya setelah dia menceritakan semuanya. Ok, tidak semuanya. Tapi setidaknya aku tahu tentang situasi yang terjadi. Kini rasa was-wasku sedikit berkurang padanya. Aku tidak terlalu takut lagi akan dirinya sebagai seorang vampire. Kalau dilihat-lihat, Nathan cowok yang cukup baik.

“Hey, setelah kupikir-pikir, aku tak pernah menjumpai kita sekelas selama ada disini. Apa pelajaranmu selanjutnya?” Tanyaku disela-sela perjalanan kami kembali.

“Tentu saja kau tak pernah melihatku. Aku tak belajar disini,” katanya enteng.

“Tapi katamu.. kau sekolah disini. Apa kau bohong?” tanyaku.

“Aku tidak bohong, tapi tempatku bukan disini. Aku di gedung SMP.”

Aku memberikan tatapan heran padanya.

“Kenapa? Aku baru tiga belas tahun!” Ada semburat merah dipipinya. Dia pasti malu baru saja menyebutkan umurnya.

“Bukan secara harfiah, yah tapi itulah umurku selama ini,” imbuhnya.

“Selama ini..?” aku bertanya heran.

“Sudah lupakan,”

“Hey, jadi kau masih SMP? Tapi tampang kita terlihat seumuran..hmm.. memang sih kalau diamati kau terlihat sedikit lebih muda. Kau benar baru tiga belas tahun?” tanyaku masih tak percaya.

Aku benar-benar tak bisa menahan tawa tapi aku tahu dia sedang kesal. Jadi aku berusaha sebisa mungkin tidak menunjukkannya. Sayangnya aku gagal dan dia semakin bertambah kesal.

“Kubilang lupakan saja.” Katanya dengan ekspresi marah dan muka yang semakin memerah. Lucu sekali.

Kami kembali ke gedung SMA. Sebenarnya hanya aku. Dia berjalan lagi ke gedung SMP. Setelah dia pergi, aku memutuskan masuk ke dalam gedung. Saat sampai di koridor utama aku berjumpa dengan Debs. Dia menarik tanganku dan berdiri didepanku seperti hendak berkonspirasi.

“Tadi aku melihatmu bersama cowok yang kemarin. Dia adik Terrence kan? Sekarang kau tak bisa menghindar lagi dariku. Katakan padaku, Kelsey. Apa sekarang kau beralih mengencaninya?” Debs bertanya curiga.

“Ok, akan kukatakan. Tapi pertama, berhentilah bersikap mencurigakan seperti itu Debs. Dan kedua, aku tidak kecan dengannya. Apa kau sudah gila, Dia masih SMP!”

“Kau kencan dengan anak SMP?” ulang Debs tak percaya.

“Aku sudah bilang aku tidak kencan dengannya.. Ayolah Debs.” Aku menggembungkan pipiku seolah-olah sedang marah. Debs memahaminya.

“Ok, ok. Lalu kenapa kau bicara dengannya?” Debs masih saja curiga. Aku berusaha memikirkan alasan yang tepat untuk menjawabnya. Aku tak mungkin bilang alasan sebenarnya.

“Karna dia mengajakku bicara.” Alasan yang bodoh tapi itu satu-satunya yang dapat terpikir oleh otakku.

“Hmm.. dia tak mungkin mengajakmu bicara kalau tidak punya maksud tertentu. Apa dia suka denganmu? Lalu bangaimana dengan Terrence? Apa kau suka dengannya?” Debs mendesakku dengan beberapa pertanyaan. Aku tak mungkin menjawabnya.

“Sudahlah Debs, hentikan pertanyaan konyol itu.” Aku menggerutu.

“Tidak sebelum kau jelaskan semuanya. Ayolah Kelsey, aku hanya ingin tahu.” Rengek Debs.

Aku tak ingin membuatnya kecewa, tapi aku juga tak ingin menceritakannya. Lalu pertolongan pun datang tak terduga.  Seorang cowok bermata biru hazel datang menghampiri kami. Penampilannya rapi, rambutnya yang sedikit panjang disisir kebelakang dengan jel. Dia memberikan senyum ultra cerah saat melangkahkan kaki menuju tempatku dan Debs berdiri. Matanya terlihat menyipit saat tersenyum. Secara keseluruhan, dia terlihat sempurna.

“Hey, maaf kalo menyela. Aku Jaz, kependekan dari Jasper. Semoga kalian tak keberatan kalau aku hanya ingin berkenalan.” Katanya riang dan bernada sopan. Debs tak mengedipkan mata sekalipun saat memandangnya. Jaz mengulurkan tangannya padaku dan segera kusambut dengan berjabat tangan. Dia menatap langsung  ke mataku dan berjabat lebih lama dari yang kubayangkan.

“Kelsey,” jawabku. Saat aku melepaskan tangannya, dia beralih ke Debs.

“Debora, panggil Debs saja.” Jawab Debs ketika menjabat tangannya. Anehnya dia tak menjabat tangan Debs lebih lama dariku. Atau itu hanya perasaanku?

“Senang mengenal kalian. Aku sudah menunggu saat-saat ini,” kata Jaz.

“Maksudmu berkenalan dengan kami? Awh, kau dengar Kelsey. Betapa manisnya,” komentar Debs.

“Yeah,” hanya  itu jawabku.

“Apa kalian tahu kita sekalas di pelajaran fisika?” tanyanya.

“Kurasa aku tak memperhatikannya,” kataku datar. Debs menyenggol tanganku.

“Kurasa kami hanya kurang cermat. Bagaimana mungkin kami melewatkan cowok sepertimu. Maksudku, kau terlihat mengesankan,” puji Debs.

“Terima kasih. Apa masih ada waktu sebelum pelajaran selanjutnya? Mungkin kita masih bisa berbincang,” tanyanya.

“Yeah, tentu saja.”

Kami berbincang sejenak di tempat itu. Ternyata Jaz cukup menyenangkan. Dia memuji gaya rambutku. Kini aku tak segan lagi tertawa bersamanya. Cukup membuatku lupa akan pengalaman burukku semalam. Kami menghabiskan sisa waktu istirahat dengan mengobrol dan berpisah saat bel berbunyi. Kami tak sekelas di pelajaran selanjutnya. Tapi Debs sekelas dengan Jaz dipelajaran Sastra. Jadi Jaz pergi bersama Debs ke kelas selanjutnya dan aku ke kelasku sendiri.

Saat usai sekolah, aku menata barangku dan bersiap meninggalkan kelas. Aku berjalan sepanjang lorong menuju koridor utama. Aku tak melihat tanda-tanda keberadaan Terrence di sekolah hari ini. Menghembuskan nafas lega, aku meneruskan langkahku menuju pintu keluar dan meninggalkan sekolah. Jaz berlari kecil kearahku. Dia sekarang berdiri di sampingku. Sambil menenteng ranselnya pada salah satu lengan dia menyapaku,

“Hey,” katanya sambil tersenyum.

“Hey,” aku balas tersenyum padanya.  

“Apa kau sengaja mengejarku?” tanyaku.

Dia mengedikkan bahu. “Yeah, apa kau mau kuantar?” tanyanya ramah.

“Apa kita searah?”

“Hmm.. sebenarnya tidak. Tapi aku bisa mengantarmu.”

 Aku berfikir sesaat. Sebenarnya aku sangat senang akan perhatiannya. Aku tak tahu maksud dibaliknya. Tapi dia seperti menaruh perhatian padaku sejak pertama bertemu. Tapi aku juga tak mau ke ge-er an dulu.

“Kalau begitu aku bisa pulang sendiri,” kataku.

“Kau yakin kau tak mau kuantar?” ulangnya sekali lagi.

“Yup, rumahku tak terlalu jauh,” yakinku.

“Ok kalau begitu, sampai jumpa besok.” Dia melambaikan tangan padaku dan berlari pergi. Aku mengamatinya hingga menjauh.

“Sampai jumpa besok,” gumamku. Lalu aku berjalan keluar kompleks sekolah dan menyusuri sepanjang jalan setapak yang membimbingku ke rumah.

Langkahku mantap ketika menapaki jalanan dari batu dan terhenti ketika seseorang mencegatku di sebuah tikungan yang cukup sepi. Terrence. Dia berdiri disana. Memandangku dengan tatapan yang tak bisa kujelaskan. Aku menjaga jarak dengan mundur beberapa langkah. Sebenarnya aku bisa saja lari. Tapi sesuatu seperti menahanku untuk tetap disini.  Bersamanya.

“Terrence..” kataku lirih. Tak tahu bagaimana ekspresi yang tepat menyambut kemunculannya yang tiba-tiba. Atau dia sengaja menungguku?

Dia menyadari ketakutan di mataku. Lalu beringsut maju selangkah.

“Kelsey, tenanglah aku tak akan menyakitimu.” Katanya hati-hati. Percaya setelah dia hampir saja mengeringkan darahku? Aku tak bisa semudah itu melakukannya.

“Aku tahu kau pasti takut melihatku. Kau pasti masih syok dengan kejadian semalam. Aku tak bisa menyalahkanmu..” wajahnya terlihat kusut dan penuh rasa penyesalan. Aku sedikit bersimpati. Tapi aku tak bisa begitu saja luluh karna ucapannya. Bagaimanapun juga dia seorang pembunuh berdarah dingin. Aku teringat lagi akan kejadian semalam bagaimana aku hampir menemui ajalku saat Terrence membuka lebar mulutnya, menunjukkan gigi-gigi taringnya yang tajam dan menatapku dengan sorot mata merah yang menakutkan. Aku tak ingin mengingat-ingatnya lagi. Tapi sayangnya sekarang dia ada persis dihadapanku, menatapku. Walau bukan dengan mata merah yang kemarin, pandangannya tetap saja membuatku bergidik.

“Dengarkan aku.. aku hanya ingin minta maaf. Aku tak akan menyakitimu.  Aku sudah berfikir banyak semalam. Aku menyesal melakukannya. Kau harus percaya.” Kali ini dengan wajah putus asa Terrence menjelaskan. Aku semakin ingin memeluknya.

“Apa kau mempercayaiku?” tanyanya. Aku tak dapat menjawab. Otakku sibuk berfikir apakah aku harus percaya padanya atau meragukan ucapannya. Mungkin bisa saja dia berbohong agar bisa menghisap darahku kali ini.

Dia menyeruak perlahan untuk meraihku. Aku ingin lari. Tapi aku juga ingin tetap tinggal. Aku seperti melihat ketulusan di raut wajah Terrence. Aku masih tak bergerak saat dia beringsut mendekatiku. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu dari atas kepalaku. Aku tahu Terrence juga menyadarinya. Aku menengok keatas untuk melihat apa yang terjadi. Sebelum aku dapat menyadari, sebuah lampu jalan yang terpasang di sisi jalan tiba-tiba pecah diatasku dan kacanya berhamburan ke bawah. Aku tak sempat menghindar, tapi Terrence dengan sigap memeluk erat tubuhku dan melindungi kepalaku dengan tubuhnya. Serpihan kaca kini berhamburan di sekitar kami.

“Apa kau baik-baik saja?” tanyanya penuh ke khawatiran padaku. Aku menganggukkan kepala. Seharusnya akulah yang bertanya apakah dia baik-baik saja. Dia sudah melindungiku dengan tubuhnya.

“Baguslah,” katanya. Ia tampak lega. Sepertinya pecahan kaca tadi juga tidak melukai Terrence.

“Tadi itu.. kenapa bisa seperti itu..” aku angkat bicara.

“Ini aneh, harusnya tak mungkin lampu jalan bisa pecah begitu saja. Aku merasa ada sesuatu yang mengintai kita. Kita harus segera pergi dari sini,” ucap Terrence penuh keseriusan.

Sesuatu? Mengintai? Apakah itu? Aku tak bisa berfikir jernih disaat seperti ini. Aku pasrah ketika Terrence menggandengku untuk meninggalkan tempat itu.

...

catatan : Kalau ada yang memperhatikan gambar Nathan yang ku post sebelumnya dan gambar Jasper di sini. Sebenarnya mereka adalah orang yang sama cuma beda gaya rambutnya saja. Semoga tidak ada yang keberatan dengan itu. Anggap saja mereka orang yang berbeda. Hehe..

1 komentar:

  1. hey, aku suka sekali sama cerita di blogmu especially dangerous love <3
    kayanya jasper itu satu jenis dengan terrence dan nathan ya? dan yang memecahkan lampu itu apakah jasper?

    dan kebetulan aku juga suka cerita vampire. such twilight saga, the vampire diaries and more :D
    lol

    keep posting! i think i'm gonna love your blog :p

    -Fie

    BalasHapus