Pages

Senin, 05 September 2011

HIGH SCHOOL DISASTER (CHAPTER 6)

 Soundtrack : Pour Some Sugar On Me (Def Leppard Cover) by The Maine

Bel berakhirnya pelajaran terakhir baru saja berbunyi tapi bunyinya nggak lebih keras dari debaran di dada gue karna sebentar lagi gue akan berduaan lagi dengan Lyoid. Jangan mikir yang enggak-enggak, maksud gue, gue bakal punya kesempatan buat ngobrol lebih banyak lagi sama dia. Mikirin hal itu buat jantung gue serasa mau copot karena kilasan-kilasan kejadian saat bersama Lyoid yang entah mengapa selalu pada saat yang aneh atau tak terduga.

Ups, kali ini apa akan terjadi hal-hal tak terduga seperti sebelumnya ya? Dalam hati gue menginginkan jawaban iya.

Siku Marin menyenggol tangan gue membuyarkan lamunan gue.

“Lo jadi pergi abis pulang sekolah sama si … malaikat?” Mata Marin bergerak ke sudut kanan ke meja di seberang kami. Mata gue ikut mengekor pandangannya. Tapi yang dicari sudah nggak ada di sana. Hanya ada Luca yang bertemu pandang dengan kami dan mengedikkan bahu. Dimana Lyoid?

Gue bergegas keluar kelas dan menengok kanan kiri. Tak ada Lyoid. Dia pasti pergi begitu bel berdering dan waktu gue masih melamun. Gue berjalan menuju pintu gerbang dan menemukan seseorang berpostur tinggi berambut abu-abu bersandar di tembok sambil menggendong ranselnya pada satu bahu. Gue lekas menghampirinya.

“Kenapa nggak tunggu di kelas?” Pertanyaan percuma karna dia udah langsung melangkahkan kaki jenjangnya begitu gue sampai dedekatnya, menjauhi gerbang sekolah. Gue mengikutinya dari belakang dan mencoba menyesuaikan dengan langkah kakinya yang panjang.

“Mau kemana kita?” sekarang gue udah ada persis di sampingnya.

“Mall?” jawab Lyoid yang lebih terdengar sebagai pertanyaan ketimbang jawaban.

“Mall?” gue mengulangi sekali lagi.

“Kamu tau mall yang ada di dekat sini?” tanyanya.

“Tentu aja.” Tanpa bermaksud bersikap sombong tapi tetep aja ada nada sedikit berbangga pada suara gue.

“Mau cari apa di mall?” kata gue begitu gue dan Lyoid sampai di pintu masuk mall. Tak begitu jauh dari SMA Permata Bangsa. Gue udah pernah bilang kan kalo lokasi sekolah nggak jauh-jauh dari pusat kota?

“Dimana toko alat tulis nya?”

“Di lantai tiga.”

Kami ke toko alat tulis dan Lyoid berada di bagian cat air. Ia memilih-milih beberapa cat air dengan ukuran yang besar dan perlengkapan melukis lain seperti kuas dan palet dengan berbagai jenis ukuran. Dan tak ketinggalan ia membeli kanvasnya.

Wow, nggak nyangka keranjang belanjaan kami udah di penuhi seabrek barang-barang dari toko. Mungkin dia bisa aja beli seluruh isi toko kalau dia mau. Kami kemudian keluar dari toko dan menenteng barang-barang belanjaan itu. Tentu aja tas yang berat Lyoid yang angkat.

“Lo mau ngelukis?” Tanya gue di sela-sela berjalan terpontang-panting ngikutin langkah cepat Lyoid yang nggak terlihat sedikitpun terbebani barang bawaan. Gila nih cowok, kuat amat. Gue aja yang cuma nenteng satu plastik, jalan terseok-seok. Mungkin karna ngimbangin jalannya Lyoid juga kali ya.

“Iya,” jawab Lyoid.

“Lo suka ngelukis?” Pertanyaan bodoh. Udah jelas kalo ia beli alat-alat lukis sebanyak ini dan bilang pengen ngelukis pastinya ia suka ngelukis lah. Napa sih lo Lun dari dulu begok amat.

Tangan gue yang bebas nimpuk-nimpukin kepala gue sendiri.

“Suka,” jawab Lyoid enteng, saakan pertanyaan gue wajar aja. Huff.. syukurlah.

Kami kembali berjalan memasuki apartemen Lyoid. Ini yang kedua kalinya bagi gue tapi kenapa gue masih aja ngerasa gugup melangkahkan kaki ke sini? Jantung gue berdegup kencang seperti hampir melompat dari dada tapi gue berusaha nyembunyiin agar Lyoid nggak curiga. Gila aja Lyoid bakalan denger detak jantung gue.

“Masuk,” kata Lyoid ketika kami sudah sampai di depan pintu apartemennya. Mungkin kalo yang ngomong cowok yang nggak gue kenal dan bertampang mesum gue bakal langsung lari terbirit-birit. Tapi kali ini Lyoid yang ngomong, walau suaranya terdengar dingin, eh maksud gue cool, gue nggak keberatan sama sekali nurutin perintahnya.

Lyoid membimbing gue masuk ke ruangan yang belum diisi banyak barang dan kami meletakkan barang belanjaan di sudut ruangan. Mata gue berkeliling ke sekitar. Ruangan ini luas namun tampaknya belum digunakan untuk ruang apapun. Lidah gue tergelitik untuk bertanya.

“Tempat ini.. mau dijadikan apa?”

Lyoid melirik ke gue di sela-sela acara membongkar barang belanjaannya. Kemudian ia membawa kanvas dari tas dan memasangkannya di kayu penyangga yang diletakkannya di tengah ruangan. Ia juga menyiapkan palet dan cat air serta kuas di meja dan menata kursi lipatnya pula di depan kanvas.

“Ini akan jadi studio lukisku tak lama lagi.” kata Lyoid.

Gue masih terpaku memandang siluet tubuh Lyoid yang terterpa cahaya dari balik jendela memberikan efek dramatis seolah-oleh Lyoid seperti malaikat yang bersinar. Sesaat gue seperti melihat Lyoid tersenyum walau tak begitu kentara, ia nampak puas dengan kerjanya.

“Indah banget..” mulut gue tiba-tiba bicara.

“Ya?” tanya Lyoid.

“Eh nggak, maksud gue studio lukis lo keren. Emang belum jadi sih, tapi gue bisa bayangin kalo ini bakalan jadi keren banget.” Jawab gue berusaha nyembunyiin grogi karna keceplosan mengagumi Lyoid.

“Ya, begitulah. Mau keluar?”

“Keluar?”

Belum sempat gue ngerti maksud Lyoid, dia sudah berjalan meninggalkan ruangan dan menuju ke pintu di sebelah ruang tamu dan membukanya. Nampak hamparan kristal jernih berwarna biru dari ubin di dasar kolam dan pancaran sinar matahari pada permukaan air. Ternyata apartemen mewah ini belum cukup memberi gue kejutan. Ia memiliki kolam renang sendiri di atas gedung di lantai dua puluh ini.

Dasar orang kaya. Keluh gue.

Gue pun sudah menjelajahkan kaki di sekitar kolam renang yang juga merupakan balkonnya, mengamati pemandangan dari atas gedung.

“Lo biasa renang?” tanya gue.

“Cukup sering sebelum pindah ke sini.” Dan lagi-lagi hal mendebarkan itu terjadi. Lyoid membuka kemejanya dan kali ini beserta celana panjangnya. Ia hanya mengenakan boxer untuk berenang dan dengan indah ia meluncur dari pinggir kolam ke dalam air yang tampak menggiurkan.

Bunyi kecipak air dapat gue denger saat Lyoid berenang dari ujung kolam ke ujung yang lain, sangat indah dan mata gue tak mampu beralih dari sosoknya yang menawan. Ia..nampak begitu sempurna.

“Hey, mau ikut berenang?” tanyanya, membuyarkan lamunan gue.

“G-gue? Gue nggak ikut renang. Gue harus segera pulang. Emm.. sampai ketemu besok.” Jawab gue, pengen segera pergi dari tempat itu sebelum gue kepikiran yang macem-macem. Sial. Gue grogi!

“Oh..ok, apa perlu diantar?”

“Nggak usah, lo terusin aja renangnya. Gue pulang sekarang. Bye.” Tanpa menunggu jawaban dari Lyoid, gue langsung melangkahkan kali bermaksud untuk segera pergi. Tapi suaranya mencegah gue.

“Tunggu,”

Lyoid beranjak keluar kolam. Tubuhnya basah oleh air dan ia tampak sangat.. sexy.

Sial. Harusnya gue segera pergi. Kenapa? kenapa? kenapa dia harus cegah gue? Sekarang dia semakin mendekat dan berdiri di depan gue. Cukup dekat. Bisa dibayangin seberapa merah muka gue. Kaki gue nggak bisa gerak. Kaki gue seakan lemes tanpa disanggaa satu tulangpun.

“Y-ya? Mau apa?”

Jangan pandang dadanya, jangan pandang ke bawah. Luna apaan sih yang lo pikirin? Gue nggak bisa mikir. Pertanyaan apa barusan? Mau apa? Emang dia mau apa? Kenapa gue jadi grogi. Kenapa lagi-lagi gue harus berhadapan dengannya seperti ini? Gue pengen pulang! Jerit gue dalam hati.

“Aku belum berterima kasih kau sudah mau menemaniku.” Katanya.

“Nggak masalah. Cuma hal kecil, nggak usah dipikirin.”

Ugh, tenang. Lo bisa bertahan. Luna, lo pasti bisa.

“Ok, thanks.”

“Sama-sama. Gue pulang sekarang.” Kali ini tanpa menengok lagi gue bergegas melangkahkan kali menuju pintu keluar dan berharap bisa segera menjauh dari apartemennya. Tempat ini membuat gue hampir kena serangan jantung taip kali. Gue harus segera pergi sebelum dada gue meledak karna terlalu keras berdebar.

Lyoid, lo bikin gue gila.

-"-

Saat gue buka pintu, Rheam sudah ada disana. Berdiri di pojok ruangan dengan bersandar ke dinding dan bersedekap tangan. Tatapannya tampak tidak senang ketika ngeliat gue. Udah bisa gue bayangin apa yang akan terjadi setelah ini.

“Kemana aja lo?” tanya Rheam.

“Ye terserah gue dong mo kemana. Kenapa harus bilang ke elo.”

Rheam mendekat ke arah gue, lalu berhenti tepat di depan gue. Ia memcondongkan badannya sedikit ke muka gue.

“Lo budak gue. Gue berhak tau kemana dan apa aja yang lo lakuin.”

Sesaat, gue ngerasa ketakutan dengan sikap Rheam. Tapi gue mencoba tetap tenang.

“Gue abis pergi bareng temen. Puas lo?” abis ngomong itu, gue langsung cabut dari hadapannya. Tapi telat, Rheam udah nangkap lengan gue dan langsung menyeretnya ke lantai atas.

“Eh, apa-apaan lo, lepasin gue.” Gue coba berontak tapi usaha gue sia-sia.

“Rheam lepasin gue, mo ngapain lo!” kali ini gue berteriak lebih keras, berharap ada orang yang mendengar. Sayangnya gue tau tak ada yang mendengar. Rheam meliburkan seluruh pelayan kecuali pengurus kebun dan satpam yang bertugas di luar. Mustahil mereka mendengar teriakan gue dari dalam rumah sebesar ini.

Gue baru saja melewati kamar gue lalu bertanya-tanya kemana Rheam akan membawa gue. Tepat saat gue berdiri depan pintu. INI KAMAR RHEAM!

Rheam memutar kunci lalu membuka pintu kamarnya dan mendorong gue masuk.

“M-mau apa lo? Gue nggak mau ada disini. Biarin gue pergi. Gue nggak mau ngelakuin itu!”

Rheam memendang gue heran. Suasana hening sesaat.

“Ngomong apa lo?” tanya Rheam

“L-lo, nggak mau ngelakuin itu?”

“Itu?” ulang Rheam

“Itu..”

Muka gue berubah cengo’

“Bersihin otak lo, pake ini.”

Rheam menyodokan vacuum cleaner ke gue.

“Vacuum cleaner.. Lo kira gue sampah ya.. denger, gue emang salah kira.. tapi gue bukan..”

“Bersihin kamar gue dalam satu jam. Semuanya harus sudah rapi. Jangan pindahin apapun, lo cuma harus bersihin aja. Jangan sampai ada yang rusak. Ngerti?” bentak Rheam.

“Tunggu, jadi maksud lo, sekarang gue pelayan pribadi lo?”

“Ingat perjanjian kita. Mulai sekarang lo pembantu gue. Bersihin kamar gue, siapin sarapan dan makan malam. Kerjakan tugas-tugas yang gue suruh. Jangan lakuin hal apapun tanpa sepengetahuan gue.. termasuk pergi kemanapun.”

“Gue harus minta ijin sama lo?”

“Yup, bener banget.”

Sial! Kenapa gue harus pecahin lampu hias itu. Kalau bukan karna rasa penasaran gue nggak bakal dikutuk jadi budak Rheam dan harus lakuin ini semua. Rheam sialan!

Rheam pun pergi meninggalkan kamar. Sekarang gue sendirian di dalam. Baru gue sadari ini kali pertamanya gue bisa liat isi kamar Rheam. Biasanya ia tak pernah membiarkan siapapun memasuki kamarnya, biarpun itu pelayan yang akan bersih-bersih. Pintu kamarnya selalu dikunci rapat dan tak dibiarkan sedikitpun terbuka.

Pandangan gue beredar ke sekeliing ruangan. Ternyata kamar Rheam cukup rapi. Ia tak meningalkan barang-barang bercereran di lantai selayaknya kamar cowok pada umumnya, dan cukup bersih. Bagus, seenggaknya gue nggak perlu ngeluarin banyak tenaga untuk urusan ini. Cuma ada sedikit barang-barang yang harus dirapikan dan dibersihkan.

Setelah selesai menyedot debu di lapisan karpet beludru mewah di kamar Rheam, kini saatnya merapikan barang. Ada beberapa meja di kamar Rheam. Salah satunya meja belajar dan meja untuk memajang hiasan yang lebih mirip seperti lemari hias di ruang barang-barang antik milik papa. Kemudian masih ada satu lagi meja dengan sebuah kaca di dinding untuk menaruh barang-barang seperti jel rambut dan parfum yang gue duga sebagai meja rias.  

Tempat tidurnya cukup rapi, jadi gue nggak perlu beresin lagi. Lalu sekoyong-koyongnya gue teringat akan ucapan gue sendiri barusan. Apa yang gue pikirin? Gue kira Rheam paksa gue kekamarnya untuk lakuin itu. Muka gue berubah merah. Darimana lo bisa punya ide gila kaya’ gitu, Lun? Dan dengan Rheam? Yang beneran aja. Sial, pasti gara-gara kejadian dengan Lyoid tadi, gue jadi nggak bisa mikir jernih.

Sekuat tenaga gue coba menghapus memori di otak gue. Lalu mulai membereskan barang-barang. Dimulai dari meja belajar Rheam ke meja yang lainnya. Lemari baju Rheam terkunci. Jadi gue nggak perlu ngeberesin baju-bajunya.

Sekarang gue sendang membereskan barang-barang di meja tempat Rheam memajang barang-barang pajangan. Gue mengelap seluruh pernak-pernik yang ada dan meletakkannya ke tempat semula. Lalu pandangan gue tertuju pada sebuah pigura di tengah meja. Seorang wanita muda sangat cantik sedang menggandeng seorang bocah kecil kira-kira berumur enam tahun. Wanita itu memiliki rambut panjang bergelombang dan berwarna pirang. Senyumnya saat tulus dan penuh perhatian. Dia pasti mamanya Rheam. Lalu di sebelah foto itu terdapat satu pigura lagi yang memajang foto dua orang anak kecil sedang duduk dibawah pohon apel dan tersenyum riang ke kamara. Mereka seumuran. Salah satunya anak kecil yang sama pada foto sebelumnya yang gue yakin adalah Rheam dan satunya seorang anak perempuan berwajah asing dengan rambut panjang berwarna pudar. Rambutnya diikat di kedua sisi mirip seperti telinga kelinci. Sangat manis. Mereka tampak gembira bersama.

Gue mengangkat foto itu dan mengamatinya. Di pojok foto tertulis nama Rheam and Lili. Itu kah nama anak perempuan itu? Di samping foto itu tergeletak sebuah syal berwarna merah dengan sebuah inisial nama jahitan tangan yang compang-camping tertulis R & L. Rheam dan Lili kah?

Sebelum gue lebih jauh mengamati kedua benda itu, seseorang menarik pigura di tangan gue dari arah belakang.

“Jangan sentuh yang ini.” Kata Rheam geram. Wajahnya tampak serius.

“Gue cuma mau bersihin aja kok. Kalo lo nggak mau gue sentuh itu ya udah. Gue nggak bakal sentuh itu lagi lain kali.” Kilah gue.

Rheam memandang gue tajam. Baru gue sadari jarak kami sangat dekat. Wangi parfumnya dapat gue cium sangat jelas. Kenapa dia selalu muncul tiba-tiba?

“Waktu lo udah selesai, sekarang tinggalin kamar gue.” Kata Rheam dengan nada memerintah. Dasar seenaknya.

“Nggak usah pake bentak dong, tadi lo yang paksa gue ke sini. Sekarang usir-usir gue seenaknya.” Bales gue.

“Peraturan selanjutnya, jangan bantah kata-kata gue.”

Ugh, sial.

Lalu dengan muka gondok gue segera meninggalkan kamar Rheam, masuk ke kamar gue sendiri dan menutup pintunya.

Rheam masih berdiri di sana. Memandang foto ditangannya cukup lama lalu meletakkan foto itu kembali ke meja. Pandangannya berubah sayu.

1 komentar:

  1. baru ketemu nih blog akhirnya bisa baca high scool disaster? ga dilanjutin lagi? menarik loh

    BalasHapus